Jumat, 12 Mei 2017

Makna sebagai Tanda

Bahasa bermakna melalui dua cara yang fundamental, yaitu melalui apa yang dikatakan atau apa yang ditunjuk sebagai tanda yang dikodekan (semantik) dan melalui apa yang dilakukan sebagai tindakan dalam sebuah konteks (pragmatik). Setiap praktik pemaknaan melibatkan dua elemen, yaitu penanda dan petanda. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer atau manasuka. Oleh karena itu di dalam hubungan ini tidak memiliki korespondensi yang benar-benar sempurna (asimetris).
Makna tanda dibedakan menjadi tiga, yaitu denotatif, konotatif, dan ikonik. Makna denotatif dapat dikatakan merupakan makna yang mendefiniskan realitas atau makna yang sesuai dengan kamus, makna konotatif merupakan makna yang memliki berbagai asosiasi yang dibangun oleh pikiran manusia, sedangkan ikonik merupakan makna yang dapat menggambarkan objeknya. Ketiga makna ini berhubungan dengan wacana yang diberikan oleh suatu masyarakat mengkodekan pengalamannya.
Dalam mengkodekan pengalaman-pengalaman yang berbeda dalam asosiasi kebudayaan dibangun dari tanda linguistik yang berbeda pula. Studi jaringan semantik pada penutur bilingual membuat asosiasi-asosiasi dalam kebahasaan ini lebih terlihat karena perbedaan kosakata dan kemiripan konsep antara bahasa pertama dengan bahasa keduanya. Namun, perbedaan nilai semantik juga dapat terjadi dalam komunitas tutur yang sama. Perbedaan ini disebabkan adanya komunitas wacana yang berbeda. Jadi, perbedaan dalam bahasa bukan hanya perbedaan tanda itu sendiri, tetapi juga dalam makna semantik yang dihubungkan dengan pengkodean yang berbeda oleh komunitas pemakai bahasa tersebut.

Sebagai tanda, sebuah kata terhubung dengan kata-kata lainnya sehingga menjadi sebuah teks yang bernilai (ko-teks). Hubungan ini disebut dengan perangkat kohesif. Selain itu, lingkungan linguistik lain dengan kata-kata yang membawa makna semantik kebudayaan terdiri dari linguistik metafora yang merupakan akumulasi dari seluruh pengetahuan semantik sebuah komunitas. Dengan demikian tanda sesungguh adalah diciptakan, tidak diterima begitu saja, dan dikombinasikan dengan tanda-tanda lainnya untuk membentuk pola kebudayaan makna. Tanda-tanda linguistik tidak dibentuk dengan kehampaan sosial, melainkan termotivasi. Misalnya, kata-kata seperti ‘demokrasi’, ‘kebebasan’, ‘pilihan’ yang kerap dituturkan oleh politisi dan diplomat pada tahap selanjutnya akan menjadi simbol politik di negara-negara Barat. 




Kramsch, Claire. 1998. Language and Culuture. New York: Oxford University Press.

Makna dalam Bentuk Linguistik

Metode analisis formal linguistik merupakan metode analisis linguistik yang tidak menyertakan faktor-faktor nonlinguistik dalam analisisnya. Analisis dipusatkan pada faktor-faktor linguistiknya saja, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Fokus kajiannya adalah apa yang logis dan semantis atau makna referensial dan denotasional.
Analisis linguistik muncul dari ide bahwa makna adalah berdasarkan jenis hubungan dari tanda-tanda. Menurut strukturalisme, tanda dapat diketahui maknanya berdasarkan dua cara, yaitu dengan secara temporer atau spasial dihubungkan dengan elemen lainnya dan dengan mengetahui oposisi dari elemen yang mungkin dimilikinya. Konsep makna sebagai hubungan dengan tanda lainnya (in presentia dan in absentia) baru muncul pada era Jakobcon dan Barthes, para ahli semiotik.
Kemampuan manusia untuk memproduksi dan memahami bahasa merupakan kombinasi dari faktor fisiologis, neural, kognitif, dan kontekstual. Fonem yang berdiri sendiri tidak memiliki makna. Ia akan memiliki makna ketika ia terangkai menjadi sebuah bentuk  bahasa. Fonem-fonem yang terangkai selanjutnya dapat menjadi morfem, sebagai satuan terkecil dari bentuk bahasa di atas fonem. Di dalam morfologi terdapat dua istilah, yaitu morfologi nominal dan morfologi verbal. Interaksi morfem membentuk klausa. Klausa dibagi menjadi dua, yaitu klausa transitif dan klausa intransitif yang dibedakan dengan ada-tidaknya objek. Klausa kemudian membantuk kalimat yang secara umum sama pengertian dan jenisnya sama dengan klausa. Perbedaan klausa dengan kalimat terletak pada ada-tidaknya intonasi final. Tataran yang lebih tinggi dari kalimat adalah wacana yang sejatinya merupakan korelasi antarkalimat.

Bentuk bahasa yang selanjutnya adalah metalinguistik. Istilah metalinguistik diciptakan oleh Jakobson untuk menyebut bahasa yang digunakan sebagai alat untuk mendeskripsikan dan menganalisis bahasa. Metaliguistik didasarkan pada intuisi penutur asli suatu bahasa dalam menjelaskan bagaimana suatu bentuk bahasa bekerja. Bentuk bahasa yang terakhir adalah simbol, indeks, dan icon. Ikon adalah sebuah tanda yang menunjukkan atau menggambarkan objek atau referen yang diwakili, hubungannya berdasarkan kemiripan. Yang termasuk ke dalam ikon adalah gambar dan onomatope. Bahasa juga memiliki indeks yang terlihat dari istilah deiksis atau kata tunjuk dan shifters seperti saya, kamu, sekarang, kemarin, yang apabila digunakan oleh orang yang berbeda, di tempat dan waktu yang berbeda maka maknanya bergeser. Yang terakhir adalah simbol. Simbol merupakan efek pragmatik dari ekspresi bahasa yang bersifat konvensional.



Duranti, Alessandro. 2000. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. 

Bahasa sebagai Sistem Tanda

Menurut Saussure, bahasa bukanlah sekadar sebuah sistem penamaan atau nomenklatur, tetapi bahasa terdiri dari dua entitas yang disatukan dalam hubungan sosial.  Artinya, sebuah tanda bisa menyertakan dua benda, yaitu sebuah bunyi-bunyi dan sebuah konsep. Sebuah tanda adalah kesatuan dari keduanya. Kedua hal inilah yang disebut sebagai penanda (signifier) dan petanda (signified).  Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer.
Meski hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer, hal ini tidak berlaku dalam onomatope atau peniruan bunyi. Menurut Saussure onomatope merupakan evolusi dari morfologi dan fonologi, yaitu dengan membentuk kata dengan meniru bunyi natural suatu entitas. Ia juga memberi batasan kearbitreran sebuah tanda linguistik pada sistem bahasa karena ketika sudah masuk dalam sistem atau struktur bahasa, sebuah tanda bisa saja tidak sepenuhnya arbitrer, melainkan juga termotivasi.
Sejatinya, penanda (signifier) merupakan gambaran bunyi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ujaran. Selanjutnya, bahasa menjadi sebuah sistem linear karena kata-kata disusun secara bersamaan yang membentuk hubungan secara sintagmatik dan kata-kata, di luar wacana, memperoleh relasi dari jenis yang berbeda yang memiliki kesamaan yang dapat diasosiasikan dalam ingatan kita membentuk hubungan paradigmatik. Saussure juga mengungkapkan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh faktor historis atau waktu. Oleh karena itu, Saussure mengemukakan istilah telaah sinkornik dan diakronik dalam bahasa.

Bahasa tidak diciptakan, tetapi diwariskan oleh orang-orang sebelumnya. Bahasa adalah sesuatu yang stabil karena sebuah bahasa tidak dapat berubah hanya karena keinginan seseorang. Ada beberapa faktor yang membuat bahasa tetap stabil, yaitu: bahasa bersifat arbitrer, tidak ada dasar rasional untuk membahas apakah bahasa perlu diubah atau tidak; adanya keserbaragaman tanda karena tanda linguistik tidak terhitung jumlahnya sehingga akan sulit mengubahnya; bahasa adalah sebuah sistem yang hanya dipahami oleh spesialis, membuat masyarakat banyak, yang tidak menyadari bahasa, tidak dapat mengubahnya; dan semua orang berpartisipasi dalam penggunaan bahasa setiap waktu oleh karenanya bahasa sulit berubah. Meski begitu, bahasa tetaplah berubah. Karena sifat arbitrertnya, maka sangat memungkinkan terjadi perubahan bentuk tanda yang juga berimplikasi pada perubahan makna.


Holdcroft, David. 1991. Saussure: Signs, Systems, and Arbitrariness. Cambridge: Cambridge University Press.

Kakek, Nenek, dan Seorang Anak Muda

Di suatu sore yang cerah di sudut kota, ada seorang lelaki renta menggandeng seorang perempuan yang usianya tak jauh berbeda dengannya.
"Belakang toko Sumber, yang di sebelah barat perempatan Sisri," perempuan itu, dengan artikulasi yang kurang jelas dan suara yang bergetar, berkata kepada suaminya. 
"Barat?" Sang suami melihat kanan-kiri memperhatikan sekitar. "Oh, itu! Di sana itu!" Ia menunjuk dengan tongkat berwarna cokelat dalam genggaman tangan kanannya.

Masih dengan lengan mereka yang menyatu, berjalan menyeberang pelan-pelan. Para pengendara di jalan itu pun seketika berhenti, mempersilakan sepasang emas ini berjalan ke arah seberang.
Seorang anak muda memperhatikannya dari jarak yang tak bisa dibilang jauh. Tiba-tiba ada perasaan sesal yang muncul di dadanya, "Mengapa aku tak bantu seberangkan mereka?" Ia menghela napas, berat. Kemudian sadar bahwa ia terlalu sibuk mengkhayalkan dirinya berada di posisi sang kakek hingga akhirnya ia tidak dapat berbuat apa-apa untuk dua sejoli itu.

Analisis Teori Relevansi pada Tayangan Mata Najwa 23 Maret 2017


Berikut transkripsi percakapan Najwa Shibab dengan Anies Baswedan.
Najwa :  Dan Anda mengajak mereka memilih nomor 3? Jadi, Anda mengharapkan dukungan FPI?
Anies   :  Di semua tempat yang saya kunjungi saya adalah seorang kandidat. Di manapun. Di tempat ini pun saya akan mengatakan kalau Anda punya pilihan, pilihlah nomor 3! Itu kan kampanye! Jadi, artinya di mana saja......
Najwa :  Mas Anies, apakah kemudian, yang jelas kita tahu FPI sikap politiknya jelas, gurbernur Jakarta harus orang Islam, Anda sependapat dengan sikap politik itu?
Anies   :  Itu adalah pandangan yang disampaikan dan saya sebagai seorang calon menawarkannya program. Jadi, ini bukan pandangan saya pribadi. Ini soal bagaimana Jakarta, gurbernurnya siapapun, dia harus bisa mengayomi semuanya dan diayomi semuanya itu artinya seorang gurbernur bisa berdialog juga. Malah justru berbahaya kalau seorang gurbernur mengatakan saya tidak mau dengan organisasi ini, saya tidak mau dengan organisasi ini. Lalu, dengan siapa dia mau?
Percakapan di atas sekilas seperti tidak memiliki relevansi jika hanya dilihat dari sturkturnya. Namun, percakapan di atas bila dilihat dari sudt pandang pragmatik merupakan percakpan yang memliki relevansi yang kuat. Yang membuatnya relevan antara lain adanya konteks, perluasan kognisi, dan implikatur dalam percakapan.  Pada tayangan tersebut, percakapan di atas didahului dengan tayangan gambar-gambar Anies sedang bertemu dengan Rizieq Shihab. Konteks yang pertama dibangun adalah siapa itu Rizieq Shihab. Baik adressor maupun adrressee sama-sama memiliki pengetahuan tentang siapa Rizieq Shihab, yaitu ketua FPI.
Ketidakbersediaan (unwillingness) addressor terhadap pertanyaan Jadi, Anda mengharapkan dukungan FPI? secara langsung ditandai dengan kalimat Di semua tempat yang saya kunjungi saya adalah seorang kandidat. Relevansi dibangun melalui implikatur jawaban bahwa sebenarnya addressor memang mengharapkan dukungan FPI. Namun, hal ini dapat dibuktikan pada kalimat adrressor selanjutnya, yaitu Di tempat ini pun saya akan mengatakan kalau Anda punya pilihan, pilihlah nomor 3!.
Selain itu, adressor dan addressee juga memiliki pengetahuan yang sama mengenai ideologi politik FPI. Namun, addressee kemudian mengkonfirmasi addressor dengan kalimat, “gurbernur Jakarta harus orang Islam, Anda sependapat dengan sikap politik itu?”. Jawaban atas pertanyaan ini disampaikan melalui implikatur kuat, yaitu dengan tuturan   Itu adalah pandangan yang disampaikan dan saya sebagai seorang calon menawarkannya program. Ada dua proposisi dalam tuturan ini. Yang pertama “itu adalah pandangan yang disampaikan” dan yang kedua adalah “saya sebagai seorang calon menawarkannya program”. Kedua proposisi ini secara sintaktik dihubungkan dengan kata hubung dan yang memiliki makna kesetaraaan. Oleh karena itu, dapat dilihat bagaimana adrressor tidak ingin menjawab pertanyaan addresse secara langsung dengan jawaban iya atau tidak, tetapi dengan mengulangi kemiripan pertanyaan addressee: sikap politik itu = pandangan yang disampaikan. Meski secara sintaktik proposisi pertama ini dihubungkan dengan kata ‘dan’ yang berfungsi sebagai kesertaaan, namun secara pragmatik kata ‘dan’ ini berfungsi sebagai akibat. Ini dibuktikan dengan tuturan yang berelevansi dengan pandangan atau sikap politik FPI, yaitu saya sebagai seorang calon menawarkannya program. Dengan tuturan ini addressor mencoba mengaitkan sikap politik FPI dengan program yang sudah direncanakannya. Inferensinya adalah addressor melakukan bargaining terhadap FPI.
Perluasan kognisi terjadi pada tuturan adrressor pada saat menjelaskan mengenai bagaimana pemimpin ideal bagi Jakarta. Tuturan Jakarta, gurbernurnya siapapun, dia harus bisa mengayomi semuanya jika dikaitkan dengan konteks yang lebih luas atau konteks sosial, tuturan ini dapat dikatakan sebagai satir terhadap pemerintahan pada saat itu. Tuturan berikutnya menguatkan satir tersebut, Malah justru berbahaya kalau seorang gurbernur mengatakan saya tidak mau dengan organisasi ini, saya tidak mau dengan organisasi ini. Kekuatan satir ini ditandai salah satunya dengan respon audiens atau penonton di studio terhadap tuturan. Respon ini juga menunjukkan bahwa perluasan kognisi tidak hanya terjadi antara Anies dan Najwa, tetapi juga pada penonton di studio dan mungkin penonton di rumah. Dengan perluasan kognisi, maka gurbernur yang dimaksud dalam tuturan tersebut adalah Ahok yang saat itu masih menjabat sebagai gurbernur DKI Jakarta. Ahok merupakan gurbernur yang kontroversial karena caranya dalam mengemukakan pendapat apabila ia tidak suka dengan sesuatu hal. Cara berbicaranya yang seperti inilah yang dimaksud dalam proposisi saya tidak mau dengan organisasi ini, saya tidak mau dengan organisasi ini.