Sabtu, 22 Agustus 2015

Hanya Sebuah Cincin yang Terselip di Jari Manisnya


     “Aku mencintaimu lebih dari malam yang mencintai gelap.“
     Sang wanita tersenyum simpul.
     “Apakah itu tak cukup bagimu untuk menerimaku?”
     Sang wanita masih tersenyum. Pipinya yang tirus kini merona.
     Sebuah cincin diselipkan di jari manisnya.
     Sang wanita tersenyum semakin lebar. Kali ini ada debaran tak menentu di dadanya.
     Sentuhan lembut pada dahinya ia rasakan begitu hangat. Hangat yang merambat ke kedua matanya. Hingga tak terasa ada yang meleleh di sana.
     Sang wanita menangis. Air matanya mengalir deras, tak terbendung oleh isak yang sekuat tenaga ia tahan.

     Aku menghela nafas memperhatikannya. Ingin sekali aku pecahkan cermin di hadapannya agar ia tak terus-menerus terjebak dalam bayang peristiwa kecelakaan di hari pertunangannya. Agar kakinya mampu melangkah, keluar dari ruang sempit berjeruji itu.



Purwokerto. 21.08.15

Senin, 01 Juni 2015

Palmea


Aku jatuh cinta pada lelaki yang sering menyapaku hangat. Hampir setiap hari ia mengajakku makan, bahkan terkadang menyuapiku.  Dia amat memanjakanku dan memperlakukanku bak sang putri. Karena itulah aku diam-diam mengidamkannya menjadi kekasih.  Lelaki sempurna dengan kasih sayang yang sempurna pula, pikirku saat itu. Hingga ada suatu saat di mana hatiku dirundung kecewa. Pasalnya, dia lebih mencintai sejenisnya daripada aku. Meski aku telah setia bertahun-tahun menunggunya mengatakan cinta. 
"Ternyata aku punya saingan."
Tak ada pilihan selain berusaha mengikhlaskan dia di pelukan yang lain. Sebelumnya, dia memiliki pasangan atau tidak aku kira tidak akan menjadi masalah besar. Aku tetap bisa bersamanya. Namun, perkiraanku salah.
Kini yang memilikinya tak hanya satu. Ada dua sosok yang ssangat dicintainya. Hatiku terluka lagi. Dan yang membuatku menjadi lebih duka, sosok yang hadir belakangan ini adalah sosok yang jauh lebih dicintainya daripada pasangannya yang sejenis itu.
“Ayah, bukankah Ayah berjanji untuk membuatkanku ayunan?” sosok mungil itu merengek kepada lelaki yang kucintai. Lelaki itu tersenyum, memeluk hangat si mungil.
Tak lama berselang, ia bersama pasangan sejenisnya membawa perkakas berkebun. Satu di antaranya yang berbentuk angka tujuh terbalik tergenggam erat di tangan lelaki itu. Mendekat kepadaku dan menebas-nebas kakiku yang mencengkeram tanah. Kali ini bukan hanya hatiku yang terluka, tetapi juga tubuhku.
Tebasan demi tebasan di kakiku membuat aku menjadi lumpuh. Seperti mau pingsan. Aku ambruk!

Dengan sepersekian dari seluruh kesadaranku aku merasakan tubuhku diseret entah menuju mana. Lelaki itu menidurkan tubuhku pada sebuah ranjang yang basah, bau, dan berisik dengung suara sayap lalat. Ranjang itu ranjang pembaringan terakhirku.





Minggu, 31 Mei 2015

Ibu Baru


Ibu bergegas. Aku memperhatikannya dengan penuh tanda tanya. Ia mengemasi seluruh barang-barangnya setelah semalam bertengkar hebat dengan ayah.

Di gigir pintu ibu menatapku. Berurai air mata. “Tidak apa-apa, Nak, kamu sudah punya ibu baru.” Kemudian ia mempercepat langkahnya pergi meninggalkan rumah.


Di belakangku ada suara yang terisak pahit, “Kemari, sayang...”.
Wanita berjakun itu memelukku erat.





Cinta

       Dulu sewaktu masih remaja, aku sangat penasaran dengan yang namanya cinta. Apa itu cinta dan bagaimana rasanya jatuh cinta? Ketika teman-teman sibuk bercerita tentang cinta monyetnya, yang mereka lebih senang menyebutnya dengan cinta pertama, aku hanya dapat mendengarkan. Sesekali ikut tersenyum dan bersedih sambil menepuk lembut pundak teman yang bercerita. Sesekali pula menasihati teman tentang masalah percintaan setelah dimohon-mohon.
       Waktu terus bergulir membuatku menua. Meski aku sudah menikah dan memiliki dua anak, tak ada beda dengan masa remaja dulu. Aku pun belum tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya jatuh cinta. Dengan suami pilihan orang tuaku, meski aku tak mencintainya, rumah tangga kami aman sentosa. Semua berjalan baik-baik saja.
       Aku masih saja tak tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya jatuh cinta. Hingga aku memasukkan seluruh pakaianku dan pakaian anak-anakku ke dalam dua buah kopor besar. Membawanya ke dalam taxi, bersama kedua anakku pergi menuju rumah kakek mereka.
       Kulakukan ini setelah kemarin aku mendapatkan pakaian suamiku yang wangi parfum wanita dan pesan singkat bernada mesra dari seseorang yang bernama Cinta.



Sabtu, 30 Mei 2015

Teka dan Teki


            Teka. Begitulah ia dipanggil. Entah berapa usianya sekarang, yang jelas kini ia seharusnya sudah mulai mendewasa. Tak lagi pantas bermain tanah, apalagi bermain pasir, lebih pantas memiliki seritifikat tanah atau mengerit pasir. Tak lagi pantas bermain barbie dengan berbagai gaun, apalagi belajar membaca aiueo, lebih pantas mendesain gaun atau mengajar membaca aiueo. Dan sampai saat ini tak ada satupun dari kegiatan-kegiatan itu yang ia lakukan.
Teka. Begitu singkat namanya. Tetapi, di balik nama yang singkat itu ia memiliki jalan persahabatan yang panjang dengan dia yang bernama Teki. Persahabatan yang sering bermusuhan. Persahabatan yang sesungguhnya tak pernah mereka sadari. Persahabatan yang hampir selalu mempertemukan mereka di satu waktu, satu peristiwa. Teki tak pernah mengharapkan pertemuan dengan Teka. Pula Teka tak pernah berharap kehadiran Teki. Mereka ingin sendiri. Setidaknya berhadapan dan berpasang dengan yang lain adalah lebih mereka inginkan. Namun, sudah jalinan takdir. Mungkin mereka berjodoh atau semacamnya.
            Berbeda dengan Teka, Teki lebih ceria, bebas, dan terkadang usil. Ia pun memiliki pekerjaan tetap di bidang jasa. Meski jasanya sering tidak dibayar dan jauh lebih sering tidak dibayar daripada dibayarnya. Namun, Teki tetap mencintai pekerjaannya. Baginya jasa adalah suatu ungkapan syukur dari alam untuk Tuhan melalui tangan yang berbeda.
            Meski Teka dan Teki lahir berbarengan, jalan hidup Teka dan Teki memiliki perbedaan. Awalnya, Teki memiliki lebih banyak pembenci, lebih banyak orang-orang yang tidak menyukai kehadirannya. Selama itu pulalah Teki mencoba untuk tidak menghiraukan para pembenci. Ia terus hidup sebagai dirinya sendiri. Dengan penuh senyum keikhlasan bertahan hidup meski dikelilingi kepahitan. Tetapi, Maha Adil Tuhan, di balik kebencian orang-orang terhadapnya itu ternyata ada juga golongan orang-orang yang mencintainya. Setidaknya mulai mengaguminya, menyukainya, dan selalu mengharapkan kehadirannya. Orang-orang ini senang merayunya, memanjakannya. Dan dengan sikapnya yang sedikit tengil Teki berkata, “merekalah orang-orang yang berpikir”. Teka hanya dapat mengerutkan alis ketika Teki berkata seperti itu. Dan Teka membalasnya dengan satu kata, “pencitraan!”.
            Teka, di awal hidupnya ia merupakan sosok yang selalu ditunggu-tunggu keberadaannya, kehadirannya. Siapa pun mencintai Teka. Terutama pada saat hari raya, hari-hari besar yang penuh dengan kemeriahan seperti ketika undangan telah banyak disebar. Hedonis? Tidak. Dia hanya realistis karena orang-orang pada saat itu selalu tersenyum ramah kepadanya. Hingga seiring waktu yang bergulir kesenangan orang-orang terhadapnya membuat Teka menjadi pribadi yang sombong, bahkan culas. Entah Teka menyadari perubahan itu atau tidak, tetapi begitulah realita yang ada. Prinsip Teka yang semula realistis kini mengalami percampuran dengan hitung-menghitung, sehingga tersebutlah prinsip mat(h)realistis. Orang-orang mulai tak simpatik lagi terhadapnya. Tak ada tegur sapa yang hangat, tak ada senyum yang ikhlas, apalagi keberkahan dari orang-orang yang menjumpainya. Teka bukan lagi sosok yang dipuja. Dan kini gradasinya berubah menjadi sosok yang selalu dibayangi praduga.
            Seperti yang dikatakan sebelumnya, mereka sesungguhnya tidak pernah akur, tidak pernah saling mengharapkan, tidak pernah ingin bekerja sama. Namun, sekali lagi, takdir hampir selalu mempertemukan mereka. Teka dan Teki seperti sepasang sandal jepit kanan-dan kiri. Begitulah persahabatan mereka yang tak mereka sadari.
            Seperti pada malam ini, di salah satu ajang penghargaan musim ini. Nama mereka berdua selalu menjuarai setiap kategori. Kategori pasangan terpopuler, mereka dianggap pasangan yang paling terkenal dan paling digandrungi oleh masyarakat. Kategori pasangan terdahsyat, mereka dianggap pasangan paling hebat karena menyabet berbagai prestasi berkat kerja sama yang kompak, meski sesungguhnya mereka sendiri tak merasa pernah bekerja sama. Dan yang paling mencengangkan mereka juara pula dalam kategori pasangan paling syar’i. Penilaian untuk kategori ini didasarkan dari betapa mereka bisa saling melengkapi, menutup cela satu sama lain, tak pernah bertengkar apalagi ribut-ribut, dan juga atas  prinsip kesederhanaan tanpa sensasi.
            Seulas senyum menyungging di bibir Teki ketika bersama Teka menaiki panggung dan menerima tiga piala sekaligus. Sorak-sorai penonton terhadap pasangan Teka dan Teki, baik yang di studio maupun yang di rumah, lengkingnya membaur, menggema hingga sudut-sudut tersempit kota.
            “Terima kasih atas kepercayaan masyarakat yang telah memilih kami sebagai pasangan terpopuler, pasangan paling mesra, dan paling syar’i dekade ini. Kami berharap kami dapat menjaga kepercayaan ini dan hubungan kami langgeng abadi. Amin.”
            Sorak-sorai semakin lepas, semakin keras.
Teka terdiam, menghela nafas. Tak tahu harus berkata apa di panggung itu. Dengan berat ia memaksa matanya sedikit disipitkan dan bibirnya sedikit dilebarkan untuk berpura-pura bahagia. Dan hanya ada satu kata yang terlintas di benaknya untuk menebar sapaan, yang lebih mirip dengan bualan, kepada masyarakat pendukung pasangan Teka dan Teki, “I love you!”.
Tepuk tangan terdengar jarang. Penonton mulai tenang. Tenang.
Riuh yang meneriaki Teka tak seramai riuh dukungan kepada Teki. Mereka memang berpasangan, tapi tak satu suratan. Sama seperti sepasang sandal jepit, di kala salah satu talinya putus kemungkinan tali pada pasangannya masih utuh.
            Lambat laun, Teka menyadari hanya dengan Teki-lah ia bisa digandrungi oleh orang-orang lagi. Teka menyadari bahwa dirinya semakin hilang arti ketika ia berdiri sendiri tanpa Teki. Namun, walau bagaimanapun individu seperti Teka ingin memiliki jati dirinya sendiri tanpa terganggu apalagi berdompleng-domplengan dengan lainnya. Ia tahu ia hanya harus memilih. Selalu bergandengan setiap waktu dengan Teki, tetapi ia disukai. Atau ia menjadi dirinya sendiri yang mandiri, tapi tak diingini.

            Dalam sunyi ia renungi. Hingga muncul satu tanya yang menyesaki, “Apakah ini sebuah takdir alami?”




Seperti Itu...



Siang yang panas, tapi tak lebih panas dari kata-kata dosen hukum perjanjian, Pak Tomang.
                “Jadi, kalau Anda tidak dapat membeli diktat saya ya pinjamlah kepada kakak-kakak kelas kalian. Tentunya yang tidak sedang mengulang mata kuliah ini.” Sebagian kelas tertawa. “Tapi kalau ada yang sampai ketahuan memfotokopi diktat saya, saya tidak akan marah. Saya hanya memberinya nilai E.”
                Kelas menjadi ramai.
                “Lho? Ini hak saya. Hak atas kekayaan intelektual saya,” katanya dengan dahi mengerut. “Paham?”
                Pak Tomang rupanya benar-benar serius dengan ucapannya.  Sepertinya ia paham benar kelakuan mahasiswa yang lebih suka memfotokopi buku daripada membeli buku aslinya. Memfotokopi buku memang lebih murah daripada membeli buku aslinya. Apalagi jika difotokopi di kertas buram, diperkecil, bolak-balik,  dan tanpa dijilid, hanya di stapless saja. Harganya bisa hanya sepertiga dari buku asli.
                Kuliah selesai, aku segera menuju parkiran motor.
                “Hei, Naf! Habis kuliah apa?” Kiky yang baru tiba di kampus menyapaku.
                “Eh, Ky... Kuliah Pak Tomang. Kamu udah beli diktat perjanjian?”
                “Udah, donk!”
                “Berapa harganya?”
                “Empat puluh dua ribu. Padahal bukunya tipis...,” keluh Kiky.
                “Hehehe... Memang yah, jer basuki mawa bea,” kataku sok bijak.
                “Iya..,”  Kiky tersenyum kecut. “Ya udah, aku mau masuk ke kelas dulu. Kamu hati-hati di jalan.”
                “Yoo...,” jawabku beriringan dengan mesin motor yang mulai menyala.
                Ah, Kiky, Teman baikku, mahasiswi paling cerdas, rajin, dan penurut seantero kampus. Sayangnya, dia berasal dari keluarga kurang mampu. Uang yang didapat dari beasiswa bidikmisinya tak jarang ia kirimkan kepada kedua orang tuanya di kampung. Dan untuk memenuhi biaya tugas-tugas kuliah dan uang makannya ia mengajar di sebuah bimbingan belajar di kotaku.
                Di pertigaan tak jauh dari kampus pusat, kuhentikan motorku. Sebuah toko buku berukuran mungil, namun berisi buku kuliah paling lengkap, aku hampiri. Jejeran rak penuh buku berkualitas membuat hasratku meninggi, ingin memiliki semuanya. Aku sangat menyukai buku. Apalagi jika buku itu harganya terjangkau uang saku. Biasanya aku langsung membelinya. Namun, kali ini tidak. Bulan ini banyak sekali pengeluaran untuk buku yang harus dibeli. Memang aku bisa saja meminta uang kepada orangtuaku untuk membeli semuanya, tetapi aku enggan. Walau bagaimana pun, keluargaku bukanlah keluarga yang sangat berada. Aku punya empat adik dan semuanya sekolah. Tentu jika aku tidak menyisihkan uang sakuku untuk membeli buku kuliahku sendiri akan memberatkan orangtuaku. Belum lagi aku tipe orang yang menghargai hak orang lain. “Kasihan penulisnya jika aku fotokopi bukunya,” kataku pada suatu saat. Idealis? Mungkin.
                Di rak paling pojok toko itu Pengantar Hukum Internasional I, J.G Starke, terpampang jelas. Ku ambil buku itu dan memberikannya ke kasir sebelum aku tergoda membeli yang lain lagi hingga menguras dompetku.
                “Sembilan puluh ribu,” kata gadis cantik yang duduk di kursi kasir itu. Aku pun menyerahkan uang pas kepadanya. “Terima kasih”.
***
                Pagi itu, jam tanganku menunjukkan pukul 6.25. Kunyalakan mesin motor dan kupanaskan sebentar. Hari ini aku berangkat sedikit lebih pagi dari biasanya. Jarak rumahku ke kampus dekat, tapi aku harus mampir ke warung fotokopi  mengambil kopian formulir pendaftaran unit kegiatan mahasiswa yang aku ikuti.
Kreatif FC tidak terlalu jauh, hanya agak sedikit ngumpet karena letaknya yang berada di gang kecil. Di petak berukuran tiga kali lima meter inilah aku biasa fotokopi berkas-berkas dan catatan-catatan penting serta menjilid kliping dan makalah yang menjadi tugasku. Yang aku suka dari Kreatif FC ini tarifnya relatif lebih murah, pengerjaannya juga lebih cepat, di samping pelayannya yang lumayan tampan.
Uda, mau ambil yang kemarin,” kataku kepada salah satu penjaga warung yang sedang membereskan kertas-kertas hasil fotokopi.
“Oh, yang formulir itu ya? Sebentar.”
Sambil menunggu uda menyiapkan hasil fotokopiku, aku melihat-lihat hasil fotokopi pelanggan lain yang tergeletak di atas etalase kaca. J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1.
Tunggu! Ini fotokopi dengan menggunakan teknik cover’s scanning? Persis betul dengan buku aslinya yang baru saja kubeli kemarin.
“Empat ribu tujuh ratus.”
Aku segera mengeluarkan uang, membayar kepada uda tampan itu. “Ini fotokopi buku, Da?”
“Iya, betul!”
“Kalo sampulnya begini, berapa?”
“Ya, nambah dikit lah. Tapi, gak sampai seperti buku aslinya,” jawabnya. Ia melanjutkan dengan nada berbisik, “Lebih hemat!”
Kemudian ia tertawa. Kedua saudaranya yang sama-sama menjaga warung itu ikut tertawa.
Aku hanya nyengir kuda. Di dalam hati aku menerka-nerka, siapa orang yang suka memfotokopi dengan sampul persis seperti buku aslinya. Pasti dia mahasiswa perantauan yang berasal dari keluarga seadanya. Menghemat biaya kuliah sehemat-hematnya. Aku merasa beruntung karena meski aku dari keluarga sederhana tapi sampai saat ini aku tidak pernah melakukan hal itu. Aku merasa beruntung telah diberi rezeki oleh Tuhan-ku sehingga aku tidak merugikan para penyebar ilmu dengan melanggar haknya dalam berkarya.
Hasil fotokopi formulirku aku masukkan ke dalam map agar tidak lusuh dan ada yang sobek.
“Berapa, Mas?” sebuah suara laki-laki paruh baya datang dari sebelah kiriku.
“Buku ini, ya, Pak? Empat puluh dua ribu.”
Rupanya orang yang memfotokopi buku itu. Tapi, kenapa aku merasa ada yang aneh. Sepertinya suara itu tak asing bagiku. Aku pun menoleh ke arah laki-laki itu.
Pak Tomang?! Serasa menjerit karena terkejut di dalam hati.
 “Terima kasih, Mas. Pas, ya uangnya!”
Dengan tergesa-gesa, Pak Tomang segera meninggalkan warung fotokopi. Aku menatapnya dari belakang. Mataku mengerjap-ngerjap.
Dalam hati aku pun menirukan artis sensasional Syahrini, “Seperti itu...”.






Ibu Sudah Pergi

"Nak, nanti kalau ada yang mencari ibu, bilang saja ibu sudah pergi."
"Tapi, Bu, kita kan gak boleh berbohong".
"Sudah, Nak, untuk kali ini saja."
Aku mengangguk pada ibu.
Di halaman rumah aku bergabung dengan teman-teman sebaya bermain lompat karet.
Seorang tetangga mendekat kepadaku, "Ibunya ada?"
"Ibu sudah pergi". Ia pun berlalu.
Aku segera berlari ke dalam rumah menemui ibuku.
"Bu, barusan ada yang cari ibu. Aku bilang ibu sudah pergi."
Tak ada jawaban. Kupegang tangannya perlahan, mencoba membangunkan. Dingin. Dan ibu juga tak bangun-bangun.




Jumat, 24 April 2015

Manajemen Penerbitan Majalah Pers Mahasiswa “Sketsa” Universitas Jenderal Soedirman


(Buat para calon mahasiswa dan mahasiswa baru Unsoed yang bingung mau ikut UKM apa, sila baca dan sila gabung sama Sketsa! ^^)

A.    Latar Belakang Masalah
Pengertian Pers Istilah “pers” berasal dari bahasa Inggris ‘press’ yang berarti mencetak. Kata ini juga dimaksudkan untuk menyiarkan suatu informasi atau berita secara dicetak. Dalam perkembangannya pers kemudian diartikan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam arti sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan cetak, seperti surat kabar atau koran, majalah, buletin, leaflet, dan sebagainya.
Pers dan kegiatan jurnalistik awalnya hanya dilakukan oleh para profesional. Namun, seiring dengan perkembangan zaman pers dan kegiatan jurnalistik juga begitu ramai di kalangan para mahasiswa. Kegiatan jurnalistik melalui pers mahasiswa secara esensi tidak jauh berbeda dengan dunia pers profesional. Perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa pers mahasiswa lebih menyoroti dunia kampus, kehidupan kampus dari kacamata mahasiswa. Isi dari pers mahasiswa dapat berupa informasi dan kritik-kritik terhadap kebijakan kampus, masalah ekonomi dan sosial-politik, dinamika kehidupan kampus, gaya hidup, dan serba-serbi budaya. Semua itu ditinjau dari kacamata mahasiswa. Sama seperti pers profesional, pers mahasiswa juga mengacu pada kegiatan yang sifatnya mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah materi, dan menerbitkanya berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya dan valid.
Berbicara penerbitan tentu sangat erat kaitannya dengan manajemen dalam mengelola produk penerbitan. Tidak terbatas pada penerbitan-penerbitan pers besar dan profesional, penerbitan pers mahasiswa pun memiliki manajemennya sendiri yang sesuai dengan ideologi, kemampuan, dan AD/ART organisasi pers tersebut. Begitu pula dengan pers mahasiswa Sketsa, salah satu unit kegiatan mahasiswa tingkat universitas yang unggul di Universitas Jenderal Soedirman. Organisasi yang terbentuk tanggal 5 Desember 1988 ini memiliki beberapa produk, antara lain majalah, jurnal, buletin, dan leaflet. Serta yang terakhir dikeluarkan adalah berita online.
Dalam makalah ini akan dipaparkan secara sederhana bagaimana manajemen penerbitan pers mahasiswa Sketsa dengan difokuskan pada tahap-tahapan yang dilalui dalam proses produksi. Dari beberapa produk yang dihasilkan Sketsa, penulis mengambil objek majalah karena majalah merupakan produk unggulan dari pers mahasiswa ini.

B.     Pembahasan
Dalam memproduksi majalah, LPM Sketsa memiliki manajemen tersendiri sesuai dengan pola kebijakan organisasinya. Mulai dari pra-produksi, produksi, hingga pasca produksi dikelola sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan produk majalah yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Berikut tahap-tahap produksi majalah Sketsa.
1.      Tahap seleksi tema dan topik
Tahap ini merupakan proses yang harus dilalui sebelum produk dibuat. Tahap ini berawal dari adanya topic listing (daftar topik) dari beberapa tema yang pernah atau sedang diangkat dalam website www.lpmsketsa.com. Melalui rapat musyawarah pengurus, topik yang dinilai menarik dan memiliki urgensi lebih akan diperdalam melalui buletin. Topik yang terdapat dalam buletin itu biasanya kemudian akan diangkat lagi dalam produk majalah. Topik tersebut bisa kemali menjadi topik utama ataupun topik tambahan yang diselipkan dalam rubrik-rubrik khusus.
Wilayah liput majalah Sketsa mulai dari tahun 2013 ini tidak hanya di lingkup kampus Unsoed atau Purwokerto saja, tetapi juga mulai ke wilayah Purbalingga dan Cilacap.
2.      Tahap pengumpulan naskah dan editoring
Tahap selanjutnya adalah tahap pengumpulan naskah oleh penulis. Untuk berita, sampai saat ini Sketsa belum memiliki tim kontributor. Semua berita, baik yang termuat dalam website, leaflet, buletin, dan majalah adalah hasil dari pengurus Sketsa sendiri. Hal ini berkaitan dengan kevalidan isi berita.
Untuk naskah yang berasal dari pengurus non-keredaksian harus masuk terlebih dahulu ke staf redaksi pelaksana untuk melalui proses editoring. Jika naskah tersebut dinilai masih kurang maka redaksi pelaksana akan mengembalikan naskah kepada penulisnya dengan catatan apa saja yang perlu diperbaiki untuk selanjutnya dimasukkan lagi ke redaksi pelaksana. Setelah naskah diperbaiki dan diterima oleh redaksi pelaksana, redaksi pelaksana akan memberikan kepada pimpinan redaksi untuk dinilai lebih lanjut. Jika pada tahap ini naskah dinilai masih kurang, maka merupakan tanggung jawab redaksi pelaksana untuk memperbaiki tulisan tersebut.  Namun, jika penulis naskah tersebut adalah anggota dari redaksi pelaksana, maka naskah tersebut langsung masuk ke pimpinan redaksi untuk proses editoring. Setelah semua naskah lolos dari pimpinan redaksi, selanjutnya pimpinan redaksi memerikan naskah tersebut kepada bagian red art.
3.      Tahap illustrating dan layouting
Illustrating adalah tahap memberikan ilustrasi, baik berupa gambar, foto, maupun diagram dalam sebuah berita, artikel, maupun rubrik sastra. ilustrasi di sini memiliki fungsi sebagai pemerjelas sekaligus pemerkuat informasi yang disampaikan. Ilustrasi juga dapat memberikan efek hiburan bagi pembaca, terutama ilustrasi-ilustrasi yang berupa karikatur.
Layouting adalah tahap penataan ruang, teks, dan ilustrasi. Bagaimana menata ilustrasi-ilustrasi dalam ruang yang tersedia dengan pemilihan tipe, warna, serta jenis huruf yang digunakan ada dalam tahap ini.
Illustrator dan layouter meminta persetujuan pimpinan redaksi, apakah ilustrasi (gambar, foto, diagram, tabel, dan sebagainya), tata teks, tata letak, iklan, dan hal lainnya sudah sesuai dengan kebijakan organisasi, tema yang diangkat, dan memiliki kevalidan.
Pada tahap ini bagian red art juga harus berkoordinasi dengan bagian perusahaan karena penentuan tata letak, ilustrasi, jumlah halaman, dan sebagainya sangat terkait dengan masalah keuangan, berapa dana yang didapat dan berapa biaya untuk pencetakan.
4.      Tahap sirkulasi
Pada tahap ini bagian perusahaan sangat berperan. Perusahaan mencari iklan yang akan dimuat dalam majalah. Oleh karena itu, perusahaan bertanggung jawab sepenuhnya atas iklan yang termuat. Ada dua kebijakan yang dimiliki Sketsa dalam hal pemasangan iklan, yaitu:
1)      Kuota iklan maksimal adalah sepertiga dari jumlah halaman keseluruhan. Misalnya, jika jumlah halamannya 60, maka iklan yang terpasang maksimal 20 halaman.
2)      Iklan yang dipasang tidak boleh iklan rokok.
Setelah draft sudah siap untuk dicetak, dalam keadaan ini semua naskah, iklan, ilustrasi, dan tata letak sudah jadi dalam bentuk soft copy, maka bagian sirkulasi bekerja sama dengan percetakan untuk mencetak majalah sesuai yang diperjanjikan.
Berkaitan dengan masalah keuangan, khususnya biaya produksi (mencetak) Sketsa memiliki sumber dana tetap yang didapat dari anggaran untuk UKM Unsoed. Selain itu, dalam menyokong dana-dana lain yang dibutuhkan dalam administrasi dan sirkulasi Sketsa biasanya mengadakan bazar atau usaha lain yang dapat menghasilkan uang.
Berbicara masalah sirkulasi, Sketsa memiliki wilayah cakupan yang berbeda untuk produknya. Untuk leaflet dan buletin dicetak sebanyak 500 eksemplar dan disebarkan kepada masyarakat kampus (mahasiswa, dosen, dekanat, bapendik). Sedangkan untuk majalah dicetak sebanyak 3.000 eksemplar dengan perincian sebagai berikut.
1)      2.000 untuk disirkulasikan di wilayah Purwokerto dan sekitarnya, baik untuk masyarakat kampus Unsoed maupun masyarakat kampus lain yang berada di Purwokerto.
2)      Sekitar 1.000 eksemplar diditribusikan ke lembaga-lembaga pers mahasiswa se-Indonesia. Distribusi majalah dilakukan melalui pos. Hal ini sangat penting karena selain saling bertukar informasi, kegiatan ini juga dapat menjadi bahan evaluasi perbandingan produk satu LPM dengan LPM lainnya dan membangun kerjasama antar-LPM di Indonesia.
3)      Untuk koleksi Sketsa sendiri mengambil minimal 100 eksemplar majalah. Selain untuk arsip, majalan-majalah ini biasa digunakan untuk pertukaran ketika melakukan kunjungan-kunjungan keredaksian dengan kampus lain.

Penutup
            Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen dalam penerbitan merupakan hal yang sangat penting. Tidak terkecuali pada majalah pers mahasiswa Sketsa yang memiliki manajemen sederhana namun terarah dan sudah sesuai dengan kebutuhan. Manajemen penerbitan majalah ini memiliki beberapa tahapan, yaitu tahap pemilihan tema dan topik, tahap  pengumpulan naskah, tahap illustrating dan layouting, dan tahap sirkulasi.
            Manajemen penerbitan pada penerbitan majalah pers Sketsa sudah cukup baik. Namun, penting untuk diperhatikan mengenai sisa produk yang terkadang terlalu banyak. Hal ini bisa menjadi suatu pemborosan. Alangkah lebih baik jika sedikit melakukan penghematan atau didistribusikan kepada pihak-pihak lain, seperti rekan kerja sama atau perluasan jaringan.




Referensi
Iskandar, Ade G. 2012. Mengenal Pers, Dulu dan Kini. http:// home.cbi.ac.id/index.php/archives/397 (diakses tanggal 17 Mei 2013)
Wildan, Aris. 2013. Sejarah, Pengertian, Fungsi, dan Perasanan Pers. http:// ariswildan.blogspot.com/2013/01/sejarah-pers-pengertian-pers-fungsi-dan.html (diakses tanggal 17 Mei 2013)
Wawancara langsung dengan Pimred Sketsa 2012-2013, Ubaidillah.

Selasa, 31 Maret 2015

Senjata Kudhi, Artefak dari Banyumas

Kabupaten Banyumas sebagai salah satu daerah di Jawa Tengah memiliki folklor berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah Yogyakarta dan Surakarta yang selama ini menjadi daerah-daerah pusat kebudayaan di Jawa Tengah. Kekhasan folklor dari daerah ini sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dipahami karena kekhasan tersebut sebenarnya merupakan proyeksi dari masyarakat Banyumas dengan watak cablaka-nya. Filosofi cablaka ini hampir tersimbolkan dari semua folklor yang ada di daerah Banyumas, baik dari folklor lisan, folklor sebagian lisan, maupun folklor bukan lisan. Namun meskipun demikian, pada kenyataannya genearsi muda di daerah Banyumas banyak yang tidak mengetahui folklor-foklor yang menjadi ikon daerah ini. Lalu, apa salah satu folklor yang menjadi ikon Banyumas sekaligus merupakan proyeksi dari watak cablaka orang Banyumas tersebut?
Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia, setiap daerah, kelompok, etnis, suku, bangsa, golongan agama masing-masing telah mengembangkan folklornya sendiri-sendiri sehingga di Indonesia terdapat aneka ragam folklor. Folklor ialah kebudayaan manusia yang secara kolektif diwariskan secara turun-temurun, baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat.
Kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang telah mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu, yang paling penting adalah bahwa mereka memiliki kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Jan Harold Brunvand, membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
a.         Folklor Lisan
Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis; ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran; pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki; sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair; cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; nyanyian rakyat.
b.      Folklor sebagian lisan
Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi kepercayaan dan takhayul; permainan dan hiburan rakyat setempat; teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk; tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng; adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan; upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten; pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.
c.       Folklor bukan lisan
Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi arsitektur bangunan rumah yang tradisional; seni kerajinan tangan tradisional, pakaian tradisional; obat-obatan rakyat; alat-alat musik tradisional; peralatan dan senjata yang khas tradisional; makanan dan minuman khas daerah.
            Senjata kudhi sebagai salah satu ikon Banyumas sekaligus proyeksi watak masyarakat orang Banyumas yang cablaka dapat digolongkan ke dalam folklor bukan lisan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya tugu selamat datang berbentuk kudhi kotak di beberapa daerah di Banyumas, antara lain di Tambak sebagai perbatasan dari arah Kabupaten Kebumen, di Lumbir sebagai perbatasan dengan Kabupaten Cilacap dari arah barat, di Kecamatan Pekuncen sebagai perbatasan dengan Bumiayu, dan di Somagede sebagai perbatasan dengan kabupaten Banjarnegara.
            Menurut mantan Humas Pemkab Ahmad Supartono, bentuk tugu diadopsi dari kudhi karena senjata itu mampu menyimbolkan jati diri khas wong Banyumas. Bentuk kudhi ditransformasikan ke bentuk dasar kotak sebagai simbol kekinian dan modernitas masyarakat Banyumas.
      
Kudhi Senjata Adopsi dari Tlatah Banyumas sebagai Ikon dan Proyeksi dari “Wong Banyumas”
            Kudhi adalah senjata yang sering dipergunakan ma­syarakat Banyumas dalam kehidupan sehari-hari sebagai peralatan yang digunakan untuk membelah atau memotong benda keras seperti kayu atau bambu, sama fungsinya seperti parang atau bendho (golok). Kudhi hanya memiliki satu sisi tajam, berbentuk agak melengkung menyerupai kujang dari Jawa Barat namun lebih panjang dan besar. Bagian pangkalnya meng­gem­bung, bagian atasnya me­lengkung agak kotak dan di pucuknya membentuk seperti paruh burung berbentuk lancip. Di sisi belakang dekat punggung terdapat lubang. Namun pada perkembangannya, lubang itu kini jarang ditemukan. Bentuk yang unik itu di­se­suaikan dengan fungsinya. Bagian gemuk berfungsi untuk memotong dan membelah kayu atau batang bambu. Fungsi lekukan itu untuk menghaluskan kayu atau bambu yang dibelah tadi. Ujungnya yang lancip digunakan untuk mencukil atau membuat lubang.
      
Gambar 1: Kudhi
            Menurut salah satu pengoleksi Kudhi adalah Raden Tumenggung (RT) Noerring W. Doyo Dipuro yang juga pemilik Padepokan Jolo Sutro Banjarnegara. Menurut Noerring, dirinya mendapatkan Kudhi Banyumasan secara kebetulan dari Desa Gumelem, Kecamatan Susukan, Banjarnegara. Kudhi tersebut umurnya cukup tua, karena dibuat pada zaman Kerajaan Mataram. Kudhi memang memiliki karakteristik bentuk tersendiri. Namun kalau dilihat dari bentuknya, kudhi sangat dipengaruhi oleh Kujang atau kudhi Kukilo yang dibuat pada zaman Kerajaan Padjajaran. Namun, kalau kudhi Banyumasan lebih melengkung dan itu dibuat ketika zaman Kerajaan Mataram. Pada zaman itu wilayah Banyumasan atau Jateng bagian barat masih dalam daerah kekuasaan Mataram.
Gambar 2: Kudhi peninggalan zaman Mataram


Dahulu kudhi biasa dipakai oleh warga Banyumas zaman dulu sebagai alat pertanian. Di sisi lain, para kestaria atau pejabat di wilayah Jateng bagian barat menggunakannya sebagai senjata. Bahkan diyakini kalau lubang-lubang yang ada di senjata Kudhi merupakan tanda kepangkatan.
Kudhi merupakan curiga atau senjata pangandel atau senjata pegangan dari tokoh Bawor. Kudhi memiliki beberapa bagian, yaitu bagian ujung, perut, karah serta gagang. Bagian-bagian tersebut tidak hanya berfungsi sebagai alat pemotong semata, namun merupakan cermin dari karakter orang Banyumas yang sesungguhnya. Bagian ujung yang sama dengan senjata-senjata lain pada umumnya memiliki arti nilai egaliterian yang dijunjung oleh masyarakat Banyumas terhadap segala bentuk budaya lainnya. Bagian perut yang menggembung menunjukan bahwa manusia hidup tidak hanya untuk memenuhi nafsu belaka namun ada hal yang lebih penting yaitu berusaha dan bekerja. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan perut kudhi sangat besar untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang berat-berat seperti membelah atau memotong obyek yang besar. Selain itu ada filosofis mengenai makna perut bagi orang Banyumas, yaitu perut dapat sebagai sumber fitnah. Saat perut manusia lapar, maka manusia akan dapat memakan sesamanya. Artinya, manusia dapat melakukan tindak kriminal, tindakan yang tercela demi dapat memenuhi kebutuhannya akan pangan. Namun di saat perut terlalu kenyang pun manusia dapat berbuat maksiat, seperti membuang energi yang dihasilkan makanan yang dimakannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menjurus pada syahwat. Orang Banyumas sangat menuntut agar manusia dapat sebaik-baiknya memanajemen nafsu (yang sering dikaitkan dengan keadaan perut lapar atau kenyang). Karah menyimbolkan bahwa penampilan atau materi tidak bisa dijadikan sebagai acuan baik buruknya sifat seseorang. Hal ini ditunjukkan dari kenyataan bahwa tidak semua karah yang bagus dan berukir akan memiliki perut dan ujung yang tajam atau baik. Sedangkan gagang merupakan simbol bahwa orang Banyumas di dalam menyikapi hidup harus punya keyakinan yang jelas.
Kudhi sebagai cermin masyarakat Banyumas. Hal ini terdapat pada ungkapan kudhi ilang karo karahe. Artinya sesuatu yang hilang pasti akan kembali pada pemiliknya. Ungkapan ini memiliki nilai historis yang berkaitan dengan sejarah pindahnya R. Adipati Mertadireja III dari Purwokerto ke Banyumas. Pada saat itu Kabupaten Purwokerto dan Banyumas masing-masing berdiri sendiri. Kemudian pada tahun 1878 Residen Banyumas C. De Mooenburgh, berselisih dengan Bupati Banyumas R.M.T. Tjakranegara II. Karena perselisihan itulah maka Bupati Banyumas mengundurkan diri. Akhirnya R. Adipati Mertadireja III, Bupati Purwokerto pindah menjadi Bupati Banyumas. Di sini dijelaskan juga bahwa kudhi merupakan simbol dari jabatan residen sedangkan karah adalah jabatan bupati.
Sebagai alat bekerja maka kudhi memerlukan tempat yang tidak menganggu lancarnya pekerjaan seseorang. Oleh karena itu, ada tempat untuk meletakan kudhi secara khusus. Tempat ini biasa disebut dengan kethoprak atau korakan atau thakolak. Kethoprak ini biasanya digantung di belakang pada ikat pinggang. Sehingga jika orang yang memakainya berjalan maka akan terdengar suara yang khas seakan-akan berbunyi "korak-korak". Inilah bentuk kejujuran, keberanian dan sportivitas orang Banyumas sebagai tanda bila ia sedang membawa senjata. Tidak seperti orang membawa senjata lainnya, seperti keris atau belati, yang selalu diselipkan atau disembunyikan dibalik bajunya, untuk kemudian ditikamkan ke orang lain.
Gambar 3: Kudhi beserta korakannya

Kudhi dan Islam
Asal muasal kudhi menurut mitos hampir sama dengan penciptaan wayang kulit oleh para wali. Wayang kulit merupakan kreasi dari para wali penyebar Agama Islam. Karena sepintas lekuk bentuk perut kudhi mirip dengan bentuk Kata Allah, maka kudhi identik dengan perkembangan Islam di Banyumas Hal yang sama juga terdapat pada bentuk muka dan tangan serta kaki wayang-wayang Pandawa (M.Koderi:1991).
Hingga kini, tiada satu pun teks sejarah yang menuturkan ikhwal mula penciptaan kudhi. Kepercayaan paling populer mengaitkannya dengan tempat asal mula pembuatan kudhi, yaitu Desa Pasir. Wilayah yang sebelum tahun 1946 masih berstatus daerah "perdikan" atau daerah yang dimerdekakan itu menjadi pusat penyebaran agama Islam. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kudhi dalam arti lain sebagai lambang, atau simbol-simbol makna religius. Menurut mantan Humas Pemkab Ahmad Supartono, kudhi terbagi menjadi bagian ujung yang lempang, perut membuncit, karah dan gagang. Bentuk itu jika disatukan menyerupai tulisan "Allah". Artinya, ketika memakai senjata itu, masyarakat diminta tetap ingat kepada Allah.
Kudhi juga memiliki filosofi yang lain seperti kudhi pacul sungan landepa. Kudhi dan cangkul adalah alat untuk bekerja. Maksudnya ialah dalam mencapai suatu tujuan atau mencari pekerjaan tidak dengan melakukan hal-hal yang menyimpang.

 Simpulan
            Kudhi merupakan senjata khas Banyumas yang menjadi cerminan atau proyeksi orang Banyumas, meskipun kudhi sendiri bukan senjata yang benar-benar asli Banyumas tetapi sudah terkenal menjadi ikon Banyumas. Salah satu buktinya adalah adanya tokoh Bawor sebagai ikon Banyumas yang memakai kudhi sebagai senjata pangandelnya.
            Filosofi kudhi tidak hanya dikaitkan dengan bentuk kudhi yang diyakini sebagai simbol religius Islami, tetapi juga dikaitkan dengan bagian perut kudhi yang sangat mirip dengan bentuk perut manusia dan suara-suara yang dihasilkan ketika orang membawa kudhi yang bersarung korakannya. Namun, semua perlambang itu meskipun berbeda, keduanya mengandung nilai-nilai kebaikan dan ajaran moral.



 Referensi 
Augustrush15. 2010. Folklor Indonesia. <http://augustrush15.wordpress.com/
2010/08/11/folklor-indonesia>
Koderi, M. 1991. Banyumas, Wisata dan Budaya. Purwokerto: Penerbit Metro.

Poerwasoeprojo, R. 1932. Babad Banyumas. Purwokerto: De Boer. 

Jumat, 27 Maret 2015

Bahasa dan Orba


Bahasa merupakan alat berkomunikasi manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting guna menuangkan ide pokok pikiran, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Namun, dewasa ini bahasa bukan lagi hanya berperan sebagai sarana berkomunikasi, tetapi juga menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Berawal dari abad ke-5 SM, bahasa dipakai seseorang sebagai alat untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok orang demi kepentingan politik, ekonomi, maupun sosial. Pada zaman inilah awal kebangkitan retorika dan sejak itu, kemampuan berbahasa seseorang menjadi sangat penting. Semakin tinggi kemampuan berbahasa seseorang semakin tinggi pula penghargaan dari masyarakat terhadap dirinya.
Bahasa sebagai alat mempertahankan kekuasaan tidak hanya melalui retorika, yakni kemampuan berbahasa secara elegan, tetapi juga dengan ‘penertiban bahasa’ seperti pada masa Orba. Soeharto bukanlah Soekarno yang merupakan seorang orator sejati dengan retorikanya yang mampu menggerakkan rakyat Indonesia pada zamannya. Berbagai penelitian dilakukan terhadap teks-teks pidato Soeharto dan hasilnya menunjukkan bahwa politik bahasa yang dilakukan olehnya semasa Orba adalah strategi yang sangat cerdas dalam mengelola bahasa sehingga mampu mempertahankan kekuasaannya hingga tiga puluh dua tahun. Waktu yang relatif sangat lama untuk kepemimpinan seorang presiden.
Strategi politik bahasa yang dilakukan oleh Soeharto pada masa Orba adalah dengan membentuk makna-makna konotasi dan keteraturan berbahasa. Strategi konotasi dilakukan dengan menggunakan teori kode. Jika menurut para linguis antara tanda (sign), yakni sesuatu (kata) yang mewakili sesuatu yang lain (makna, konsep) bersifat arbitrer atau manasuka, maka konsep ini tidak salah. Namun, dalam hal tertentu sifat ini merupakan hasil rekayasa yang dibuat sedemikian rupa hingga menghasilkan suatu konvensi baru. Misalnya, dalam istilah Bapak Pembangunan yang melekat pada diri Soeharto. Kata pembangunan oleh pemerintah maknanya ditetapkan sebagai ‘suatu proses yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang harus didasari kestabilan politik dan ekonomi’. Lambat laun makna pembangunan akan berkembang menjadi ‘hasil kestabilan yang diberikan oleh Presiden Soeharto dan Orba’. Dari sinilah lahir penanda Bapak Pembangunan yang diberi makna ‘Bapak yang memberikan kestabilan bagi suksesnya pembangunan’.

Proses pemaknaan ini didukung oleh kebijakan ketertiban. Dapat kita lihat bahwa di sini relasi antara kata dan makna tidak lagi didasari oleh konvensi, melainkan konvensi yang direkayasa atau bermotif. Pengembangan relasi ini sebenarnya bukanlah hal baru, melainkan sudah biasa terjadi pada propaganda dan iklan. Yang menarik adalah pengarahan atas rekayasa relasi ini tidak dirasakan oleh masyarakat karena bertolak dari kebijakan ‘ketertiban’ bahasa yang bertumpu pada ‘pembakuan bahasa Indonesia’. Sudah menjadi barang tentu jika masyarakat umumnya tidak akan menolak, bahkan mendukung kebijakan tentang ‘ketertiban’. Jadi, selama lebih dari tiga puluh tahun, pemerintah Orba telah berhasil baik dalam menerapkan strategi politik bahasanya itu.

referensi: Widjojo, Muridan S. dan Mashudi Noorsalim. 2003. Bahasa sebagai Alat Kekuasaan: Catatan Kesimpulan. Jakarta: LIPI Press.

Untuknya Yang Tak Berlalu

Tiada kata samarkan rasa, ini hati yang bicara
Mulut boleh berdusta, mimik tak elak tipu daya

Sama hati, sama jiwa
Masih, masih itu-itu saja
Tak tergoyah raga sukma
Berharap ia di sekelilingnya

Luput dari pandang tak berarti segalanya lekang
Ini bukan sesaat meng-arang

Hanya saja tiap detak nadi terulang