Mayat itu tergeletak di pinggir jalan Merdeka di kawasan Anggrek
Bunga. Orang-orang yang lewat tertarik untuk melihatnya. Mata mayat itu masih
terbuka. Perempuan dengan gaun merah rambut ikal sebahu dan tinggi hampir
sekitar 170 cm itu kini tak lagi bernyawa. Orang-orang tidak tahu apalagi
mengenalnya.
Nanar matanya
sangat jelas terlihat. Seperti mata mayat pelaku bom bunuh diri. Tapi anehnya,
bibirnya yang tebal itu sedikit tersungging seperti sedang tersenyum.
“Siapa dia?”
“Mau diapakan
mayat ini?”
“Sepertinya dia
bukan warga sini.”
Kemudian
semakin banyak orang berkumpul mengelilingi mayat itu semakin banyak pula
celotehan mengenai mayat itu. Namun tak seorang pun yang iba atau bersimpati
dengan mayat perempuan itu.
“Dia bukan
warga sekitar sini. Kita serahkan saja kepada polisi.”
“Tidak,
serahkan ke rumah sakit saja.”
“Tidak. Kita
harus menyerahkannya kepada polisi dulu, baru ke rumah sakit.”
“Aku tidak mau.
Kita pasti akan diminati keterangan ini-itu tentang penemuan mayat ini.
Merepotkan.”
“Masa mau kita
mandikan dan kafani? Siapa yang mau beli kain kafannya? Siapa yang bersedia
membayar uang pekuburan untuk mengubur
mayat perempuan ini? Dan siapa yang mau membantunya menguburkan jasadnya itu?”
Tak seorang pun
memberi sinyal kesediaan. Justru sebagian dari mereka menggelengkan kepala. Ada
pula yang menyibirkan bibir sebagai pertanda keberatan yang amat sangat.
“Betul juga…
kita bakar saja!”
“Ya, benar!
Kita bakar saja!”
“Kalau dibakar,
siapa pula yang bersedia menyediakan kayu bakar dan minyak tanahnya?”
Kembali
melengang. Tidak ada satu pun orang yang bersedia. Tetapi mereka semua masih
terus menonton mayat perempuan bergaun merah.
Langit yang
sedari tadi mendung akhirnya menumpahkan hujannya untuk memberi sedikit
kesegaran pada mayat itu. Orang-orang yang berkumpul di sekeliling mayat itu
kemudian berhambur kemana-mana. Mencari tempat untuk meneduh. Ada yang ke halte
bus, ada yang kembali ke kendarannya masing-masing, ada pula yang melanjutkan
perjalanannya, meski tubuhnya harus basah ditimpa air hujan.
Tanpa kata,
orang-orang meninggalkan mayat perempuan itu sendiri. Tanpa kata, mereka
mengacuhkan mayat itu tetap tergeletak di tepi jalan. Meski orang-orang
berlalu-lalang, meski orang-orang mondar-mandir, meski mayat itu mengganggu
lalu lintas kendaraan, tak seorang pun mau mengubur, membakar, menyerahkan pada
pihak yang berwajib, atau sekedar menyingkirkannya dari tepi jalan.
Dan mayat
perempuan bergaun merah itu tetap teronggok seperti sampah di pinggir jalan.
Ketika hujan, ia perlahan luntur oleh tetesan air hujan yang membawa mineral.
Ketika selesai hujan, ribuan belatung dan lalat menggerogoti tubuhnya. Dan
ketika panas terik datang, mayat itu semakin kisut, kisut dan kisut.
Membusuk-mengering-membusuk-mengering. Begitulah yang terjadi pada mayat itu
sejak tujuh hari yang lalu.
Di hari yang
terik itu, saat orang-orang sedang asik-asiknya menyesaki rumah makan di suatu
sudut jalan, televisi menyiarkan berita siang tentang orang hilang.
“Pemirsa,
berikut laporan orang hilang yang masuk ke studio Blacklist TV. Seorang wanita
hilang sejak seminggu yang lalu. Terakhir, ia mengenakan gaun satin berwarna
merah hati, rambut ikal sebahu, bibir tebal, tinggi sekitar 167cm. Ia adalah
seorang dokter kepresidenan. Bagi yang menemukan wanita dengan ciri-ciri
seperti ini, dimohon segera menghubungi kepresidenan atau ke redaksi Blacklist
TV di Jalan Merdeka no. 45 kawasan Anggrek Bunga.”
Semua orang di
rumah makan tersebut tentunya mengetahui, mayat perempuan di pinggir jalan
itulah yang sedang dicari. Tetapi mereka semua tidak ada yang bergeming atau
sekedar beriktikad baik untk segera melaporkannya kepada kepresidenan atau
kepada redaksi televisi tersebut. Mereka melanjutkan makan siangnya dan melihat
berita kehilangan tersebut seperti sedang melihat iklan di televisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar