Minggu, 29 Oktober 2017

RAGAM BAHASA KASAR PADA KBBI V LURING: ANALISIS MEDAN MAKNA DAN KAITANNYA DENGAN BUDAYA INDONESIA

(*makalah ini telah dipresentasikan dalam seminar Leksikologi dan Leksikografi UI 2017)


1.      Pendahuluan
Setiap bahasa merekam apa yang menjadi cara pandang penuturnya terhadap dunia. Konsep-konsep yang ada dalam pikiran penuturnya diungkapkan ke dalam simbol-simbol bunyi, yaitu bahasa. Namun, bahasa memiliki sifat dinamis dan memori manusia yang cenderung tidak awet menyebabkan rekaman konsep-konsep dapat pudar dalam waktu yang relatif pendek. Oleh karena itu, setiap kata dalam bahasa perlu dikumpulkan dan direkam dalam kamus agar khasanah bahasa tersebut tidak punah, bahkan akan semakin kaya.
          Kamus menurut bahasa yang didefinisikan di dalamnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu kamus ekabahasa, kamus dwibahasa, dan kamus multibahasa. Kamus ekabahasa kemudian digolongkan kembali menjadi dua jenis, yaitu kamus saku dan kamus besar. Dalam kamus saku, lema-lema yang terdapat di dalamnya biasanya tidak terlalu banyak, hanya berkisar ribuan atau ratusan ribu, sedangkan dalam kamus besar lema-lema yang terdapat di dalamnya jumlahnya dapat mencapai puluhan juta, bahkan ratusan juta. Lema menurut Cruse (1995) adalah satuan leksikal, yaitu  satuan dalam subsistem semantik leksikon. Penggunaan istilah satuan leksikal ini dapat membedakannya dari kata (words) yang umumnya digunakan dalam subsistem morfologi dan sintaksis, serta leksem yang merupakan satuan bahasa yang disusun secara alfabetis dalam kamus. Dalam penyusunan kamus ini lema-lema dikelompokkan berdasarkan medan makna.
          Di Indonesia terdapat kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yang memuat lebih 92.011 lema yang terdiri dari 41.472 kata dasar, 24.607 kata berimbuhan 23.536 gabungan kata, 2.033 peribahasa, 272 idiom/kata kiasan, dan 92 varian.  Lema-lema yang berasal dari bahasa Indonesia, serapan dari bahasa Sansekerta, Inggris, Arab, dan bahasa-bahasa daerah di Indoensia. Selain itu kamus besar ini juga memuat 3.473 rujuk silang, 1.009.005 makna, 27889 contoh, 2.385 nama ilmiah, dan 136 rumus kimia. Versi terbaru KBBI ini diluncurkan pada 28 Oktober 2016 (Amalia, 2016).
          Yang menarik adalah KBBI V ini tidak hanya diluncurkan dalam versi cetak, tetapi juga dalam versi daring dan versi luring untuk ponsel pintar dan I-Phone. Untuk versi luring, selain berbeda jumlah lema dalam entrinya terdapat perbedaan lain pula, yaitu dalam tampilan  pengategorian lema. Pada versi luring lema-lema dikategorikan dalam empat tautan, yaitu tautan kelas kata, tautan ragam, tautan bahasa (berdasarkan asal bahasa), dan tautan  bidang (register). Dalam ragam, lema-lema dikelompokkan lagi menjadi lima jenis, yaitu ragam arkais, ragam klasik, ragam hormat, ragam cakapan, dan ragam kasar.
Untuk menelaah ragam kasar pada KBBI V luring teori yang digunakan adalah medan  makna dan konteks dalam semantik. Croft (2004:175) menyamakan medan makna (meaning field) dengan ranah atau medan kata (world field). Medan makna berada dalam benak penutur dan merupakan payung konsep yang sama yang mencakupi satuan-satuan leksikal yang selanjutnya medan makna ini diwujudkan menjadi satuan leksikal yang berkaitan dalam suatu medan leksikal. Keberadaan medan makna leksikal atau butir leksikal di dalam leksikon tidak terisolasi, tetapi terintegrasi secara struktural dan membentuk medan yang lebih tinggi tatarannya  atau lebih luas liputannya sampai pada akhirnya keseluruhan butir leksikal terliput di dalam totalitas medan bahasa (Geeraerts, 2009).
Pendefinisan sebuah kamus paling banyak menggunakan relasi sinonim dengan lema lainnya yang sepadan. Sinonim berarti sebuah kata dikelompokkan dengan kata-kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkan makna umum. Sinonim identik dengan hubungan dalam semantik (Geeraerts, 2010:84).
Kramsch (1998) mengemukakan bahwa dalam konteks komunikasi, bahasa terikat dengan budaya yang banyak dan kompleks. Kata-kata yang diucapkan manusia kata-kata yang mengacu pada pengalaman umum. Mereka mengekspresikan fakta, gagasan atau peristiwa yang dapat dapat diteruskan karena mereka mengacu pada stok pengetahuan tentang dunia yang orang lain bagikan. Kata-kata juga merefleksikan sikap,  kepercayan, dan sudut pandang penuturnya. Inilah yang disebut bahwa bahasa mengekspresikan realitas budaya.
Budaya, menurut Rahyono (2009: 48-49), mengacu pada segala hal yang mencakup konsep-konsep serta pengejewantahannya, baik yang dapat ditangkap melalui indera manusia maupun tindakan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan kehidupan berdasarkan karya-karya pemikiran. Misalnya, sopan santun, tata krama yang diwujudkan dalam bentuk perilaku, atau pilihan kata dalam bertutur merupakan wujud budaya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketika seseorang mengkaji suatu bahasa sesungguhnya ia juga sedang mengkaji budayanya.
Kajian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Peneliti berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan lema-lema yang menjadi data kajian ini kemudian mengaitkannya dengan budaya Indonesia secara umum.
2.      Analisis
2.1. Ragam Bahasa Kasar pada KBBI V Luring
Ragam bahasa kasar pada KBBI V luring memiliki 68 entri. Berdasarkan medan makna asalinya, entri-entri tersebut dikelompokkan menjadi 6, yaitu: Ragam kasar yang berkaitan dengan anggota tubuh manusia, ragam kasar yang berkaitan dengan persetubuhan, ragam kasar yang berkaitan dengan kematian dan sadisme, ragam kasar yang berkaitan dengan perilaku dan sifat buruk, ragam kasar yang disebabkan oleh konteks kalimat, dan ragam kasar yang disebabkan oleh etimologinya
1.      Ragam kasar yang berkaitan dengan anggota tubuh manusia
Ada beberapa lema dalam penamaan anggota tubuh manusia yang memiliki nilai rasa negatif atau rendah disebabkan oleh 3 hal, yaitu: bersifat hewani atau dipergunakan untuk hewan (cungur, bacot, moncong, tembolok), bentuk fisik yang buruk atau tidak indah (buncit, gendut, monyong, tua bangka), dan vulgar (butuh, cukimai, pepek, tempik, tiga serangkai).

2.      Ragam kasar yang berkaitan dengan persetubuhan
Persetubuhan merupakan hal yang masih dianggap tabu dalam masyarakat Indonesia, terlebih jika dilakukan di luar pernikahan. Entri persetubuhan yang tergolong ragam kasar ini didapat dari lapangan, baik dalam dunia nyata maupun maya, dengan pertimbangan kapan lema-lema ini digunakan. Lema-lema dalam kelompok ini kerap digunakan untuk pasangan yang melakukan persetubuhan di luar pernikahan. Metode yang dipakai dalam penentuan klasifikasi ini dilakukan dengan korpus (Amalia).
Lema-lema tersebut yaitu: berjantan, bersentuh, mengentot, menggendong, mengamput, mengancuk, mengayut, mengencingi, menyodok1, merodok, dan semburit.


3.    Ragam kasar yang berkaitan dengan kematian dan sadisme
Sadisme dapat didefinisikan sebagai kekejaman, kebuasan, keganasan, atau kekasaran (http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sadisme). Lema-lema yang berkaitan dengan sadisme, yaitu: abus, jangkang, koit, kojor, mampus, mencekik, menggorok, modar, taruk, dan terjengkang.


4.    Ragam kasar yang berkaitan dengan perilaku dan sifat buruk
Yang disebut sebagai perilaku dan sifat buruk dalam pengelompokkan ini adalah perilaku yang tidak disenangi oleh masyarakat Indonesia dan perilaku yang dianggap jorok. Lema-lema tersebut, yaitu: memberaki, membuta, menggelontor, mencengam, menyekang perut, menyengam, menyodok3,4, minggat, mulut-mulutan, penyekang, dan tongkrongan.


5.    Ragam kasar yang berupa umpatan
Lema dalam kelompok ini merupakan umpatan atau makian yang dituturkan oleh seseorang dan biasanya dituturkan pada konteks orang tersebut marah atau tidak puas, baik terhadap orang lain maupun terhadap suatu keadaan. Lema-lema tersebut yaitu: anak sundal, babi, bajingan, berkirai, bincacak, celaka, geblek, goblok, keparat, kunyuk, penyakit, sial, dan sialan.


6.      Ragam kasar yang disebabkan oleh etimologinya
Berikut adalah lema-lema ragam kasar yang disebabkan oleh asumsi yang dimiliki oleh masyarakat penuturnya sehingga lema-lema ini dianggap kasar.
Lema
Keterangan
anak kolong
Sebutan untuk anak serdadu yang lahir dan dibesarkan dalam asrama, barak, atau penjara pada zaman Hindia-Belanda. Dikelompokkan dalam ragam kasar karena pada zaman itu, kehidupan tentara sangat memprihatinkan.
babi

Sebutan untuk permainan judi kartu cara Cina dengan kartu ceki atau bongkin. Di sini, “babi” sebagai identitas orang Cina yang gemar makan daging “babi”.
laki
Ragam cakapan yang digunakan untuk menggantikan kata “suami”. “Laki” berasal dari lema “laki-laki” dan dimasukkan ke dalam ragam kasar karena biasa digunakan dalam konteks kalimat bernuansa negatif

2.2. Ragam Bahasa sebagai Realitas Budaya Masyarakat Indonesia
Kehadiran tautan ragam kasar pada KBBI V Luring bukan tanpa tujuan. Tautan ini ditujukan untuk memudahkan masyarakat mengetahui lema-lema apa saja yang memiliki makna-makna negatif di dalam bahasa Indonesia, meskipun beberapa lema tidak akrab atau kurang dikenal oleh sebagian masyarakat atau pada  kelompok masyarakat tersebut tidak menganggap bahwa lema-lema tersebut memiliki makna negatif atau beragam kasar. Hal ini dikarenakan data yang diambil oleh Badan Bahasa mencakup lema-lema yang frekuensinya sering dipakai dalam sehari-hari dengan wilayah cakupan dari Sabang hingga Merauke – karena Badan Bahasa dalam membuat kamus ini bekerja sama dengan kantor-kantor bahasa di wilayah-wilayah di Indonesia.
Secara umum, bila dilihat dari kategori-kategori pada sub-sub bab sebelumnya, ada benang merah yang dapat diambil. Seperti pendapat Kramsch (1998) bahwa dengan pilihan kata suatu masyarakat dapat diungkap bagaimana masyarakat tersebut memandang fakta dan peristiwa. Ekspresi tentang sikap, kepercayaan, dan sudut pandang masyarakat ini tentu akan berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Namun, dalam suatu masyarakat yang besar dengan cakupan wilayah yang luas yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang lebih kecil ada suatu garis besar atau sesuatu yang berlaku secara umum mengenai nilai dan cara pandangnya.
Badan Bahasa sebagai wadah permasalahan kebahasaan tentu mengambil jalan tengah agar dapat mewakili kebudayaan Indonesia secara umum, mengingat kamus besar merupakan kamus yang merangkum seluruh data kebahasaan berupa kosakata-kosakata yang muncul di dalam penggunaan bahasa Indonesia secara konkret. Lema-lema pada ragam bahasa kasar yang berkaitan dengan anggota tubuh, misalnya, ada sebagian yang merupakan lema-lema bersifat hewani. Pemetaforaan lema berkomponen makna hewani tersebut apabila digunakan dalam konteks yang mengacu kepada manusia akan menjadi kasar bagi penutur bahasa Indonesia. Adapun kosakata tubuh yang dianggap vulgar dikarenakan penggunaannya yang sering ditemukan dalam konteks kalimat yang tabu. Lema-lema vulgar ini tentunya tidak digunakan dalam konteks ilmiah. Hal ini terjadi juga pada lema-lema yang mengacu pada persetubuhan dan perbuatan kekerasan dan yang dimasukkan ke dalam ragam kasar.
Sedikit berbeda dengan tiga kategori sebelumnya, mengacu pada perilaku atau sikap buruk dimasukkan ke dalam ragam kasar karena entitas dari lema itu sendiri. Selain konteks penggunaan, makna yang terkandung dari lema itu sendiri merupakan perilaku manusia yang dianggap buruk. Misalnya, pada lema menyengam yang memiliki komponen makna rakus dan minggat yang memiliki komponen makna melarikan diri. Perilaku-perilaku ini merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai yang dijunjung dalam budaya sopan santun masyarakat Indonesia.
Di dalam setiap bahasa ada hal-hal yang sifatnya universal, salah satunya adalah umpatan. Umpatan merupakan kosakata yang selalu memiliki nilai negatif, sehingga kosakata ini dimasukkan ke dalam ragam bahasa kasar. Aspek emosi negatif merupakan hal yang mengonstruksi suatu lema menjadi kata yang kasar ketika dituturkan oleh seseorang. Hal ini tentu saja bertentangan dengan nilai kesantunan menahan amarah atau emosi dalam berkomunikasi.
Lema-lema yang dikategorikan ke dalam ragam bahasa kasar secara etimologinya dapat merefleksikan masa lalu bangsa Indonesia. Lema anak kolong mengandung arti  anak serdadu yang lahir dan dibesarkan dalam asrama, barak, atau penjara pada zaman Hindia-Belanda. Tempat-tempat yang mereka tinggali itu biasanya amat kumuh dan gelap seperti kolong. Anak kolong ini dianggap kasar karena konstruksinya yang menggunakan ‘kolong’ untuk menggantikan ‘serdadu’ atau ‘prajurit’, yaitu orang yang berjuang melawan penjajah. Meskipun lema ini tergolong kiasan, namun kiasan ini bernilai rasa yang kurang baik. Demikian pula dalam lema babi sebagai sebutan untuk permainan judi kartu cara Cina dengan kartu ceki atau bongkin. Babi dalam konteks ini dikaitkan dengan identitas orang Cina yang gemar memakan daging babi, tidak seperti orang Indonesia pada umumnya (mayoritas muslim) yang diharamkan untuk memakan daging babi.

3.      Simpulan
Medan makna merupakan sesuatu yang paling mendasar dalam penyusunan lema-lema di dalam kamus. Relasi sinonim bekerja pada medan makna sehingga dapat menjadi alat bantu dalam mendefinisikan sebuah lema. Namun, lema pada dasarnya tidak bermakna begitu saja. Diperlukan konteks sebagai pendukungnya sehingga suatu lema atau kata menjadi bermakna. Dari klasifikasi medan makna yang terkandung pada tautan ragam bahasa kasar KBBI V Luring, apa yang dianggap kasar oleh masyarakat Indonesia adalah apa yang dianggap bertentangan dengan budaya msyarakat Indonesia pada umumnya. Pendeksripsian bentuk fisik yang tidak indah, perilaku buruk yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dari konvensi yang dianut, metafora komponen makna insani dengan hewani, dan umpatan merupakan hal-hal yang menyebabkan sebuah lema dapat digolongkan ke dalam ragam kasar bahasa Indonesia.

Daftar Pustaka
Amalia, Dora. 2016. Tayangan pada Diseminasi KBBI V 14 Desember 2016. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Croft, William dan Alan. D Cruse. 2004. Cognitive Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Cruse, Alan D. 1995. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Geeraerts, Dirk. 2009. Theories of Lexical Semantics. London: Oxford University Press.
http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sadisme
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V versi Luring. 2016.
Kramsch, Claire, 1998. Language and Culture. New York: Oxford University Press.

Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Penerbit Wedatamawidyasastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar