Rabu, 29 Mei 2013

Mayat Perempuan Bergaun Merah

Mayat itu tergeletak di pinggir jalan Merdeka di kawasan Anggrek Bunga. Orang-orang yang lewat tertarik untuk melihatnya. Mata mayat itu masih terbuka. Perempuan dengan gaun merah rambut ikal sebahu dan tinggi hampir sekitar 170 cm itu kini tak lagi bernyawa. Orang-orang tidak tahu apalagi mengenalnya.
                Nanar matanya sangat jelas terlihat. Seperti mata mayat pelaku bom bunuh diri. Tapi anehnya, bibirnya yang tebal itu sedikit tersungging seperti sedang tersenyum.
                “Siapa dia?”
                “Mau diapakan mayat ini?”
                “Sepertinya dia bukan warga sini.”
                Kemudian semakin banyak orang berkumpul mengelilingi mayat itu semakin banyak pula celotehan mengenai mayat itu. Namun tak seorang pun yang iba atau bersimpati dengan mayat perempuan itu.
                “Dia bukan warga sekitar sini. Kita serahkan saja kepada polisi.”
                “Tidak, serahkan ke rumah sakit saja.”
                “Tidak. Kita harus menyerahkannya kepada polisi dulu, baru ke rumah sakit.”
                “Aku tidak mau. Kita pasti akan diminati keterangan ini-itu tentang penemuan mayat ini. Merepotkan.”
                “Masa mau kita mandikan dan kafani? Siapa yang mau beli kain kafannya? Siapa yang bersedia membayar uang pekuburan  untuk mengubur mayat perempuan ini? Dan siapa yang mau membantunya menguburkan jasadnya itu?”
                Tak seorang pun memberi sinyal kesediaan. Justru sebagian dari mereka menggelengkan kepala. Ada pula yang menyibirkan bibir sebagai pertanda keberatan yang amat sangat.
                “Betul juga… kita bakar saja!”
                “Ya, benar! Kita bakar saja!”
                “Kalau dibakar, siapa pula yang bersedia menyediakan kayu bakar dan minyak tanahnya?”
                Kembali melengang. Tidak ada satu pun orang yang bersedia. Tetapi mereka semua masih terus menonton mayat perempuan bergaun merah.
                Langit yang sedari tadi mendung akhirnya menumpahkan hujannya untuk memberi sedikit kesegaran pada mayat itu. Orang-orang yang berkumpul di sekeliling mayat itu kemudian berhambur kemana-mana. Mencari tempat untuk meneduh. Ada yang ke halte bus, ada yang kembali ke kendarannya masing-masing, ada pula yang melanjutkan perjalanannya, meski tubuhnya harus basah ditimpa air hujan.
                Tanpa kata, orang-orang meninggalkan mayat perempuan itu sendiri. Tanpa kata, mereka mengacuhkan mayat itu tetap tergeletak di tepi jalan. Meski orang-orang berlalu-lalang, meski orang-orang mondar-mandir, meski mayat itu mengganggu lalu lintas kendaraan, tak seorang pun mau mengubur, membakar, menyerahkan pada pihak yang berwajib, atau sekedar menyingkirkannya dari tepi jalan.
                Dan mayat perempuan bergaun merah itu tetap teronggok seperti sampah di pinggir jalan. Ketika hujan, ia perlahan luntur oleh tetesan air hujan yang membawa mineral. Ketika selesai hujan, ribuan belatung dan lalat menggerogoti tubuhnya. Dan ketika panas terik datang, mayat itu semakin kisut, kisut dan kisut. Membusuk-mengering-membusuk-mengering. Begitulah yang terjadi pada mayat itu sejak tujuh hari yang lalu.
                Di hari yang terik itu, saat orang-orang sedang asik-asiknya menyesaki rumah makan di suatu sudut jalan, televisi menyiarkan berita siang tentang orang hilang.
                “Pemirsa, berikut laporan orang hilang yang masuk ke studio Blacklist TV. Seorang wanita hilang sejak seminggu yang lalu. Terakhir, ia mengenakan gaun satin berwarna merah hati, rambut ikal sebahu, bibir tebal, tinggi sekitar 167cm. Ia adalah seorang dokter kepresidenan. Bagi yang menemukan wanita dengan ciri-ciri seperti ini, dimohon segera menghubungi kepresidenan atau ke redaksi Blacklist TV di Jalan Merdeka no. 45 kawasan Anggrek Bunga.”

                Semua orang di rumah makan tersebut tentunya mengetahui, mayat perempuan di pinggir jalan itulah yang sedang dicari. Tetapi mereka semua tidak ada yang bergeming atau sekedar beriktikad baik untk segera melaporkannya kepada kepresidenan atau kepada redaksi televisi tersebut. Mereka melanjutkan makan siangnya dan melihat berita kehilangan tersebut seperti sedang melihat iklan di televisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar