Senin, 03 Oktober 2016

Jemputan

"Mak, Bapak mana?" matanya yang jernih menatap sang ibu.
"Bapak lagi berlayar, Le."

Di lain hari.
"Mak, Bapak mana?"
"Bapak masih berlayar, Le."
"Kapan Bapak pulang, Mak?"
Sambil mengguntingi kuku anak semata wayangnya ia menjawab, "Kalau Bapak sudah menepi di pelabuhan."

Tok! Tok! Tok!
Seseorang mengetuk pintu rumah. Anak itu dengan sigap membukanya.
"Bapak!"
"Apa kabarmu, Le? Mana ibumu?"
Sesaat kemudian sesosok perempuan berdiri di depan pintu. Selembar kertas karton cantik ia terima dari laki-laki di hadapannya.
"Sekalian menjemput anakku."

Di balik bilik kamar, di atas dipan tak beranjang, sebagian baju anaknya ia ciumi, ia peluk erat. Tak terhitung berapa tetes air mata yang jatuh dari pelupuk. Masih dipandanginya kertas merah jambu itu. "Yang berbahagia, Mulyono dan Saras."

Jumat, 29 Juli 2016

Mending Muhasabah


Disaksikan sejuta pasang mata perubahan penampilannya yang kini tak lagi glamor. Atribut keagamaan; baju koko dengan kopiahnya, atau kain kerudung yang menutupi rambut dengan gamis lebar. Sesaat tertunduk, namun selepas itu tersenyum lebar menyeringai.

“Halah, kalo udah ketangkep aja langsung tobat!”

“Itu ngapain sih, pake kerudung-kerudung segala? Bikin jelek citra Islam saja!”

“Entar kalo kasusnya udah mulai beres juga balik lagi kayak dulu!”

Bla.. bla.. bla..

Bla.. bla.. bla...

Berbagai macam prasangka menyeruak. Mungkin dia benar tobat, mungkin dia tomat (tobat lalu kumat), mungkin dia pencitraan, mungkin dia sedang merayu Tuhannya, mungkin dia..... cerminan saya!

Begitu pandai diri ini membuat hipotesis atas orang lain, begitu tajam pikir ini menganalisis kesalahan orang lain, dan begitu licin lidah ini mengomentari hidup orang lain. Padahal mungkin diri ini yang pernah tobat (kemudian kembali maksiat), mungkin diri ini yang selalu mendahulukan pencitraan demi mendapat simpati orang, mungkin diri ini yang selalu merayu Tuhan hanya bila sedang terpepet keadaan.

Kemudian teringat dengan satu pesan kehidupan bahwa hijrah bukan sekadar berganti penampilan. Di situ ada hati yang harus senantiasa dibersihkan dari kotoran-kotoran akibat kemaksiatan, ada pikiran yang harus dibersihkan dari prasangka-prasangka buruk, dan ada tindakan yang harus mencerminkan perbaikan-perbaikan dari kesalahan di masa lalu.


Daripada ghibah nanti fitnah, mending muhasabah! #selfreminder 

Kamis, 07 Juli 2016

Mari Saling Mengingatkan, Tanpa Celaan

__Ceritanya malam ini hampir saja berdebat dengan seorang ukhti bercadar di bbm. Saya mengenal dia dari dua komunitas Islam. Meski sekarang kami tak lagi satu grup, tetapi silaturahmi via bbm masih cukup terjaga. Terlepas dari hal itu, ada sesuatu yang menarik dan bikin greget saya membara malam ini. Mungkin ini yang jadi penyebab kenapa banyak orang yang sebel sama wanita bercadar.__

Ukhti, hidayah itu mahal harganya. Tak setiap orang seberuntung engkau yang dapat mengenakan pakaian syar'i dan no unggah selfie lagi. Bukankah kau mencapai titik ini juga dari sebuah proses? Lantas mengapa mulut dan jarimu nyinyir kepada mereka yang belum dapat mengenakan pakaian syar'i dan masih suka selfie? Silakan saling mengingatkan, tapi dimohon dengan sangat pakailah kata-kata yang baik. Bukankah kau sudah mengaji, "Berkatalah yang baik atau diam"?


Lalu, bagaimana responmu, wahai ukhti, ketika saya yang masih awam ini mengingatkan untuk mengimbangi sindiran-sindiranmu dengan berintrospeksi? "Terserah," katamu. "Silakan berkomentar. Capek."

Apakah tak terbayang pula jika itu adalah respon yang diberikan mereka terhadap sindiran-sindiranmu yang terlalu nyinyir itu? Yang ada, bukannya sindiran itu mengena dalam hati dan jadi bahan muhasabah diri, namun justru mengenai alam bawah sadar mereka untuk menolaknya, meski mereka tau itu tak sesuai syariat.

So, ukhti, mari saling menjaga hati dan perasaan. Kau tau wanita adalah makhluk yang begitu halus perasaannya. Mari saling mengingatkan, tanpa celaan. 

Kamis, 30 Juni 2016

A'a Gym dan Yang (Perlu) Diingat



Sore itu, salah satu stasiun radio di kota saya menyiarkan ceramah A’a Gym. Seperti biasa, ceramah beliau terdengar renyah di telinga saya. Namun, sayang sekali saya lupa isi persisnya tentang apa karena tetiba ada yang mematik buyarnya konsentrasi saya dengan ceramahnya tersebut.

“Ah, A’a Gym ini ilmunya ga seberapa. Akhirnya cerai kan sama istri keduanya. Balikan lagi sama Teh Ninih. Ndadak poligami sih, jadi jatuh kan! Padahal waktu itu lagi tinggi-tingginya.”

Saya tidak menyukai kalimat-kalimat itu, tetapi masih saya diam.

“Ustadz ko kawin-cerai-kawin-cerai. Ternyata gak mampu poligami kan!”

Saya yang mulai gregetan kemudian menimpali, “Ya ustadz juga kan manusia. Dia punya ilmu, tentunya dia juga gak sembarangan waktu memutuskan untuk berpoligami. Kalau ternyata dia gak mampu, kita ambil ibrahnya aja.  Poligami itu gak mudah, apalagi untuk manusia akhir zaman,” dengan gaya yang sok ngustadzah (*eaak :v ).

“Coba, kalo dia gak poligami, gak akan bangkrut tuh! Pake segala poligami sih, padahal baru mulai sukses. Lagi laris-larisnya, bla bla bla... bla bla bla....,” terus nyerocos panjang lebar kali tinggi.

Semakin gregetan. Rasanya pengen ngomong juga ini itu ina inu. Tapi, yah... buat apa juga mendebat orang seperti itu. Subjektivitasnya yang terlalu kental membuat saya memilih untuk pergi dari mendengarkan celotehannya mengenai A’a Gym. Niat mau mendengarkan ceramah, malah berujung tepok jidat.

Saya pribadi memang belum menikah. Saya tidak tahu tentang dunia rumah tangga dan berkeluarga, apalagi poligami. Namun, membenarkan penghakiman atas A’a Gym di atas adalah salah. 

Yang pertama, untuk apa? Membicarakan kesalahan seseorang yang telah lalu atas rumah tangganya ditambah dengan gaya nyinyir seperti itu hanya membuang-buang waktu saja. Yang paling ditakutkan adalah justru akan berujung pada tindakan menyalahkan sunnah poligami (bagi yang mampu).

Kedua, kenapa tidak kita ambil pelajarannya saja bahwa orang yang sudah lebih berilmu dari kita pun bisa melakukan kesalahan? Bagaimana kita yang ngajinya baru kemarin sore dan hanya dua jam dalam seminggu? Pun kalau kita berada di posisi yang sama dengan beliau, belum tentu kita dapat menyelesaikan masalah dengan lebih baik. 

Ketiga, ini yang paling penting, ‘kalau saja waktu itu begini, pasti gak akan begini’ adalah kalimat yang berbahaya! Sebagai muslim, kita seharusnya sadar betul tentang adanya qadha dan qadar. Tidak sepantasnya terucap kata-kata seperti itu dari mulut kita yang suka sekali mengghibah. Dengan mengucapkan kata-kata seperti itu, seakan-akan kita sedang memfitnah Allah bahwa logika manusia atas hubungan sebab-akibat itu lebih benar dibanding ketentuan-Nya. Ilmu manusia terbatas. Tidak ada yang kebetulan, selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Bukankah nasib manusia sudah tertulis sempurna di Lauhul Mahfudz jauh sebelum penciptaan alam semesta?

Jadi, pada intinya, gak usah ngurusin urusan orang. Belajar saja dari peristiwa-peristiwa yang kita lihat. Terlalu banyak hal yang tidak kita ketahui di dunia ini dan tidak semuanya perlu kita ketahui, kecuali yang bermanfaat dan membawa kebaikan.