Rabu, 29 Mei 2013

Bangku pun Menangis

Keletik bunyi kayu terbakar di perapian. Api itu membakar kayu-kayu hingga menjadi bara yang perlahan semakin mengecil susut, lalu habis. Api itu, asapnya keluar melalui cerobong, membumbung tinggi ke angkasa. Mengepul, kemudian lenyap berpadu dengan angin.
            Sepasang tua renta tengah duduk di depan perapian itu. Menikmati pemandangan berupa nyala api ditemani secangkir teh hangat. Terlihat tangan-tangan gemetar yang memegangi cangkir beserta tatakannya. Hingga ketika sang cangkir akan ditaruh lagi ke tatakannya terdengan bunyi geretak. Bunyi beling dengan beling beradu getar.
            Bangku di depan perapian menyayangi sepasang tua renta itu. Ia selalu mengharapkan mereka untuk tetap duduk di atasnya. Bercengkerama, sambil menikmati teh hangat dan nyala api perapian. Bangku itu begitu yakin mengapa ia ditaruh di depan perapian. Pasti karena sepasang tua renta itu pastilah juga menyayanginya. Seperti bangku itu menyayangi mereka.
            Ada laba-laba merangkak di dinding di dekat perapian. Memandang bangku dengan tatapan sinis. Seperti mengejek bangku, atau melihatnya sebagai suatu ironi yang sesungguhnya menyesakkan si laba-laba karena laba-laba pun tidak dapat berbuat apa-apa. Lama laba-laba memperhatikan bangku. Mencoba untuk melihat sepasang tua renta yang dilihat oleh bangku. Namun, tak mampu.
            “Kek, apinya sudah mulai kecil. Kakek masih ada kayu bakar?” tanya nenek sambil menatap perapian.
            “Kakek tidak tahu. Kakek lupa masih ada atau tidak.”
            “Coba, Kek, ditengok dulu di halaman. Dari jendela saja.”
            “Tidak usah. Biarkan mati saja apinya jika memang sudah habis kayu bakarnya.”
            Nenek menghela napas. Ada perasaan kecewa di hati kecilnya. Ia sangat menyukai api yang menari-nari di perapian sehingga ia ingin menikmatinya lebih lama lagi. Bagi nenek, dengan memandang api di perapian itu ada sulutan gairah yang merasuk ke jiwa. Bahkan terkadang membuatnya lupa akan usianya yang telah senja.
            Laba-laba mencoba menyapa bangku, mendekati bangku. Tetapi laba-laba menghentikan langkahnya hingga beberapa senti dari kaki bangku. Terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi seolah-olah kerongkongannya tersumbat tutup botol hingga ia sama sekali tak bisa mengeluarkan suara apa-apa.
            Bangku masih menatap perapian bersama sepang tua renta yang duduk di atasnya. Bangku juga menyukai perapian seperti nenek. Tetapi tidak dengan laba-laba. Ia benci perapian. Ia benci sepasang tua renta itu. Bagi laba-laba, ketiganya telah merebut bangku darinya. Bangku kini tak lagi mau bermain dan bercanda tawa dengan dirinya.
            Sepasang tua renta kembali meminum tehnya secara bersamaan. Bersamaan yang tak disengaja. Keduanya masih menatap perapian. Keduanya tidak mengerti ada laba-laba hitam beracun di dekat mereka. Laba-laba yang kapan pun bisa menyengat mereka dengan racunnya yang sangat berbisa, mematikan. Kapan pun, tanpa mereka ketahui sebelumnya. Tetapi, laba-laba itu tidak pernah menyengat mereka. Meski laba-laba sangat membenci mereka.
            “Adakah yang membuatmu merasa bahagia di saat senja ini? Senja usiamu itu berarti kematian. Kau tahu, kematian itu sakit rasanya,” tiba-tiba nenek berkata kepada sang kakek. Nenek menatapnya lekat-lekat.
            Dibalasnya tatapan nenek renta itu oleh kakek dengan tatapan teduh. Tergambar jelas gurat-gurat tua di wajah nenek. Keriput dan kendur. Mata sang nenek yang tak lagi jernih, alisnya yang tak lagi setebal dulu, dan bibirnya yang tak semerona ketika ia masih muda. Beberapa helai rambut yang putih jatuh ke dahi nenek yang berkerut-kerut. Kakek tersenyum. Dalam hatinya ia memuji nama Tuhan. Baginya nenek adalah bidadari kiriman Penguasa Surga untuk menemani hidupnya di dunia ini.
            “Kek....,” kata nenek lirih sambil menaruh tangannya di atas tangan kakek. Mencoba mencari cara agar kakek tidak diam dan segera membalas pertanyaannya.
            Masih tersenyum, si kakek meminum tehnya sebelum menjawab pertanyaan nenek.
            “Ada,” jawab kakek singkat.
            “Apa?”
            “Bersamamu.”
            Sekarang nenek yang terdiam. Sedikit geragap meminum tehnya. Mungkin malu, mungkin juga sebal karena berhadapan dengan kakek tua yang masih saja suka menggombal. Tetapi nenek berusaha untuk menutupi perasaannya dan bertanya lagi.
            “Mengapa?”
            “Tak perlulah jawaban mengapa. Aku bahagia bersamamu. Bersamamu aku bahagia.”
            “Itu hanya kata yang dibolak-balik, Kek,” kata nenek. Ada seraut cemberut di wajahnya. Inilah hal yang paling menggemaskan bagi kakek sepanjang usia hubungan mereka. Ketika cemberut, hati kakek terasa digigi-gigit.
            Kemudian kakek tersenyum geli sambil bertanya, “Apa yang membuat orang tak bahagia saat ia bersama dengan orang yang paling dicintainya di usia senja?”
            Nenek menoleh kepada kakek, tersipu.
            Laba-laba tak kuasa menahan tangis. Air matanya jatuh membasahi lantai-lantai di depan perapian. Baru kali ini rasanya laba-laba menangis sesedu-sedunya. Menangis karena bangku. Ia tak pernah tahu mengapa bangku kini bertingkah aneh. Ditatapnya bangku itu dengan sendu. Bangku itu sendirian, kosong. Laba-laba dapat melihat dudukan bangku yang satu sisinya sudah bolong. Sobek di sana-sini tempat sandarannya. Dudukan tangannya sudah patah setengah. Namun, laba-laba tetap menyayangi bangku itu.
            “Praaangg...!!”
            Sebuah piring pecah. Belingnya bertebaran di lantai.
            “Kamu! Lagi-lagi minta uang, lagi-lagi minta uang!”
            “Sudah kewajibanmu sebagai seorang suami! Untuk apa kau selalu pulang malam bahkan sering juga tak pulang bila kau tak menghasilkan uang!”
            “Apa kau bilang?”
            Seorang pria bertubuh besar dengan amarah meluap-luap mencoba untuk mencekik istrinya. Takut kalau-kalau ia mencekik terlalu keras istrinya akan mati dan ia bisa dipenjara, ia mengganti serangannya dengan menjambak rambut sang istri. Sang istri kesakitan.
            Bangku sejenak menoleh, melihat peristiwa itu dengan seksama. Sudah tidak heran lagi bangku melihat yang seperti itu. Setiap hari, bahkan setiap waktu hal itu terjadi di antara dua orang muda yang ia ketahui sebagai sepasang suami-istri. Ada rasa geram menyinggahi bangku setiap kali melihatnya. Tetapi bangku tidak pernah bisa berbuat apa-apa. Tidak akan pernah bisa. Karena bangku hanyalah bangku. Benda mati dan tak bisa bergerak. Meski bangku memiliki hati.
            “Ke sini kamu!” bentak sang suami sambil menyeret perempuan itu ke kamar mandi di seberang ruang perapian.
            “Ampun! Aaagghh....!!” sang istri merintih.
            Sejenak bangku melihat dari bingkai pintu kamar mandi ketika lelaki itu membenamkan kepala istrinya ke bak air lalu mengangkatnya lagi. Lelaki itu melakukannya hingga berulang kali. Istrinya merintih-rintih kesakitan dan hampir kehabisan napas. Tetapi bangku tahu, lelaki itu tak pernah peduli dengan rintihan istrinya.
            Tak nyaman dengan pemandangan hina itu bangku ingin meneruskan kembali menatap perapian dan sepasang tua renta yang bermesraan di usia senja mereka. Tetapi apa yang didapat bangku hanyalah perapian mati yang menjadi sarang laba-laba. Penuh debu dengan arang dan abu yang menghitam. Begitu pula dengan sepasang tua renta di depan perapian, hilang bersama api di perapian. Seketika itu bangku langsung menangis tersedu-sedu mendapati kenyataan sepasang kakek nenek yang disayanginya menghilang, pergi begitu saja.

            Laba-laba kembali ke sarangnya yang tepat menghadang di mulut perapian, melihat bangku menangis. Ia mendengar sedu sedan tangis sang bangku. Ia selalu berharap bukan hanya dirinya, bukan hanya dinding-dinding dan atap rumah bercerobong itu yang mendengar tangis bangku. Tetapi juga sepasang suami istri yang tinggal di dalamnya. Meski laba-laba sangat menyadari betul, hal itu adalah mustahil. Karena mereka manusia, sedangkan bangku benda mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar