Rabu, 29 Mei 2013

Senja di Mangkunegaran

Senja itu, saat puluhan burung kuntul terbang pulang ke rumahnya di pohon-pohon beringin alun-alun Mangkunegaran. Riang, berisik, dan masih tetap bersemangat, meski matahari sebentar lagi tenggelam dan dunia pun menjadi gelap. Angin bertiup sepoi-sepoi, bau tanah di sore hari, dan arakan awan kelabu di langit yang jingga ungu. Semua seperti biasa.
                Seorang perempuan tengah duduk di bawah beringin alun-alun selatan kota itu. Duduk diam termangu, entah apa yang ditunggu. Sedari pagi, hingga petang kini ia masih belum meninggalkan alun-alun selatan kota itu. Sesekali ia memandang sekitarnya, memandang langit dari biru hingga jingga dan ungu. Sesekali menggeser posisi duduknya tetapi tetap tidak berpindah tempat dari bawah pohon beringin satu itu.
                Dikatakan ia seperti orang gila, tidak bisa. Ia terlalu rapi bila disebut orang gila. Rambutnya yang ikal sebahu tergerai tetapi rapi, blazer merah lengan tanggung yang ia kenakan masih wangi oleh parfumnya yang bukan aroma parfum murahan. Celana jeans biru dongker yang ia kenakan masih bagus, begitu pula kemeja pink di dalam blazernya. Sepatu putihnya juga masih sangat layak pakai meski sudah sedikit kotor terkena debu dan tanah, tas merahnya yang sedikit terlalu besar untuk ukuran tubuhnya sama sekali tidak ia buka sejak ia duduk di bawah beringin itu.
                Tengak-tengok ke sana kemari, melamun, memperhatikan orang-orang di sekelilingnya, memandang-mandang langit,  hanya itu-itu saja yang ia kerjakan sejak ia di situ. Tingkah lakunya membuatku gerah dan penasaran. Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan di situ? Tidakkah dia tahu, begitu banyak orang yang memperhatikan tingkah lakunya itu dan mencibirnya sebagai orang stres? Tidakkah dia bosan duduk di situ seharian?
                Perlahan namun pasti, aku mendekatinya. Mencoba untuk sekedar berbasa-basi sambil mencari tahu apa yang sebenarnya sedang ia lakukan.
                “Sendirian aja, Mbak?” tanyaku sembari duduk di sampingnya.
                “Ya.” Ia menjawab dengan singkat dan tanpa melihat ke arahku. Tetapi aku dapat menangkap segaris sungging di bibirnya itu. Sepertinya dia bukan orang jahat dan masih normal.
                “Nunggu apa, Mbak? Pacar?” tanyaku lagi.
                “Tidak. Aku tidak menunggu siapa-siapa,” jawabnya sambil tersenyum.
                “Lalu?”
                “Apa?”
                “Lalu apa yang sedang Mbak lakukan di sini? Saya perhatikan, ko Mbak duduk saja sendirian di sini dari tadi pagi. Apa Mbak gak capek?”
                “Capek…”
                Aku semakin bingung dengan wanita satu ini. Aneh!
                “Mbak mahasiswa mana?”
                Dia menatap mataku tajam masih sambil tersenyum.
                “Apa aku kelihatan seperti mahasiswa?”
                “Ya,” jawabku balas singkat.
                Kemudian ia tertawa kecil. Masih tetap memperhatikan sekitarnya dan langit jingga sore itu.
                “Apa aku aneh?” dia bertanya kepadaku. Kali ini senyumnya memudar.
                “He?? Eeee….” aku tergagap. Sungguh, aku bingung. Ragu untuk mengatakan iya. Tetapi aku tidak bisa mengingkari bahwa menurutku dia aneh.
                “Apa yang membuatku aneh?” tanyanya kepadaku. Matanya yang sendu menatap tajam mataku.
                “Mbak sedari pagi duduk di sini. Tidak beranjak ke mana-mana. Tidak makan dan minum sedari pagi. Tidak melakukan aktivitas yang berarti, menurut saya. Paling tidak, Mbak tidak berkomunikasi dengan siapa pun seharian ini. Ya itu yang saya liat, dari tadi pagi Mbak tidak membuka handphone ataupun menyapa orang lain yang kebetulan lewat di sekitar sini.”
                Dengan terus terang, walaupun sedikit ragu, aku mengatakan apa yang aku tangkap dari dirinya seharian ini. Setengah tidak percaya ada orang seperti ini. Padahal aku yakin, sangat yakin bahwa ia tidak gila atau depresi. Kalaupun dia orang stres, mungkin tidak terlalu berat. Buktinya sampai di sini pembicaraanku masih nyambung dan ia tidak bertindak agresif.
                “Tapi sekarang aku berkomunikasi dengan kamu kan?” kembali ia tersenyum.
                “Ya.”
                “Kalau boleh tau, apa yang Mbak cari di sini?”
                “Tidak ada.”
                Pembicaraanku buntu sampai di situ. Aku berharap dia menanyakan sesuatu kepadaku. Tapi waktu terus bergulir, hingga matahari senja berpamitan dari birunya langit pun yang masih ada di antara kami hanya senyap. Hanya bising kendaraan dan orang yang mengobrol di sekitar kami sambil berlalu-lalang.
                Bosan aku menunggunya untuk berbicara atau bertanya sesuatu kepadaku, aku putuskan untuk pergi dari tempat itu. Tak ku sangka ia mengikutiku pergi dari tempat itu. Berjalan di belakangku beberapa meter dari tubuhku. Aku berbalik dan menatapnya.
                “Mbak mengikuti saya?”
                Dia menghentikan langkahnya dan tersenyum kepadaku.
                Dalam posisi seperti itu kami hanya saling tatap. Aku menatapnya penuh kebingungan. Bingung karena ia tidak menjawab pertanyaanku, apa dia mengikutiku atau hanya kebetulan saja jalan yang akan kami lewati sama. Sedangkan dia menatapku kosong, meski bibirnya tersungging senyum. Tidak ada dialog lagi di antara kami sampai sebuah mobil berlari kencang dan menghempaskan tubuhku ke sisi trotoar dekat alun-alun kota itu.
                “Cepat, cepat! Bawa dia ke rumah sakit terdekat! Lukanya parah sekali!”
                Beberapa tukang becak menghambur mendekati perempuan yang tergeletak itu. Tetapi seorang pria setengah baya segera turun dari mobil dan menerobos kerumunan tukang becak dan memegangi lehernya yang sedikit berlumur darah yang mengalir dari pelipis perempuan itu. Hatinya dipenuhi kecemasan, ia sangat berharap perempuan itu masih bernyawa.
                Pria itu menggelengkan kepalanya sambil mengucapkan doa, ia menutup mata perempuan yang tergeletak itu. Tukang-tukang becak dan pedagang kaki lima serta pedagang asongan di sekitar alun-alun kota yang ikut mengerumuni, ikut-ikutan gelang kepala dan mengucapkan kalimat duka cita.

                Tak berapa lama, reporter televisi datang ke tempat itu dan melaporkan bahwa telah terjadi kecelakaan di alun-alun selatan kota Mangkunegaran. Kecelakaan tersebut terjadi pada petang hari antara mobil dan seorang pejalan kaki. Korbannya adalah pejalan kaki dengan ciri-ciri rambut ikal sebahu, memakai kemeja merah jambu, blazer merah dan celana jins biru dongker serta memakai sepatu putih dan membawa tas merah dengan ukuran agak besar. Korban sementara diperkirakan adalah mahasiswa dari kota Bumbung yang sedang depresi berat hingga mengalami halusinasi. Perkiraan ini didasarkan pada beberapa saksi mata di lokasi kejadian yang melihat korban melamun dari pagi hingga petang ini di alun-alun kota Mangkunegaran.

Mayat Perempuan Bergaun Merah

Mayat itu tergeletak di pinggir jalan Merdeka di kawasan Anggrek Bunga. Orang-orang yang lewat tertarik untuk melihatnya. Mata mayat itu masih terbuka. Perempuan dengan gaun merah rambut ikal sebahu dan tinggi hampir sekitar 170 cm itu kini tak lagi bernyawa. Orang-orang tidak tahu apalagi mengenalnya.
                Nanar matanya sangat jelas terlihat. Seperti mata mayat pelaku bom bunuh diri. Tapi anehnya, bibirnya yang tebal itu sedikit tersungging seperti sedang tersenyum.
                “Siapa dia?”
                “Mau diapakan mayat ini?”
                “Sepertinya dia bukan warga sini.”
                Kemudian semakin banyak orang berkumpul mengelilingi mayat itu semakin banyak pula celotehan mengenai mayat itu. Namun tak seorang pun yang iba atau bersimpati dengan mayat perempuan itu.
                “Dia bukan warga sekitar sini. Kita serahkan saja kepada polisi.”
                “Tidak, serahkan ke rumah sakit saja.”
                “Tidak. Kita harus menyerahkannya kepada polisi dulu, baru ke rumah sakit.”
                “Aku tidak mau. Kita pasti akan diminati keterangan ini-itu tentang penemuan mayat ini. Merepotkan.”
                “Masa mau kita mandikan dan kafani? Siapa yang mau beli kain kafannya? Siapa yang bersedia membayar uang pekuburan  untuk mengubur mayat perempuan ini? Dan siapa yang mau membantunya menguburkan jasadnya itu?”
                Tak seorang pun memberi sinyal kesediaan. Justru sebagian dari mereka menggelengkan kepala. Ada pula yang menyibirkan bibir sebagai pertanda keberatan yang amat sangat.
                “Betul juga… kita bakar saja!”
                “Ya, benar! Kita bakar saja!”
                “Kalau dibakar, siapa pula yang bersedia menyediakan kayu bakar dan minyak tanahnya?”
                Kembali melengang. Tidak ada satu pun orang yang bersedia. Tetapi mereka semua masih terus menonton mayat perempuan bergaun merah.
                Langit yang sedari tadi mendung akhirnya menumpahkan hujannya untuk memberi sedikit kesegaran pada mayat itu. Orang-orang yang berkumpul di sekeliling mayat itu kemudian berhambur kemana-mana. Mencari tempat untuk meneduh. Ada yang ke halte bus, ada yang kembali ke kendarannya masing-masing, ada pula yang melanjutkan perjalanannya, meski tubuhnya harus basah ditimpa air hujan.
                Tanpa kata, orang-orang meninggalkan mayat perempuan itu sendiri. Tanpa kata, mereka mengacuhkan mayat itu tetap tergeletak di tepi jalan. Meski orang-orang berlalu-lalang, meski orang-orang mondar-mandir, meski mayat itu mengganggu lalu lintas kendaraan, tak seorang pun mau mengubur, membakar, menyerahkan pada pihak yang berwajib, atau sekedar menyingkirkannya dari tepi jalan.
                Dan mayat perempuan bergaun merah itu tetap teronggok seperti sampah di pinggir jalan. Ketika hujan, ia perlahan luntur oleh tetesan air hujan yang membawa mineral. Ketika selesai hujan, ribuan belatung dan lalat menggerogoti tubuhnya. Dan ketika panas terik datang, mayat itu semakin kisut, kisut dan kisut. Membusuk-mengering-membusuk-mengering. Begitulah yang terjadi pada mayat itu sejak tujuh hari yang lalu.
                Di hari yang terik itu, saat orang-orang sedang asik-asiknya menyesaki rumah makan di suatu sudut jalan, televisi menyiarkan berita siang tentang orang hilang.
                “Pemirsa, berikut laporan orang hilang yang masuk ke studio Blacklist TV. Seorang wanita hilang sejak seminggu yang lalu. Terakhir, ia mengenakan gaun satin berwarna merah hati, rambut ikal sebahu, bibir tebal, tinggi sekitar 167cm. Ia adalah seorang dokter kepresidenan. Bagi yang menemukan wanita dengan ciri-ciri seperti ini, dimohon segera menghubungi kepresidenan atau ke redaksi Blacklist TV di Jalan Merdeka no. 45 kawasan Anggrek Bunga.”

                Semua orang di rumah makan tersebut tentunya mengetahui, mayat perempuan di pinggir jalan itulah yang sedang dicari. Tetapi mereka semua tidak ada yang bergeming atau sekedar beriktikad baik untk segera melaporkannya kepada kepresidenan atau kepada redaksi televisi tersebut. Mereka melanjutkan makan siangnya dan melihat berita kehilangan tersebut seperti sedang melihat iklan di televisi.

Bangku pun Menangis

Keletik bunyi kayu terbakar di perapian. Api itu membakar kayu-kayu hingga menjadi bara yang perlahan semakin mengecil susut, lalu habis. Api itu, asapnya keluar melalui cerobong, membumbung tinggi ke angkasa. Mengepul, kemudian lenyap berpadu dengan angin.
            Sepasang tua renta tengah duduk di depan perapian itu. Menikmati pemandangan berupa nyala api ditemani secangkir teh hangat. Terlihat tangan-tangan gemetar yang memegangi cangkir beserta tatakannya. Hingga ketika sang cangkir akan ditaruh lagi ke tatakannya terdengan bunyi geretak. Bunyi beling dengan beling beradu getar.
            Bangku di depan perapian menyayangi sepasang tua renta itu. Ia selalu mengharapkan mereka untuk tetap duduk di atasnya. Bercengkerama, sambil menikmati teh hangat dan nyala api perapian. Bangku itu begitu yakin mengapa ia ditaruh di depan perapian. Pasti karena sepasang tua renta itu pastilah juga menyayanginya. Seperti bangku itu menyayangi mereka.
            Ada laba-laba merangkak di dinding di dekat perapian. Memandang bangku dengan tatapan sinis. Seperti mengejek bangku, atau melihatnya sebagai suatu ironi yang sesungguhnya menyesakkan si laba-laba karena laba-laba pun tidak dapat berbuat apa-apa. Lama laba-laba memperhatikan bangku. Mencoba untuk melihat sepasang tua renta yang dilihat oleh bangku. Namun, tak mampu.
            “Kek, apinya sudah mulai kecil. Kakek masih ada kayu bakar?” tanya nenek sambil menatap perapian.
            “Kakek tidak tahu. Kakek lupa masih ada atau tidak.”
            “Coba, Kek, ditengok dulu di halaman. Dari jendela saja.”
            “Tidak usah. Biarkan mati saja apinya jika memang sudah habis kayu bakarnya.”
            Nenek menghela napas. Ada perasaan kecewa di hati kecilnya. Ia sangat menyukai api yang menari-nari di perapian sehingga ia ingin menikmatinya lebih lama lagi. Bagi nenek, dengan memandang api di perapian itu ada sulutan gairah yang merasuk ke jiwa. Bahkan terkadang membuatnya lupa akan usianya yang telah senja.
            Laba-laba mencoba menyapa bangku, mendekati bangku. Tetapi laba-laba menghentikan langkahnya hingga beberapa senti dari kaki bangku. Terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi seolah-olah kerongkongannya tersumbat tutup botol hingga ia sama sekali tak bisa mengeluarkan suara apa-apa.
            Bangku masih menatap perapian bersama sepang tua renta yang duduk di atasnya. Bangku juga menyukai perapian seperti nenek. Tetapi tidak dengan laba-laba. Ia benci perapian. Ia benci sepasang tua renta itu. Bagi laba-laba, ketiganya telah merebut bangku darinya. Bangku kini tak lagi mau bermain dan bercanda tawa dengan dirinya.
            Sepasang tua renta kembali meminum tehnya secara bersamaan. Bersamaan yang tak disengaja. Keduanya masih menatap perapian. Keduanya tidak mengerti ada laba-laba hitam beracun di dekat mereka. Laba-laba yang kapan pun bisa menyengat mereka dengan racunnya yang sangat berbisa, mematikan. Kapan pun, tanpa mereka ketahui sebelumnya. Tetapi, laba-laba itu tidak pernah menyengat mereka. Meski laba-laba sangat membenci mereka.
            “Adakah yang membuatmu merasa bahagia di saat senja ini? Senja usiamu itu berarti kematian. Kau tahu, kematian itu sakit rasanya,” tiba-tiba nenek berkata kepada sang kakek. Nenek menatapnya lekat-lekat.
            Dibalasnya tatapan nenek renta itu oleh kakek dengan tatapan teduh. Tergambar jelas gurat-gurat tua di wajah nenek. Keriput dan kendur. Mata sang nenek yang tak lagi jernih, alisnya yang tak lagi setebal dulu, dan bibirnya yang tak semerona ketika ia masih muda. Beberapa helai rambut yang putih jatuh ke dahi nenek yang berkerut-kerut. Kakek tersenyum. Dalam hatinya ia memuji nama Tuhan. Baginya nenek adalah bidadari kiriman Penguasa Surga untuk menemani hidupnya di dunia ini.
            “Kek....,” kata nenek lirih sambil menaruh tangannya di atas tangan kakek. Mencoba mencari cara agar kakek tidak diam dan segera membalas pertanyaannya.
            Masih tersenyum, si kakek meminum tehnya sebelum menjawab pertanyaan nenek.
            “Ada,” jawab kakek singkat.
            “Apa?”
            “Bersamamu.”
            Sekarang nenek yang terdiam. Sedikit geragap meminum tehnya. Mungkin malu, mungkin juga sebal karena berhadapan dengan kakek tua yang masih saja suka menggombal. Tetapi nenek berusaha untuk menutupi perasaannya dan bertanya lagi.
            “Mengapa?”
            “Tak perlulah jawaban mengapa. Aku bahagia bersamamu. Bersamamu aku bahagia.”
            “Itu hanya kata yang dibolak-balik, Kek,” kata nenek. Ada seraut cemberut di wajahnya. Inilah hal yang paling menggemaskan bagi kakek sepanjang usia hubungan mereka. Ketika cemberut, hati kakek terasa digigi-gigit.
            Kemudian kakek tersenyum geli sambil bertanya, “Apa yang membuat orang tak bahagia saat ia bersama dengan orang yang paling dicintainya di usia senja?”
            Nenek menoleh kepada kakek, tersipu.
            Laba-laba tak kuasa menahan tangis. Air matanya jatuh membasahi lantai-lantai di depan perapian. Baru kali ini rasanya laba-laba menangis sesedu-sedunya. Menangis karena bangku. Ia tak pernah tahu mengapa bangku kini bertingkah aneh. Ditatapnya bangku itu dengan sendu. Bangku itu sendirian, kosong. Laba-laba dapat melihat dudukan bangku yang satu sisinya sudah bolong. Sobek di sana-sini tempat sandarannya. Dudukan tangannya sudah patah setengah. Namun, laba-laba tetap menyayangi bangku itu.
            “Praaangg...!!”
            Sebuah piring pecah. Belingnya bertebaran di lantai.
            “Kamu! Lagi-lagi minta uang, lagi-lagi minta uang!”
            “Sudah kewajibanmu sebagai seorang suami! Untuk apa kau selalu pulang malam bahkan sering juga tak pulang bila kau tak menghasilkan uang!”
            “Apa kau bilang?”
            Seorang pria bertubuh besar dengan amarah meluap-luap mencoba untuk mencekik istrinya. Takut kalau-kalau ia mencekik terlalu keras istrinya akan mati dan ia bisa dipenjara, ia mengganti serangannya dengan menjambak rambut sang istri. Sang istri kesakitan.
            Bangku sejenak menoleh, melihat peristiwa itu dengan seksama. Sudah tidak heran lagi bangku melihat yang seperti itu. Setiap hari, bahkan setiap waktu hal itu terjadi di antara dua orang muda yang ia ketahui sebagai sepasang suami-istri. Ada rasa geram menyinggahi bangku setiap kali melihatnya. Tetapi bangku tidak pernah bisa berbuat apa-apa. Tidak akan pernah bisa. Karena bangku hanyalah bangku. Benda mati dan tak bisa bergerak. Meski bangku memiliki hati.
            “Ke sini kamu!” bentak sang suami sambil menyeret perempuan itu ke kamar mandi di seberang ruang perapian.
            “Ampun! Aaagghh....!!” sang istri merintih.
            Sejenak bangku melihat dari bingkai pintu kamar mandi ketika lelaki itu membenamkan kepala istrinya ke bak air lalu mengangkatnya lagi. Lelaki itu melakukannya hingga berulang kali. Istrinya merintih-rintih kesakitan dan hampir kehabisan napas. Tetapi bangku tahu, lelaki itu tak pernah peduli dengan rintihan istrinya.
            Tak nyaman dengan pemandangan hina itu bangku ingin meneruskan kembali menatap perapian dan sepasang tua renta yang bermesraan di usia senja mereka. Tetapi apa yang didapat bangku hanyalah perapian mati yang menjadi sarang laba-laba. Penuh debu dengan arang dan abu yang menghitam. Begitu pula dengan sepasang tua renta di depan perapian, hilang bersama api di perapian. Seketika itu bangku langsung menangis tersedu-sedu mendapati kenyataan sepasang kakek nenek yang disayanginya menghilang, pergi begitu saja.

            Laba-laba kembali ke sarangnya yang tepat menghadang di mulut perapian, melihat bangku menangis. Ia mendengar sedu sedan tangis sang bangku. Ia selalu berharap bukan hanya dirinya, bukan hanya dinding-dinding dan atap rumah bercerobong itu yang mendengar tangis bangku. Tetapi juga sepasang suami istri yang tinggal di dalamnya. Meski laba-laba sangat menyadari betul, hal itu adalah mustahil. Karena mereka manusia, sedangkan bangku benda mati.

Aanalisis Sederhana Peran dalam Struktur Bahasa Jawa Banyumas


1.      Peran Aktif
Afiks
Kata Dasar
Kata
Kalimat
-na
bukak
bukakna
Adhi dikongkon bukakna lawang nggo tamu.
-ena
weh
wehena
Aja kelalen, wehena layang kiye maring Pak Sus.
-i
perek
mereki
Mamasku lagi mereki wong ayu sing klambi abang kuwe.

2.      Peran Pasif
Afiks
Kata Dasar
Kata
Kalimat
de-
walik
dewalik
Kertase aja dewalik mengko gambare ora keton.
de-/-na
krungu
derungokna
Angger wong tua lagi ngendika kuwe derungokna, aja langsung lunga plencing kaya kuwe.
de-/-ena
weh
dewehena
Gerehe wis dewehena maring kucing.
de-/i
tandur
detanduri
Kepengine si mbah, nang arepan umah kuwe detanduri karo wit-witan sing gedhe-gedhe ben hawane adhem lan silir.
ka-
tampa
katampa
Layang kuwe katampa sekang bu guru kanggo ibune Hamid.
ka-/-an
tresna
katresnan
Cincin kawine mung bakal diwehena karo sing katresnan.
ke-/-an
urug
kurugan
Adhiku tiba kurugan andha.
tek-
pangan
tekpangan
Anane mung sega karo sambel ya uwis, tekpangan bae.
tek-/-i
paran
tekparani
Ngesuk arep tekparani umahe wong sing njaili ahiku.
kok-
iris
kokiris
Brambange kokiris nganggo piso sing landhep kuwe.
kok-/-i
tamba
koktambani
Sing lecet kuwe aja koktambani dhisit seurunge diresiki nganggo alkohol ben ora infeksi.
kok-/-na
balang
kokbalangna
Genthenge kokbalangna maring Kartim sing uwis nang ndhuwur bae dadi gelis, ora kesuwen ndadak manjat-manjat.
-an
aspal
aspalan
Dalane siki wis apik, wis aspalan.
-um-
canthel
cumanthel
Klambi kotore esih padha cumanthel nang njero kamar.

3.      Peran Resiprokal
Afiks
Kata Dasar
Kata
Kalimat
-an
kembar
kembaran
Senajan dudu bocah kembar, nanging Asti kro Imah senenge nganggo apa-apa sing kembaran.
R-/-an
balang
balang-balangan
Nang Spanyol ana festival balang-balangan tomat.
pa-/-an
guyub
paguyuban
Kudune pada njaga paguyuban ben ora ana rusuh-rusuh maning.
padha
seneng
padha-padha seneng
Nek uwis padha-padha seneng ya nikah baen.

4.      Peran Refleksi
Afiks
Kata Dasar
Kata
Kalimat
-N
dhodhok
ndhodhok
Parman sengaja ndhodhok nang pipir blumbang ngenteni pancinge kesamber gramehe si mbah.
-m
anjat
manjat
Aku arep manjat gunung ngesuk sore.

nonton

Mus lagi nonton film Naruto nang Global TV.

sujud

Nek olih apa-apa si mbah pasti langsung sujud sukur maring Gusti Allah.