(*makalah ini telah dipresentasikan dalam seminar Leksikologi dan Leksikografi UI 2017)
1. Pendahuluan
Setiap bahasa
merekam apa yang menjadi cara pandang penuturnya terhadap dunia. Konsep-konsep
yang ada dalam pikiran penuturnya diungkapkan ke dalam simbol-simbol bunyi, yaitu
bahasa. Namun, bahasa memiliki sifat dinamis dan memori manusia yang cenderung
tidak awet menyebabkan rekaman konsep-konsep dapat pudar dalam waktu yang
relatif pendek. Oleh karena itu, setiap kata dalam bahasa perlu dikumpulkan dan
direkam dalam kamus agar khasanah bahasa tersebut tidak punah, bahkan akan
semakin kaya.
Kamus
menurut bahasa yang didefinisikan di dalamnya dapat dibagi menjadi beberapa
jenis, yaitu kamus ekabahasa, kamus dwibahasa, dan kamus multibahasa. Kamus
ekabahasa kemudian digolongkan kembali menjadi dua jenis, yaitu kamus saku dan
kamus besar. Dalam kamus saku, lema-lema yang terdapat di dalamnya biasanya
tidak terlalu banyak, hanya berkisar ribuan atau ratusan ribu, sedangkan dalam
kamus besar lema-lema yang terdapat di dalamnya jumlahnya dapat mencapai
puluhan juta, bahkan ratusan juta. Lema menurut Cruse (1995) adalah satuan
leksikal, yaitu satuan dalam subsistem
semantik leksikon. Penggunaan istilah satuan leksikal ini dapat membedakannya
dari kata (words) yang umumnya digunakan
dalam subsistem morfologi dan sintaksis, serta leksem yang merupakan satuan
bahasa yang disusun secara alfabetis dalam kamus. Dalam penyusunan kamus ini
lema-lema dikelompokkan berdasarkan medan makna.
Di
Indonesia terdapat kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yang memuat lebih 92.011
lema yang terdiri dari 41.472 kata dasar, 24.607 kata berimbuhan 23.536
gabungan kata, 2.033 peribahasa, 272 idiom/kata kiasan, dan 92 varian. Lema-lema yang berasal dari bahasa Indonesia,
serapan dari bahasa Sansekerta, Inggris, Arab, dan bahasa-bahasa daerah di
Indoensia. Selain itu kamus besar ini juga memuat 3.473 rujuk silang, 1.009.005
makna, 27889 contoh, 2.385 nama ilmiah, dan 136 rumus kimia. Versi terbaru KBBI
ini diluncurkan pada 28 Oktober 2016 (Amalia, 2016).
Yang
menarik adalah KBBI V ini tidak hanya diluncurkan dalam versi cetak, tetapi
juga dalam versi daring dan versi luring untuk ponsel pintar dan I-Phone. Untuk versi luring, selain
berbeda jumlah lema dalam entrinya terdapat perbedaan lain pula, yaitu dalam
tampilan pengategorian lema. Pada versi
luring lema-lema dikategorikan dalam empat tautan, yaitu tautan kelas kata,
tautan ragam, tautan bahasa (berdasarkan asal bahasa), dan tautan bidang (register). Dalam ragam, lema-lema
dikelompokkan lagi menjadi lima jenis, yaitu ragam arkais, ragam klasik, ragam
hormat, ragam cakapan, dan ragam kasar.
Untuk menelaah ragam kasar pada KBBI V luring teori
yang digunakan adalah medan makna dan
konteks dalam semantik. Croft (2004:175) menyamakan medan makna (meaning field) dengan ranah atau medan
kata (world field). Medan makna
berada dalam benak penutur dan merupakan payung konsep yang sama yang mencakupi
satuan-satuan leksikal yang selanjutnya medan makna ini diwujudkan menjadi
satuan leksikal yang berkaitan dalam suatu medan leksikal. Keberadaan medan
makna leksikal atau butir leksikal di dalam leksikon tidak terisolasi, tetapi
terintegrasi secara struktural dan membentuk medan yang lebih tinggi
tatarannya atau lebih luas liputannya
sampai pada akhirnya keseluruhan butir leksikal terliput di dalam totalitas
medan bahasa (Geeraerts, 2009).
Pendefinisan sebuah kamus paling banyak menggunakan
relasi sinonim dengan lema lainnya yang sepadan. Sinonim berarti sebuah kata
dikelompokkan dengan kata-kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkan
makna umum. Sinonim identik dengan hubungan dalam semantik (Geeraerts,
2010:84).
Kramsch (1998) mengemukakan bahwa dalam konteks
komunikasi, bahasa terikat dengan budaya yang banyak dan kompleks. Kata-kata
yang diucapkan manusia kata-kata yang mengacu pada pengalaman umum. Mereka
mengekspresikan fakta, gagasan atau peristiwa yang dapat dapat diteruskan
karena mereka mengacu pada stok pengetahuan tentang dunia yang orang lain
bagikan. Kata-kata juga merefleksikan sikap, kepercayan, dan sudut pandang penuturnya.
Inilah yang disebut bahwa bahasa mengekspresikan realitas budaya.
Budaya, menurut Rahyono (2009: 48-49), mengacu pada
segala hal yang mencakup konsep-konsep serta pengejewantahannya, baik yang
dapat ditangkap melalui indera manusia maupun tindakan yang dilakukan dalam rangka
penyelenggaraan kehidupan berdasarkan karya-karya pemikiran. Misalnya, sopan
santun, tata krama yang diwujudkan dalam bentuk perilaku, atau pilihan kata
dalam bertutur merupakan wujud budaya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
ketika seseorang mengkaji suatu bahasa sesungguhnya ia juga sedang mengkaji
budayanya.
Kajian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Peneliti berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan lema-lema yang
menjadi data kajian ini kemudian mengaitkannya dengan budaya Indonesia secara
umum.
2.
Analisis
2.1.
Ragam Bahasa Kasar pada KBBI V Luring
Ragam bahasa kasar
pada KBBI V luring memiliki 68 entri. Berdasarkan medan makna asalinya,
entri-entri tersebut dikelompokkan menjadi 6, yaitu: Ragam kasar yang berkaitan
dengan anggota tubuh manusia, ragam kasar yang berkaitan dengan persetubuhan,
ragam kasar yang berkaitan dengan kematian dan sadisme, ragam kasar yang
berkaitan dengan perilaku dan sifat buruk, ragam kasar yang disebabkan oleh
konteks kalimat, dan ragam kasar yang disebabkan oleh etimologinya
1. Ragam
kasar yang berkaitan dengan anggota tubuh manusia
Ada beberapa
lema dalam penamaan anggota tubuh manusia yang memiliki nilai rasa negatif atau
rendah disebabkan oleh 3 hal, yaitu: bersifat hewani atau dipergunakan untuk
hewan (cungur, bacot, moncong, tembolok),
bentuk fisik yang buruk atau tidak indah (buncit,
gendut, monyong, tua bangka), dan vulgar (butuh, cukimai, pepek, tempik, tiga serangkai).
2. Ragam
kasar yang berkaitan dengan persetubuhan
Persetubuhan
merupakan hal yang masih dianggap tabu dalam masyarakat Indonesia, terlebih
jika dilakukan di luar pernikahan. Entri persetubuhan yang tergolong ragam
kasar ini didapat dari lapangan, baik dalam dunia nyata maupun maya, dengan
pertimbangan kapan lema-lema ini digunakan. Lema-lema dalam kelompok ini kerap
digunakan untuk pasangan yang melakukan persetubuhan di luar pernikahan. Metode
yang dipakai dalam penentuan klasifikasi ini dilakukan dengan korpus (Amalia).
Lema-lema
tersebut yaitu: berjantan, bersentuh, mengentot,
menggendong, mengamput, mengancuk, mengayut, mengencingi, menyodok1,
merodok, dan semburit.
3. Ragam
kasar yang berkaitan dengan kematian dan sadisme
Sadisme dapat didefinisikan sebagai kekejaman,
kebuasan, keganasan, atau kekasaran (http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sadisme).
Lema-lema yang berkaitan dengan sadisme, yaitu: abus, jangkang, koit, kojor, mampus, mencekik, menggorok, modar, taruk,
dan terjengkang.
4. Ragam
kasar yang berkaitan dengan perilaku dan sifat buruk
Yang disebut sebagai perilaku dan sifat buruk dalam
pengelompokkan ini adalah perilaku yang tidak disenangi oleh masyarakat
Indonesia dan perilaku yang dianggap jorok. Lema-lema tersebut, yaitu: memberaki, membuta, menggelontor, mencengam, menyekang perut, menyengam,
menyodok3,4,
minggat, mulut-mulutan, penyekang,
dan tongkrongan.
5. Ragam
kasar yang berupa umpatan
Lema dalam
kelompok ini merupakan umpatan atau makian yang dituturkan oleh seseorang dan
biasanya dituturkan pada konteks orang tersebut marah atau tidak puas, baik
terhadap orang lain maupun terhadap suatu keadaan. Lema-lema tersebut yaitu: anak sundal, babi, bajingan, berkirai,
bincacak, celaka, geblek, goblok, keparat, kunyuk, penyakit, sial, dan sialan.
6. Ragam
kasar yang disebabkan oleh etimologinya
Berikut adalah
lema-lema ragam kasar yang disebabkan oleh asumsi yang dimiliki oleh masyarakat
penuturnya sehingga lema-lema ini dianggap kasar.
Lema
|
Keterangan
|
anak
kolong
|
Sebutan untuk anak
serdadu yang lahir dan dibesarkan dalam asrama, barak, atau penjara pada
zaman Hindia-Belanda. Dikelompokkan dalam ragam kasar karena pada zaman itu,
kehidupan tentara sangat memprihatinkan.
|
babi
|
Sebutan untuk
permainan judi kartu cara Cina dengan kartu ceki atau bongkin. Di sini, “babi” sebagai identitas orang Cina yang
gemar makan daging “babi”.
|
laki
|
Ragam
cakapan yang digunakan untuk menggantikan kata “suami”. “Laki” berasal dari
lema “laki-laki” dan dimasukkan ke dalam ragam kasar karena biasa digunakan
dalam konteks kalimat bernuansa negatif
|
2.2.
Ragam Bahasa sebagai Realitas Budaya Masyarakat Indonesia
Kehadiran tautan ragam kasar pada KBBI V Luring
bukan tanpa tujuan. Tautan ini ditujukan untuk memudahkan masyarakat mengetahui
lema-lema apa saja yang memiliki makna-makna negatif di dalam bahasa Indonesia,
meskipun beberapa lema tidak akrab atau kurang dikenal oleh sebagian masyarakat
atau pada kelompok masyarakat tersebut
tidak menganggap bahwa lema-lema tersebut memiliki makna negatif atau beragam
kasar. Hal ini dikarenakan data yang diambil oleh Badan Bahasa mencakup
lema-lema yang frekuensinya sering dipakai dalam sehari-hari dengan wilayah
cakupan dari Sabang hingga Merauke – karena Badan Bahasa dalam membuat kamus
ini bekerja sama dengan kantor-kantor bahasa di wilayah-wilayah di Indonesia.
Secara umum, bila dilihat dari kategori-kategori
pada sub-sub bab sebelumnya, ada benang merah yang dapat diambil. Seperti
pendapat Kramsch (1998) bahwa dengan pilihan kata suatu masyarakat dapat
diungkap bagaimana masyarakat tersebut memandang fakta dan peristiwa. Ekspresi
tentang sikap, kepercayaan, dan sudut pandang masyarakat ini tentu akan berbeda
antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Namun, dalam suatu masyarakat
yang besar dengan cakupan wilayah yang luas yang terdiri dari berbagai kelompok
masyarakat yang lebih kecil ada suatu garis besar atau sesuatu yang berlaku
secara umum mengenai nilai dan cara pandangnya.
Badan Bahasa sebagai wadah permasalahan kebahasaan
tentu mengambil jalan tengah agar dapat mewakili kebudayaan Indonesia secara
umum, mengingat kamus besar merupakan kamus yang merangkum seluruh data
kebahasaan berupa kosakata-kosakata yang muncul di dalam penggunaan bahasa
Indonesia secara konkret. Lema-lema pada ragam bahasa kasar yang berkaitan
dengan anggota tubuh, misalnya, ada sebagian yang merupakan lema-lema bersifat
hewani. Pemetaforaan lema berkomponen makna hewani tersebut apabila digunakan
dalam konteks yang mengacu kepada manusia akan menjadi kasar bagi penutur
bahasa Indonesia. Adapun kosakata tubuh yang dianggap vulgar dikarenakan
penggunaannya yang sering ditemukan dalam konteks kalimat yang tabu. Lema-lema vulgar
ini tentunya tidak digunakan dalam konteks ilmiah. Hal ini terjadi juga pada
lema-lema yang mengacu pada persetubuhan dan perbuatan kekerasan dan yang
dimasukkan ke dalam ragam kasar.
Sedikit berbeda dengan tiga kategori sebelumnya,
mengacu pada perilaku atau sikap buruk dimasukkan ke dalam ragam kasar karena
entitas dari lema itu sendiri. Selain konteks penggunaan, makna yang terkandung
dari lema itu sendiri merupakan perilaku manusia yang dianggap buruk. Misalnya,
pada lema menyengam yang memiliki
komponen makna rakus dan minggat yang
memiliki komponen makna melarikan diri. Perilaku-perilaku ini merupakan
perilaku yang tidak sesuai dengan nilai yang dijunjung dalam budaya sopan
santun masyarakat Indonesia.
Di dalam setiap bahasa ada hal-hal yang sifatnya
universal, salah satunya adalah umpatan. Umpatan merupakan kosakata yang selalu
memiliki nilai negatif, sehingga kosakata ini dimasukkan ke dalam ragam bahasa
kasar. Aspek emosi negatif merupakan hal yang mengonstruksi suatu lema menjadi
kata yang kasar ketika dituturkan oleh seseorang. Hal ini tentu saja
bertentangan dengan nilai kesantunan menahan amarah atau emosi dalam berkomunikasi.
Lema-lema yang dikategorikan ke dalam ragam bahasa
kasar secara etimologinya dapat merefleksikan masa lalu bangsa Indonesia. Lema anak kolong mengandung arti anak serdadu yang lahir dan dibesarkan dalam
asrama, barak, atau penjara pada zaman Hindia-Belanda. Tempat-tempat yang
mereka tinggali itu biasanya amat kumuh dan gelap seperti kolong. Anak kolong ini dianggap kasar karena
konstruksinya yang menggunakan ‘kolong’ untuk menggantikan ‘serdadu’ atau
‘prajurit’, yaitu orang yang berjuang melawan penjajah. Meskipun lema ini
tergolong kiasan, namun kiasan ini bernilai rasa yang kurang baik. Demikian
pula dalam lema babi sebagai sebutan
untuk permainan judi kartu cara Cina dengan kartu ceki atau bongkin. Babi dalam
konteks ini dikaitkan dengan identitas orang Cina yang gemar memakan daging
babi, tidak seperti orang Indonesia pada umumnya (mayoritas muslim) yang
diharamkan untuk memakan daging babi.
3.
Simpulan
Medan makna merupakan sesuatu yang
paling mendasar dalam penyusunan lema-lema di dalam kamus. Relasi sinonim
bekerja pada medan makna sehingga dapat menjadi alat bantu dalam mendefinisikan
sebuah lema. Namun, lema pada dasarnya tidak bermakna begitu saja. Diperlukan
konteks sebagai pendukungnya sehingga suatu lema atau kata menjadi bermakna.
Dari klasifikasi medan makna yang terkandung pada tautan ragam bahasa kasar
KBBI V Luring, apa yang dianggap kasar oleh masyarakat Indonesia adalah apa
yang dianggap bertentangan dengan budaya msyarakat Indonesia pada umumnya.
Pendeksripsian bentuk fisik yang tidak indah, perilaku buruk yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai dari konvensi yang dianut, metafora komponen makna insani dengan
hewani, dan umpatan merupakan hal-hal yang menyebabkan sebuah lema dapat
digolongkan ke dalam ragam kasar bahasa Indonesia.
Daftar
Pustaka
Amalia, Dora. 2016. Tayangan pada Diseminasi KBBI V
14 Desember 2016. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Croft, William dan Alan. D Cruse. 2004. Cognitive Linguistics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Cruse, Alan D. 1995. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Geeraerts, Dirk. 2009. Theories of Lexical Semantics. London: Oxford University Press.
http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sadisme
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V versi Luring.
2016.
Kramsch, Claire, 1998. Language and Culture. New York: Oxford University Press.
Rahyono, F.X.
2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Penerbit Wedatamawidyasastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar