Sore itu, salah satu stasiun radio di kota saya menyiarkan
ceramah A’a Gym. Seperti biasa, ceramah beliau terdengar renyah di telinga
saya. Namun, sayang sekali saya lupa isi persisnya tentang apa karena tetiba
ada yang mematik buyarnya konsentrasi saya dengan ceramahnya tersebut.
“Ah, A’a Gym ini ilmunya ga seberapa. Akhirnya cerai kan
sama istri keduanya. Balikan lagi sama Teh Ninih. Ndadak poligami sih, jadi
jatuh kan! Padahal waktu itu lagi tinggi-tingginya.”
Saya tidak menyukai kalimat-kalimat itu, tetapi masih saya
diam.
“Ustadz ko kawin-cerai-kawin-cerai. Ternyata gak mampu
poligami kan!”
Saya yang mulai gregetan kemudian menimpali, “Ya ustadz juga
kan manusia. Dia punya ilmu, tentunya dia juga gak sembarangan waktu memutuskan
untuk berpoligami. Kalau ternyata dia gak mampu, kita ambil ibrahnya aja. Poligami itu gak mudah, apalagi untuk manusia
akhir zaman,” dengan gaya yang sok ngustadzah (*eaak :v ).
“Coba, kalo dia gak poligami, gak akan bangkrut tuh! Pake
segala poligami sih, padahal baru mulai sukses. Lagi laris-larisnya, bla bla
bla... bla bla bla....,” terus nyerocos panjang lebar kali tinggi.
Semakin gregetan. Rasanya pengen ngomong juga ini itu ina
inu. Tapi, yah... buat apa juga mendebat orang seperti itu. Subjektivitasnya
yang terlalu kental membuat saya memilih untuk pergi dari mendengarkan
celotehannya mengenai A’a Gym. Niat mau mendengarkan ceramah, malah berujung
tepok jidat.
Saya pribadi memang belum menikah. Saya tidak tahu tentang
dunia rumah tangga dan berkeluarga, apalagi poligami. Namun, membenarkan
penghakiman atas A’a Gym di atas adalah salah.
Yang pertama, untuk apa?
Membicarakan kesalahan seseorang yang telah lalu atas rumah tangganya ditambah dengan
gaya nyinyir seperti itu hanya membuang-buang waktu saja. Yang paling ditakutkan
adalah justru akan berujung pada tindakan menyalahkan sunnah poligami (bagi
yang mampu).
Kedua, kenapa tidak kita ambil pelajarannya saja bahwa orang yang
sudah lebih berilmu dari kita pun bisa melakukan kesalahan? Bagaimana kita yang
ngajinya baru kemarin sore dan hanya dua jam dalam seminggu? Pun kalau kita
berada di posisi yang sama dengan beliau, belum tentu kita dapat menyelesaikan
masalah dengan lebih baik.
Ketiga, ini yang paling penting, ‘kalau saja waktu
itu begini, pasti gak akan begini’ adalah kalimat yang berbahaya! Sebagai
muslim, kita seharusnya sadar betul tentang adanya qadha dan qadar. Tidak
sepantasnya terucap kata-kata seperti itu dari mulut kita yang suka sekali
mengghibah. Dengan mengucapkan kata-kata seperti itu, seakan-akan kita sedang
memfitnah Allah bahwa logika manusia atas hubungan sebab-akibat itu lebih benar
dibanding ketentuan-Nya. Ilmu manusia terbatas. Tidak ada yang kebetulan,
selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Bukankah nasib manusia sudah
tertulis sempurna di Lauhul Mahfudz jauh sebelum penciptaan alam semesta?
Jadi, pada intinya, gak usah ngurusin urusan orang. Belajar
saja dari peristiwa-peristiwa yang kita lihat. Terlalu banyak hal yang tidak
kita ketahui di dunia ini dan tidak semuanya perlu kita ketahui, kecuali yang
bermanfaat dan membawa kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar