Minggu, 29 Oktober 2017

Pilihan

Bagaimana ia tidak jatuh hati pada laki-laki itu. Meski ia bukan sarjana, meski ia bukan PNS, tapi ia cerdas dan berwawasan luas dan pekerja keras. Persis seperti kriteria idaman Mela. Belum lagi akhlak dan ilmu agamanya yang cukup baik. Rasanya, tak ada alasan bagi Mela untuk menolak pinangan laki-laki itu.
                “Nak, pernikahan bukan untuk setahun-dua tahun. Bukan untuk sepuluh-dua puluh tahun. Tapi untuk selama kamu hidup. Agamanya memang bagus, tapi coba kamu pertimbangkan lagi.”
                Mela hanya menunduk. Dalam hatinya ia ingin menjawab, “Aku sudah mempertimbangkannya. Dan aku tidak keberatan dengannya.”
                “Lihat kakak-kakakmu, pada akhirnya ekonomi menyurutkan langkah mereka untuk bersama.” Nampak kekecewaan mendalam dari setiap sudut mata sang ayah. Mela mengerti benar, ayahnya memiliki ketakutan yang begitu besar akan kegagalan yang mungkin bisa lagi berulang pada anak bungsunya. Ketiga kakak perempuannya kembali ke rumah dengan status yang berbeda dengan saat mereka meninggalkan rumah. Pada akhirnya perempuan seperti barang pinjaman yang ketika sudah habis masa kontrak karena tak lagi cocok akan dikembalikan pada orang pertama yang memegangnya. Ayah dan rumah seakan menjadi tempat pengembalian semua kepahitan anak perempuan.
                “Kemarin ayah sempat ngobrol-ngobrol dengan Pak Gun. Dia sedang cari calon untuk anaknya. Kamu sudah kenal kan? Anaknya baik, pintar, sudah mapan. Pak Gun juga sudah kenal kamu. Dia tidak keberatan kalau kamu jadi calon menantunya.”
                Mela tersenyum. Menyembunyikan kepahitan. Ia mengambil laptopnya dan masuk ke kamar, berpura-pura mengerjakan sesuatu. Di tahannya air mata yang seakan ingin membuncah dari kedua bola matanya.


                Di atas sajadah di sepertiga malam terakhir, tetesan demi tetesan mengalir deras dari sudut mata Mela. Selalu, di tempat dan di waktu itulah Mela dapat bercurah dudah atas segala apa yang ada di hatinya.
                “Sesungguhnya hanya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui dan Maha Memberi Petunjuk, maka tunjukkanlah yang terbaik untukku.”
                Masih dengan air mata yang berlinang dan mukena di tubuhnya, Mela mengambil posisi tidur. Malam itu ia terasa begitu melelahkan. Akhir-akhir ini memang waktu yang terasa panjang dan berat untuknya. Bagaimana tidak, saat usianya lebih dari seperempat abad, saat teman-temannya sudah mulai menggendong balita-balita mereka, saat gunjang-gunjing sana-sini tentang dirinya dengan sebutan perawan tua, ia harus menyimpan kekesalan dan kesedihannya seorang diri. Harus tetap dalam sandiwara bahwa semuanya baik-baik saja, padahal tidak hatinya. Hati yang guncang itu bergemuruh, tapi bibirnya harus tetap mengembang senyum.


Akhirnya, hari pernikahan tiba. Dengan pakaian serba putih, Mela begitu cantik. Wajahnya teduh, senyum manis yang tersungging di bibirnya memancarkan aura yang mempesona. Dari tubuhnya tercium aroma mawar yang lembut. Tidak, ini lebih lembut dari aroma mawar biasa. Ini aroma kebahagiaan. Aroma sukacita. Ia tak pernah menyangka bahwa hari ini segera tiba. Secepat ini.
                Di sudut ruang kedua orang tuanya berangkulan menatapnya. Keduanya menangis terisak. Tak disangka bahwa anak bungsunya lebih dulu dipinang oleh malaikat Izrail, sebelum sempat dipinang oleh lelaki pilihan mereka.

RAGAM BAHASA KASAR PADA KBBI V LURING: ANALISIS MEDAN MAKNA DAN KAITANNYA DENGAN BUDAYA INDONESIA

(*makalah ini telah dipresentasikan dalam seminar Leksikologi dan Leksikografi UI 2017)


1.      Pendahuluan
Setiap bahasa merekam apa yang menjadi cara pandang penuturnya terhadap dunia. Konsep-konsep yang ada dalam pikiran penuturnya diungkapkan ke dalam simbol-simbol bunyi, yaitu bahasa. Namun, bahasa memiliki sifat dinamis dan memori manusia yang cenderung tidak awet menyebabkan rekaman konsep-konsep dapat pudar dalam waktu yang relatif pendek. Oleh karena itu, setiap kata dalam bahasa perlu dikumpulkan dan direkam dalam kamus agar khasanah bahasa tersebut tidak punah, bahkan akan semakin kaya.
          Kamus menurut bahasa yang didefinisikan di dalamnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu kamus ekabahasa, kamus dwibahasa, dan kamus multibahasa. Kamus ekabahasa kemudian digolongkan kembali menjadi dua jenis, yaitu kamus saku dan kamus besar. Dalam kamus saku, lema-lema yang terdapat di dalamnya biasanya tidak terlalu banyak, hanya berkisar ribuan atau ratusan ribu, sedangkan dalam kamus besar lema-lema yang terdapat di dalamnya jumlahnya dapat mencapai puluhan juta, bahkan ratusan juta. Lema menurut Cruse (1995) adalah satuan leksikal, yaitu  satuan dalam subsistem semantik leksikon. Penggunaan istilah satuan leksikal ini dapat membedakannya dari kata (words) yang umumnya digunakan dalam subsistem morfologi dan sintaksis, serta leksem yang merupakan satuan bahasa yang disusun secara alfabetis dalam kamus. Dalam penyusunan kamus ini lema-lema dikelompokkan berdasarkan medan makna.
          Di Indonesia terdapat kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yang memuat lebih 92.011 lema yang terdiri dari 41.472 kata dasar, 24.607 kata berimbuhan 23.536 gabungan kata, 2.033 peribahasa, 272 idiom/kata kiasan, dan 92 varian.  Lema-lema yang berasal dari bahasa Indonesia, serapan dari bahasa Sansekerta, Inggris, Arab, dan bahasa-bahasa daerah di Indoensia. Selain itu kamus besar ini juga memuat 3.473 rujuk silang, 1.009.005 makna, 27889 contoh, 2.385 nama ilmiah, dan 136 rumus kimia. Versi terbaru KBBI ini diluncurkan pada 28 Oktober 2016 (Amalia, 2016).
          Yang menarik adalah KBBI V ini tidak hanya diluncurkan dalam versi cetak, tetapi juga dalam versi daring dan versi luring untuk ponsel pintar dan I-Phone. Untuk versi luring, selain berbeda jumlah lema dalam entrinya terdapat perbedaan lain pula, yaitu dalam tampilan  pengategorian lema. Pada versi luring lema-lema dikategorikan dalam empat tautan, yaitu tautan kelas kata, tautan ragam, tautan bahasa (berdasarkan asal bahasa), dan tautan  bidang (register). Dalam ragam, lema-lema dikelompokkan lagi menjadi lima jenis, yaitu ragam arkais, ragam klasik, ragam hormat, ragam cakapan, dan ragam kasar.
Untuk menelaah ragam kasar pada KBBI V luring teori yang digunakan adalah medan  makna dan konteks dalam semantik. Croft (2004:175) menyamakan medan makna (meaning field) dengan ranah atau medan kata (world field). Medan makna berada dalam benak penutur dan merupakan payung konsep yang sama yang mencakupi satuan-satuan leksikal yang selanjutnya medan makna ini diwujudkan menjadi satuan leksikal yang berkaitan dalam suatu medan leksikal. Keberadaan medan makna leksikal atau butir leksikal di dalam leksikon tidak terisolasi, tetapi terintegrasi secara struktural dan membentuk medan yang lebih tinggi tatarannya  atau lebih luas liputannya sampai pada akhirnya keseluruhan butir leksikal terliput di dalam totalitas medan bahasa (Geeraerts, 2009).
Pendefinisan sebuah kamus paling banyak menggunakan relasi sinonim dengan lema lainnya yang sepadan. Sinonim berarti sebuah kata dikelompokkan dengan kata-kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkan makna umum. Sinonim identik dengan hubungan dalam semantik (Geeraerts, 2010:84).
Kramsch (1998) mengemukakan bahwa dalam konteks komunikasi, bahasa terikat dengan budaya yang banyak dan kompleks. Kata-kata yang diucapkan manusia kata-kata yang mengacu pada pengalaman umum. Mereka mengekspresikan fakta, gagasan atau peristiwa yang dapat dapat diteruskan karena mereka mengacu pada stok pengetahuan tentang dunia yang orang lain bagikan. Kata-kata juga merefleksikan sikap,  kepercayan, dan sudut pandang penuturnya. Inilah yang disebut bahwa bahasa mengekspresikan realitas budaya.
Budaya, menurut Rahyono (2009: 48-49), mengacu pada segala hal yang mencakup konsep-konsep serta pengejewantahannya, baik yang dapat ditangkap melalui indera manusia maupun tindakan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan kehidupan berdasarkan karya-karya pemikiran. Misalnya, sopan santun, tata krama yang diwujudkan dalam bentuk perilaku, atau pilihan kata dalam bertutur merupakan wujud budaya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketika seseorang mengkaji suatu bahasa sesungguhnya ia juga sedang mengkaji budayanya.
Kajian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Peneliti berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan lema-lema yang menjadi data kajian ini kemudian mengaitkannya dengan budaya Indonesia secara umum.
2.      Analisis
2.1. Ragam Bahasa Kasar pada KBBI V Luring
Ragam bahasa kasar pada KBBI V luring memiliki 68 entri. Berdasarkan medan makna asalinya, entri-entri tersebut dikelompokkan menjadi 6, yaitu: Ragam kasar yang berkaitan dengan anggota tubuh manusia, ragam kasar yang berkaitan dengan persetubuhan, ragam kasar yang berkaitan dengan kematian dan sadisme, ragam kasar yang berkaitan dengan perilaku dan sifat buruk, ragam kasar yang disebabkan oleh konteks kalimat, dan ragam kasar yang disebabkan oleh etimologinya
1.      Ragam kasar yang berkaitan dengan anggota tubuh manusia
Ada beberapa lema dalam penamaan anggota tubuh manusia yang memiliki nilai rasa negatif atau rendah disebabkan oleh 3 hal, yaitu: bersifat hewani atau dipergunakan untuk hewan (cungur, bacot, moncong, tembolok), bentuk fisik yang buruk atau tidak indah (buncit, gendut, monyong, tua bangka), dan vulgar (butuh, cukimai, pepek, tempik, tiga serangkai).

2.      Ragam kasar yang berkaitan dengan persetubuhan
Persetubuhan merupakan hal yang masih dianggap tabu dalam masyarakat Indonesia, terlebih jika dilakukan di luar pernikahan. Entri persetubuhan yang tergolong ragam kasar ini didapat dari lapangan, baik dalam dunia nyata maupun maya, dengan pertimbangan kapan lema-lema ini digunakan. Lema-lema dalam kelompok ini kerap digunakan untuk pasangan yang melakukan persetubuhan di luar pernikahan. Metode yang dipakai dalam penentuan klasifikasi ini dilakukan dengan korpus (Amalia).
Lema-lema tersebut yaitu: berjantan, bersentuh, mengentot, menggendong, mengamput, mengancuk, mengayut, mengencingi, menyodok1, merodok, dan semburit.


3.    Ragam kasar yang berkaitan dengan kematian dan sadisme
Sadisme dapat didefinisikan sebagai kekejaman, kebuasan, keganasan, atau kekasaran (http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sadisme). Lema-lema yang berkaitan dengan sadisme, yaitu: abus, jangkang, koit, kojor, mampus, mencekik, menggorok, modar, taruk, dan terjengkang.


4.    Ragam kasar yang berkaitan dengan perilaku dan sifat buruk
Yang disebut sebagai perilaku dan sifat buruk dalam pengelompokkan ini adalah perilaku yang tidak disenangi oleh masyarakat Indonesia dan perilaku yang dianggap jorok. Lema-lema tersebut, yaitu: memberaki, membuta, menggelontor, mencengam, menyekang perut, menyengam, menyodok3,4, minggat, mulut-mulutan, penyekang, dan tongkrongan.


5.    Ragam kasar yang berupa umpatan
Lema dalam kelompok ini merupakan umpatan atau makian yang dituturkan oleh seseorang dan biasanya dituturkan pada konteks orang tersebut marah atau tidak puas, baik terhadap orang lain maupun terhadap suatu keadaan. Lema-lema tersebut yaitu: anak sundal, babi, bajingan, berkirai, bincacak, celaka, geblek, goblok, keparat, kunyuk, penyakit, sial, dan sialan.


6.      Ragam kasar yang disebabkan oleh etimologinya
Berikut adalah lema-lema ragam kasar yang disebabkan oleh asumsi yang dimiliki oleh masyarakat penuturnya sehingga lema-lema ini dianggap kasar.
Lema
Keterangan
anak kolong
Sebutan untuk anak serdadu yang lahir dan dibesarkan dalam asrama, barak, atau penjara pada zaman Hindia-Belanda. Dikelompokkan dalam ragam kasar karena pada zaman itu, kehidupan tentara sangat memprihatinkan.
babi

Sebutan untuk permainan judi kartu cara Cina dengan kartu ceki atau bongkin. Di sini, “babi” sebagai identitas orang Cina yang gemar makan daging “babi”.
laki
Ragam cakapan yang digunakan untuk menggantikan kata “suami”. “Laki” berasal dari lema “laki-laki” dan dimasukkan ke dalam ragam kasar karena biasa digunakan dalam konteks kalimat bernuansa negatif

2.2. Ragam Bahasa sebagai Realitas Budaya Masyarakat Indonesia
Kehadiran tautan ragam kasar pada KBBI V Luring bukan tanpa tujuan. Tautan ini ditujukan untuk memudahkan masyarakat mengetahui lema-lema apa saja yang memiliki makna-makna negatif di dalam bahasa Indonesia, meskipun beberapa lema tidak akrab atau kurang dikenal oleh sebagian masyarakat atau pada  kelompok masyarakat tersebut tidak menganggap bahwa lema-lema tersebut memiliki makna negatif atau beragam kasar. Hal ini dikarenakan data yang diambil oleh Badan Bahasa mencakup lema-lema yang frekuensinya sering dipakai dalam sehari-hari dengan wilayah cakupan dari Sabang hingga Merauke – karena Badan Bahasa dalam membuat kamus ini bekerja sama dengan kantor-kantor bahasa di wilayah-wilayah di Indonesia.
Secara umum, bila dilihat dari kategori-kategori pada sub-sub bab sebelumnya, ada benang merah yang dapat diambil. Seperti pendapat Kramsch (1998) bahwa dengan pilihan kata suatu masyarakat dapat diungkap bagaimana masyarakat tersebut memandang fakta dan peristiwa. Ekspresi tentang sikap, kepercayaan, dan sudut pandang masyarakat ini tentu akan berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Namun, dalam suatu masyarakat yang besar dengan cakupan wilayah yang luas yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang lebih kecil ada suatu garis besar atau sesuatu yang berlaku secara umum mengenai nilai dan cara pandangnya.
Badan Bahasa sebagai wadah permasalahan kebahasaan tentu mengambil jalan tengah agar dapat mewakili kebudayaan Indonesia secara umum, mengingat kamus besar merupakan kamus yang merangkum seluruh data kebahasaan berupa kosakata-kosakata yang muncul di dalam penggunaan bahasa Indonesia secara konkret. Lema-lema pada ragam bahasa kasar yang berkaitan dengan anggota tubuh, misalnya, ada sebagian yang merupakan lema-lema bersifat hewani. Pemetaforaan lema berkomponen makna hewani tersebut apabila digunakan dalam konteks yang mengacu kepada manusia akan menjadi kasar bagi penutur bahasa Indonesia. Adapun kosakata tubuh yang dianggap vulgar dikarenakan penggunaannya yang sering ditemukan dalam konteks kalimat yang tabu. Lema-lema vulgar ini tentunya tidak digunakan dalam konteks ilmiah. Hal ini terjadi juga pada lema-lema yang mengacu pada persetubuhan dan perbuatan kekerasan dan yang dimasukkan ke dalam ragam kasar.
Sedikit berbeda dengan tiga kategori sebelumnya, mengacu pada perilaku atau sikap buruk dimasukkan ke dalam ragam kasar karena entitas dari lema itu sendiri. Selain konteks penggunaan, makna yang terkandung dari lema itu sendiri merupakan perilaku manusia yang dianggap buruk. Misalnya, pada lema menyengam yang memiliki komponen makna rakus dan minggat yang memiliki komponen makna melarikan diri. Perilaku-perilaku ini merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai yang dijunjung dalam budaya sopan santun masyarakat Indonesia.
Di dalam setiap bahasa ada hal-hal yang sifatnya universal, salah satunya adalah umpatan. Umpatan merupakan kosakata yang selalu memiliki nilai negatif, sehingga kosakata ini dimasukkan ke dalam ragam bahasa kasar. Aspek emosi negatif merupakan hal yang mengonstruksi suatu lema menjadi kata yang kasar ketika dituturkan oleh seseorang. Hal ini tentu saja bertentangan dengan nilai kesantunan menahan amarah atau emosi dalam berkomunikasi.
Lema-lema yang dikategorikan ke dalam ragam bahasa kasar secara etimologinya dapat merefleksikan masa lalu bangsa Indonesia. Lema anak kolong mengandung arti  anak serdadu yang lahir dan dibesarkan dalam asrama, barak, atau penjara pada zaman Hindia-Belanda. Tempat-tempat yang mereka tinggali itu biasanya amat kumuh dan gelap seperti kolong. Anak kolong ini dianggap kasar karena konstruksinya yang menggunakan ‘kolong’ untuk menggantikan ‘serdadu’ atau ‘prajurit’, yaitu orang yang berjuang melawan penjajah. Meskipun lema ini tergolong kiasan, namun kiasan ini bernilai rasa yang kurang baik. Demikian pula dalam lema babi sebagai sebutan untuk permainan judi kartu cara Cina dengan kartu ceki atau bongkin. Babi dalam konteks ini dikaitkan dengan identitas orang Cina yang gemar memakan daging babi, tidak seperti orang Indonesia pada umumnya (mayoritas muslim) yang diharamkan untuk memakan daging babi.

3.      Simpulan
Medan makna merupakan sesuatu yang paling mendasar dalam penyusunan lema-lema di dalam kamus. Relasi sinonim bekerja pada medan makna sehingga dapat menjadi alat bantu dalam mendefinisikan sebuah lema. Namun, lema pada dasarnya tidak bermakna begitu saja. Diperlukan konteks sebagai pendukungnya sehingga suatu lema atau kata menjadi bermakna. Dari klasifikasi medan makna yang terkandung pada tautan ragam bahasa kasar KBBI V Luring, apa yang dianggap kasar oleh masyarakat Indonesia adalah apa yang dianggap bertentangan dengan budaya msyarakat Indonesia pada umumnya. Pendeksripsian bentuk fisik yang tidak indah, perilaku buruk yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dari konvensi yang dianut, metafora komponen makna insani dengan hewani, dan umpatan merupakan hal-hal yang menyebabkan sebuah lema dapat digolongkan ke dalam ragam kasar bahasa Indonesia.

Daftar Pustaka
Amalia, Dora. 2016. Tayangan pada Diseminasi KBBI V 14 Desember 2016. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Croft, William dan Alan. D Cruse. 2004. Cognitive Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Cruse, Alan D. 1995. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Geeraerts, Dirk. 2009. Theories of Lexical Semantics. London: Oxford University Press.
http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sadisme
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V versi Luring. 2016.
Kramsch, Claire, 1998. Language and Culture. New York: Oxford University Press.

Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Penerbit Wedatamawidyasastra.

PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI BAHASA DARI DAN UNTUK MASYARAKAT: STUDI KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA PADA GRUP WHATSAPP

(*makalah ini telah dipresentasikan dalam Seminar SETALI UPI 2017)


PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi begitu cepat dalam satu dasawarsa terakhir ini. Dalam bidang telekomunikasi, misalnya, berbagai inovasi mulai dari telegram, faksimile, telepon genggam, hingga ponsel pintar dengan bermacam aplikasi di dalamnya merupakan bukti bahwa teknologi di bidang komunikasi mengalami kemajuan yang pesat. Dari berbagai aplikasi yang terdapat pada ponsel pintar, WhatsApp (WA) adalah aplikasi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan kepraktisannya. WA tidak hanya memiliki fitur percakapan antarpribadi, tetapi juga percakapan dalam grup, seperti grup organisasi, grup hobi, grup alumni, dan sebagainya. Dengan kemudahan inilah, pada perkembangannya WA juga dimanfaatkan sebagai salah satu tempat diskusi ruang maya yang dapat menjangkau seluruh kalangan dengan berbagai latar belakang anggota grup.
Dalam berkomunikasi, yang perlu diperhatikan oleh manusia bukan hanya informasi atau maksud yang hendak disampaikan, tetapi juga cara penyampaiannya. Cara ini berperan penting dalam keberhasilan seseorang menyampaikan informasi. Kesantunan merupakan hal paling mendasar dalam terjalinnya komunikasi yang baik, terutama dalam bahasa tulis yang tidak memiliki fitur suprasegmental, seperti jeda dan intonasi, sehingga sangat berpotensi menimbulkan kesalahpahaman antara penutur dan petutur. Begitu pula pada bahasa yang digunakan dalam percakapan grup WA. Selain pemakaian tanda baca yang benar, pemilihan kata-kata pun harus diperhatikan agar antara penutur dan petutur memiliki kesamaan kognisi sehingga pesan dapat tersampaikan dengan baik.
Berbicara penggunaan bahasa berarti juga berbicara mengenai cara berpikir manusia karena bahasa tidak terlepas dari bagaimana kognisi penggunanya, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa adalah jati diri bangsa. Karakter bangsa Indonesia tercermin dari bagaimana penggunaan bahasa di dalam masyarakat. Menurut definisi dalam KBBI IV, karakter berkaitan dengan sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti dan utamanya dibentuk dari lingkungan. Oleh karena pentingnya pembentukan karakter masyarakat, Presiden Jokowi mencanangkan sebuah gerakan yang disebut dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) dengan pendidikan karakter menjadi salah satu program dalam bidang pendidikan.
Dikutip dari revolusimental.go.id, Revolusi Mental merupakan bentuk strategi kebudayaan yang berperan memberi arah bagi tercapainya kemaslahatan hidup berbangsa dan bernegara. Gerakan ini dilatarbelakangi oleh tiga hal, yaitu (1) krisis nilai dan karakter, (2) krisis pemerintahan: pemerintah ada, tetapi tidak hadir, masyarakat menjadi objek pembangunan, dan (3) krisis relasi sosial: gejala toleransi. Integritas, etos kerja, gotong royong, merupakan nilai-nilai strategis dalam Revolusi Mental. Yang menjadi penggerak Revolusi Mental itu sendiri, menurut Presiden Joko Widodo, adalah seluruh bangsa Indonesia. Gerakan ini diharapkan dapat menyebar menjadi gerakan-gerakan masyarakat di tingkat lokal dan komunitas di seluruh Indonesia.
Pendidikan karakter meski menjadi salah satu program di bidang pendidikan, namun pendidikan ini hanya dibicarakan dalam ranah formal dan nonformal. Ranah informal, yaitu kehidupan masyarakat yang sebenarnya kurang menjadi perhatian, padahal karakter manusia lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Berdasarkan latar belakang tersebut, pendidikan karakter yang kini tengah disuarakan pemerintah sejatinya dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Kita sebagai anak bangsa dapat berpartisipasi aktif dalam pendidikan karakter bangsa Indonesia, bukan untuk pemerintah ataupun rezim, melainkan untuk bangsa kita sendiri. Adapun di dalam makalah ini dikaitkan dengan program pemerintah adalah sebagai deskripsi kebijakan pemerintah dengan bahasa sebagai tonggaknya, yaitu bagaimana bahasa memiliki posisi yang sangat strategis dalam implementasi kebijakan.

TEORI DAN METODOLOGI
Kramsch (1998) mengemukakan bahwa bahasa adalah realitas budaya. Dalam konteks komunikasi, bahasa terikat dengan budaya yang banyak dan kompleks. Oleh karena itu, bahasa memiliki posisi yang sangat strategis dalam menilik bagaimana kebudayaan suatu bangsa. Bahasa yang santun dapat mencerminkan jati diri yang baik dari penuturnya dan sebaliknya. Oleh karena itu, manusia memiliki kewajiban dasar dalam menjaga setiap tutur katanya. Hal ini dikarenakan kata-kata adalah tindakan yang dapat berubah menjadi sebuah kebiasaan. Pada tahap selanjutnya, kebiasaan yang berawal dari tindakan bertutur tersebut dapat menjadi budaya dan karakter penuturnya
Sementara itu, Rahyono (2011) mengungkapkan bahwa kemampuan pengendalian diri terhadap nafsu-nafsu, dari waktu-ke waktu, memiliki peran yang menentukan pembentukan karakter manusia. Tuturan-tuturan yang secara produktif digunakan menunjukkan karakter anak bangsa. Media komunikasi merupakan salah satu tempat belajar, yang secara pasif di luar kesadaran, berperan dalam membentuk kerpibadian anak bangsa.
Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills) sebagai manifestasi dari nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Karakter mengandung nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Dengan demikian, karakter yang kuat membentuk individu menjadi pelaku perubahan bagi diri sendiri dan masyarakat sekitarnya (Albertus (2015) dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2016)). Untuk itu diperlukan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat yang merupakan bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Dukungan ini dapat dimulai dengan penataan bahasa dalam berkomunikasi sehingga komunikasi menjadi lebih baik, kesalahpahaman dapat diminimalisasi, dan pada akhirnya kerukunan antarmasyarakat Indonesia dapat terlaksana.
Dari berbagai strategi penataan bahasa, kesantunan merupakan salah satu hal terpenting. Kesantunan menurut Brown dan Levinson (1978) merupakan bagaimana seseorang penutur menjaga muka petuturnya. Artinya, dalam bertutur atau berkomunikasi penutur sedapat mungkin mempertahankan citra positif petuturnya, tidak membuat petuturnya merasa malu, terancam, atau tidak nyaman karena tuturannya  tersebut. Levinson (1978:61) membagi tindak kesantunan ke dalam empat strategi, yaitu dengan tidak berusaha menyinggung wajah pendengar (bald on-record), berusaha membangun hubungan positif antar-pelibat cakap atau menghormati kebutuhan seseorang untuk disukai dan dihargai (positive politeness), membuat permintaan tanpa menyalahi dan menghormati hak seseorang untuk bertindak bebas (negative politeness), dan mengunakan bahasa tidak langsung dan hindari potensi pemaksaan (off-record atau indirect).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik yang digunakan adalah teknik simak bebas libat cakap. Data diambil dari percakapan grup Whatsapp dengan berbagai latar belakang topik. Teks percakapan kemudian dianalisis dengan mengaitkannya pada konteks yang menjadi latar percakapan tersebut. Konteks diambil tidak hanya sewaktu, yaitu saat percakapan berlangsung saja. Namun, konteks diambil dari jangka waktu tertentu. Pengambilan konteks yang jangka waktu yang lebih luas ini ditujukan agar peneliti mendapat gambaran bagaimana kedekatan sosial partisipan-partisipan yang terlibat dalam percakapan.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian yang dilakukan terdapat beberapa temuan yang menunjukkan adanya ketidaksantunan dalam komunikasi di dalam grup WA. Secara garis besar, ketidaksantunan tersebut dapat digeneralisasi menjadi sebagai berikut.
Kalau tidak setuju, silakan left yang dituturkan admin dalam konteks dikusi atau pembicaraan yang didalamnya terdapat dua atau lebih pandangan yang berbeda merupakan kalimat yang mengindikasikan adanya keotoriteran admin dalam menjalankan grupnya. Jika dikaitkan dengan strategi kesantunan Levinson, maka kalimat ini tentu melanggar keempat strategi kesantunan, yaitu tidak membangun hubungan positif dengan petutur, tidak menghormati kebutuhan orang lain untuk dihargai dan berpendapat. Tuturan ini juga berpotensi menyinggung petutur karena pendapatnya tidak dihargai dan menimbulkan daya paksa terhadap petutur tersebut keluar dari grup karena secara tidak langsung kehadiran petutur di dalam grup tersebut tidak penting.
Selain itu, di dalam percakapan dalam grup WA juga sering terjadi perisakan yang tidak disadari. Ketika ada dua orang yang berbeda pendapat dan salah satu di antara mereka adalah orang yang punya wewenang lebih, seperti admin, pemilik  atau bahkan narasumber grup, maka pembelaan cenderung kepada yang memiliki wewenang tersebut. Padahal belum tentu orang yang memiliki wewenang tersebut benar pada saat itu, sedang orang yang berbeda pendapatnya dengan si pemilik wewenang itu salah atau hanya sekadar memberi masukan. Namun, anggota lainnya tidak mengambil sikap menengahi atau setidaknya mengganti topik pembicaraan yang lain yang kiranya dapat meredakan suasana panas di dalam grup. Anggota lainnya, justru menambah percakapan dengan mendukung pihak yang memiliki wewenang meskipun percakapan itu sebenarnya sudah selesai beberapa waktu lalu (dalam hitungan jam, misalnya). Tanpa disadari tuturan-tuturan tersebut telah menyalahi pihak yang bertanya atau memberi masukan yang tidak sejalan dengan pernyataan admin atau narasumber.
Berkebalikan dengan tanggapan yang berlebihan, tidak adanya tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan salah satu anggota juga merupakan tindak ketidaksantunan menurut Levinson. Hal ini dikarenakan penutur atau anggota yang bertanya tersebut dianggap seperti tidak ada atau tidak menjadi bagian dari grup tersebut. Oleh karena itu, tidak adanya tanggapan sama sekali dari anggota lainnya di dalam grup mengakibatkan wajah negatif penutur atau penanya. Kebutuhan orang lain untuk dihargai diabaikan begitu saja.
Anggota yang aktif cuma segini, nih? Yang lainnya hantu. Kalimat ini dapat bermakna candaan, tetapi dapat pula sebagai bentuk agresi. Kalimat ini berkaitan dengan latar konteks yang lebih luas dan khusus, yaitu pada bagaimana percakapan sehari-hari di dalam grup terjadi, maka kalimat ini dapat dikategorikan ke dalam kalimat yang tidak santun. Ketika sebuah grup dengan ratusan anggota, namun hanya orang-orang tertentu saja yang terlibat dalam percakapan, terlebih orang-orang tersebut adalah memang orang-orang yang memiliki kedekatan di dalam dunia nyata, maka dapat dikatakan telah terjadi forum dalam forum. Adanya perbedaan respon antara orang dalam lingkaran dengan luar lingkaran tersebut cukup menandakan bahwa adanya keengganan dan ketidakadilan tanggapan. Kasus ini sama seperti kasus-kasus sebelumnya, yaitu pelanggaran terhadap kesantunan positif (positive politeness) yang mengakibatkan menyinggung perasaan penutur.
Masalah SARA merupakan masalah yang sangat sensitif, baik di dalam dunia nyata mapun maya. Terlebih jika pembicaraan mengenai SARA itu didasarkan hanya pada asumsi-asumsi atau stereotipe yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Perbedaan adalah sesuatu yang harus dihargai. Mengingat Indonesia merupakan bangsa dengan penuh keberagaman, maka tidak sepatutnya keberagaman itu sendiri menjadi hal yang membuat bangsa menjadi terpecah belah hanya karena tuturan yang tidak tepat konteks.
Pendidikan sejatinya tidak hanya dari lingkungan formal, seperti sekolah atau intitusi pendidikan, melainkan juga dari masyarakat. Hal inilah yang luput dari program pendidikan karakter dalam gerakan Revolusi Mental. Ketidakterukuran menjadi salah satu kendalanya. Namun, bukan tidak mungkin pendidikan karakter di masyarakat justru menjadi salah satu ranah yang paling banyak berpengaruh terhadap karakter anak bangsa. Dilihat dari segi waktu yang dihabiskan seseorang dalam menjalani kehidupan, waktu pendidikan intitusi pendidikan formal tidaklah lebih lama dari pendidikan yang diterima oleh seseorang melalui lingkungannya.
Untuk itulah, langkah paling awal sekaligus paling sederhana yang dapat dilakukan adalah pembenahan bahasa, bagaimana cara berkomunikasi agar hubungan sosial tetap terjaga dengan baik. Pemilihan kata-kata yang baik, sadar konteks, serta sadar akan kebutuhan orang lain untuk dihargai merupakan kunci komunikasi. Khusus pada bahasa tulis, seperti WA, penggunaan tanda baca dan penggunaan huruf yang tepat (tidak besar-kecil atau besar semua) juga harus diperhatikan. Hal ini dikarenakan WA merupakan sarana komunikasi yang memiliki jangkauan sangat luas, sehingga dampak baik-buruk yang ditimbulkannya pun akan luas pula. Jika bahasa sudah tertata maka tidak menutup kemungkinan cara berpikir kita pun akan tertata. Kesantunan tidak hanya sekadar ucapan, melainkan mengkarakter di dalam setiap individu bangsa Indonesia.
Sesuai dengan apa yang terumus dalam GNRM, khususnya dalam bidang pendidikan karakter, bahwa masyarakat juga memiliki peran dalam membangun karakter bangsa Indonesia yang arif berbudaya. Menjadi role model atau panutan bukanlah sesuatu yang mudah, akan tetapi tidak berarti tidak mungkin. Membangun masyarakat yang berkarakter dan santun dapat dilakukan oleh siapa saja. Tugas ini bukan hanya tanggung jawab para guru dan pendidik di lingkungan formal dan nonformal, tetapi tugas ini merupakan tugas yang kita emban bersama. Pemerintah beserta jajarannya adalah pemimpin dan wakil bangsa Indonesia yang menjadi panutan bagi masyarakatnya. Dapat memberikan contoh yang baik, santun dan berkarakter adalah harapan bagi seluruh bangsa Indonesia.

Simpulan
Berkomunikasi bukanlah menyampaikan informasi semata, melainkan upaya untuk menjalin hubungan sosial di masyarakat. Dalam berkomunikasi yang perlu diperhatikan bukan hanya isi, tetapi juga cara. Dalam bahasa tulis dan ruang maya dengan pelibat tutur yang banyak dan latar belakang yang luas, kesantunan merupakan cara sekaligus prinsip yang paling penting dalam komunikasi yang baik. Bahasa yang santun mencerminkan karakter santun penuturnya. Karakter inilah yang menjadi salah satu target utama pemerintah dalam Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), khususnya dalam bidang pendidikan karakter. Oleh karena itu, implementasi gerakan ini dapat diawali dengan langkah sederhana, yaitu dengan cara menata kesantunan dalam berbahasa. Satu hal yang perlu diingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang luhur dan berbudi pekerti, memiliki nilai-nilai kearifan yang patut dilestarikan.


Daftar Pustaka
Brown, P., Stephen Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Use. Cambridge: Cambridge University Press.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter (diakses pada 16 Juli 2017 pukul 14.00).
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Rahyono, F.X. 2014. “Peran Pragmatik dalam Memaknai dan Membentuk Karakter Bangsa dalam Era Global”. Seminar Internasional Semiotik, Pragmatik, dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 17 Juni 2014.