Kamis, 30 Juni 2016

A'a Gym dan Yang (Perlu) Diingat



Sore itu, salah satu stasiun radio di kota saya menyiarkan ceramah A’a Gym. Seperti biasa, ceramah beliau terdengar renyah di telinga saya. Namun, sayang sekali saya lupa isi persisnya tentang apa karena tetiba ada yang mematik buyarnya konsentrasi saya dengan ceramahnya tersebut.

“Ah, A’a Gym ini ilmunya ga seberapa. Akhirnya cerai kan sama istri keduanya. Balikan lagi sama Teh Ninih. Ndadak poligami sih, jadi jatuh kan! Padahal waktu itu lagi tinggi-tingginya.”

Saya tidak menyukai kalimat-kalimat itu, tetapi masih saya diam.

“Ustadz ko kawin-cerai-kawin-cerai. Ternyata gak mampu poligami kan!”

Saya yang mulai gregetan kemudian menimpali, “Ya ustadz juga kan manusia. Dia punya ilmu, tentunya dia juga gak sembarangan waktu memutuskan untuk berpoligami. Kalau ternyata dia gak mampu, kita ambil ibrahnya aja.  Poligami itu gak mudah, apalagi untuk manusia akhir zaman,” dengan gaya yang sok ngustadzah (*eaak :v ).

“Coba, kalo dia gak poligami, gak akan bangkrut tuh! Pake segala poligami sih, padahal baru mulai sukses. Lagi laris-larisnya, bla bla bla... bla bla bla....,” terus nyerocos panjang lebar kali tinggi.

Semakin gregetan. Rasanya pengen ngomong juga ini itu ina inu. Tapi, yah... buat apa juga mendebat orang seperti itu. Subjektivitasnya yang terlalu kental membuat saya memilih untuk pergi dari mendengarkan celotehannya mengenai A’a Gym. Niat mau mendengarkan ceramah, malah berujung tepok jidat.

Saya pribadi memang belum menikah. Saya tidak tahu tentang dunia rumah tangga dan berkeluarga, apalagi poligami. Namun, membenarkan penghakiman atas A’a Gym di atas adalah salah. 

Yang pertama, untuk apa? Membicarakan kesalahan seseorang yang telah lalu atas rumah tangganya ditambah dengan gaya nyinyir seperti itu hanya membuang-buang waktu saja. Yang paling ditakutkan adalah justru akan berujung pada tindakan menyalahkan sunnah poligami (bagi yang mampu).

Kedua, kenapa tidak kita ambil pelajarannya saja bahwa orang yang sudah lebih berilmu dari kita pun bisa melakukan kesalahan? Bagaimana kita yang ngajinya baru kemarin sore dan hanya dua jam dalam seminggu? Pun kalau kita berada di posisi yang sama dengan beliau, belum tentu kita dapat menyelesaikan masalah dengan lebih baik. 

Ketiga, ini yang paling penting, ‘kalau saja waktu itu begini, pasti gak akan begini’ adalah kalimat yang berbahaya! Sebagai muslim, kita seharusnya sadar betul tentang adanya qadha dan qadar. Tidak sepantasnya terucap kata-kata seperti itu dari mulut kita yang suka sekali mengghibah. Dengan mengucapkan kata-kata seperti itu, seakan-akan kita sedang memfitnah Allah bahwa logika manusia atas hubungan sebab-akibat itu lebih benar dibanding ketentuan-Nya. Ilmu manusia terbatas. Tidak ada yang kebetulan, selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Bukankah nasib manusia sudah tertulis sempurna di Lauhul Mahfudz jauh sebelum penciptaan alam semesta?

Jadi, pada intinya, gak usah ngurusin urusan orang. Belajar saja dari peristiwa-peristiwa yang kita lihat. Terlalu banyak hal yang tidak kita ketahui di dunia ini dan tidak semuanya perlu kita ketahui, kecuali yang bermanfaat dan membawa kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar