Film “Tanah Surga Katanya” menjadi Film
Terbaik FFI 2012.
Film bertemakan nasionalisme yang dibintangi oleh Fuad Idris sebgaia Hasyim,
Ence Bagus sebagai Haris, Aji Santosa sebagai Salman, Tissa Biani Azzahra
sebagai Salina, Ringgo Agus Rahman sebagai Dokter Anwar, dan Astri Nurdin sebagai Astuti ini merupakan
film satir terhadap pemerintah Indonesia atas ironi nasionalisme daerah perbatasan. Di tengah serangan gencar
film-film horror yang kental dengan erotismenya, Herwin Novianto, sang
sutradara, justru ingin mengingatkan kita pada permasalahan kesejahteraan di
daerah perbatasan. Ia mengaku sengaja membuat film ini untuk memperingati hari
kemerdekaan 17 Agustus 2012. “Tanah Surga ...Katanya” menceritakan tentang kisah seorang
anak di perbatasan Indonesia-Malaysia yang cinta akan Indonesia dan tidak ingin
meninggalkan Indonesia meskipun diajak oleh Ayahnya pindah ke Malaysia. Sang
anak terpacu oleh kakeknya yang dahulunya adalah tentara Indonesia saat melawan
Malaysia.
Latar film ini diambil di suatu
dusun terpencil di pelosok Kalimantan, di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia.
Di
dusun tersebut hanya ada satu sekolah dengan satu ruang dan satu papan tulis
yang semuanya dibagi menjadi dua, yaitu sebelah sisi untuk kelas 3 dan sisi
lainnya untuk kelas 4. Tidak jauh berbeda dengan tenaga pengajar, yaitu Ibu
Guru Astuti adalah orang yang secara kebetulan dan terpaksa mengajar di dusun
itu. Problematika pendidikan di daerah-daerah perbatasan karena minimnya
fasilitas sarana dan pra-sarana merupakan penyebab dari rendahnya minat dan
tingginya keengganan sumber daya manusia tenaga pengajar untuk bertugas di
daerah pelosok seperti itu.
Dalam
film ini disuguhkan juga beberapa shoot yang mencitrakan bahwa negara Malaysia
lebih mapan daripada negara Indonesia. Ada dua shoot yang paling menonjol.
Shoot pertama yang perlu diperhatikan adalah ketika Haris, ayah Salman, datang
ke dusun untuk menengok keluarganya. Saat melewati perbatasan, kamera
mengarahkan shootnya tepat pada batas Malaysia-Indonesia di mana jalanan
Malaysia sudah beraspal meski di daerah perbatasan, sedangkan jalanan Indonesia
masih berupa tanah-kerikil yang jika hujan datang jalanan itu akan banyak
terdapat genangan air dan berlumpur. Shoot selanjutnya yang menggambarkan
ketimpangan antara pembangunan Indonesia dan Malaysia adalah ketika Salman
datang ke sebuah pasar di Malaysia perbatasan. Ia terheran dan takjub akan
kondisi Malaysia yang sangat jauh berbeda dengan dusunnya di Indonesia. Mulai
dari bangunan-bangunan permanen (bertembok) bertingkat hingga sandang yang
dikenakan orang-orang Malaysia. Semuanya nampak lebih baik.
Kehidupan
yang ditawarkan di Malaysia yang jauh lebih baik mengakibatkan orang-orang di
perbatasan rela melepas status WNI-nya. Namun, sesungguhnya masalah itu dapat
ditanggulangi jika pemerintah Indonesia memberikan perhatian secara khusus
untuk daerah perbatasan. Fenomena ini dapat dilihat pada adegan Haris membujuk
Hasyim untuk pindah ke Malaysia.
Haris : Malaysia tu negeri yang makmur, Yah.
Hasyim : Negara kita lebih makmur, Haris.
Haris : Jakarta yang makmur, bukan di sini. Kita ni di
pelosok Kalimantan. Siapa yang peduli?
Hasyim : Haris, mengatur negeri ini tidaklah mudah.
Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tahu kau?
Haris : Tapi apa yang Ayah harapkan dari pemerintah?
Mereka tidak pernah memberikan apa-apa untuk Ayah yang pernah berjuang di
perbatasan.
Hasyim : Aku mengabdi bukan untuk pemerintah. Tapi untuk
negeri ini, bangsaku sendiri.
Haris : Sekali lagi, Yah. Aku cuma ingin
menyejahterakan ayah, membahagiakan anak-anak. Dan aku…… aku sudah menikah
dengan perempuan Malaysia, Yah.
Hasyim : Apa maksudmu, hah?!
Haris : Yah, supaya segala sesuatunya lebih mudah,
saya harus menjadi warga negara sana, Yah. Yah, di sana ayah akan mendapatkan
perawatan kesehatan yang lebih baik, anak-anak bisa bersekolah lebih tinggi,
dan kita bisa tinggal di tempat yang lebih layak. Tak macam di sini, Yah!
Kebijakan
sentralisasi politik dan pembangunan yang pernah diterapkan oleh pemerintahan
Orde Baru dahulu memang memunculkan resistensi dari daerah-daerah. Sentralisasi
pembangunan-pembangunan baik itu infrastruktur, pendidikan, dan sebagainya di
pulau Jawa, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, menimbulkan
kesenjangan yang sangat timpang dengan daerah-daerah non-Jawa, terutama di
daerah-daerah perbatasan. Walaupun pemerintahan Orde Baru sudah berakhir dan digantikan
dengan pemerintahan era reformasi yang salah satu tuntutannya adalah kebijakan
desentralisasi yang telah diwujudkan dalam bentuk otonomi daerah, namun masalah
kesenjangan di daerah-daerah terpencil belum juga mendapatkan perhatian dari
pemerintahan pusat dan daerah seperti dalam film ini. Padahal masalah
pendidikan dan kesehatan secara terang-terangan sudah diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan sosial juga
diceritakan dalam film ini. Sejak tahun 1963 ketika pemerintah RI melakukan
Operasi Dwikora, yaitu perang melawan Malaysia, bendera Merah-Putih sudah tidak
pernah dikibarkan lagi di daerah ini. Perang ini muncul sebagai akibat dari
pelanggaran Malaysia atas perjanjian Manila. Malaysia menghina bangsa
Indonesia. Simbol-simbol kenegaraan Indonesia di daerah ini dirusak.
Terkait dengan
simbol-simbol itu, ada beberapa simbol negara Indonesia yang dihadirkan dalam
film ini, yaitu bendera Merah-Putih, lagu Indonesia Raya, dan mata uang rupiah.
Simbol-simbol tersebut digambarkan mengalami pendegradasian bahkan pengasingan
dalam film ini. Pendegradasian terjadi pada simbol lagu kebangsaan Indonesia
Raya. Saat itu, Dokter Anwar sedang mengajar anak-anak untuk menyanyikan lagu
Indonesia Raya menggantikan Bu Astuti yang sedang ada keperluan di kota. Lized
ditunjuk oleh Dokter Anwar untuk memimpin teman-temannya menyanyi. Namun, tidak
disangka-sangka sebelumnya, yang dinyanyikan oleh anak-anak adalah lagu Kolam
Susu, bukan lagu Indonesia Raya.
Anwar : Boleh
kamu ke sini? Coba kamu pimpin semua temennya untuk nyanyi, ya. Kita
menyanyikan lagu kebangsaan kita. Bisa, ya? Semuanya semangat, ya!
Lized : Siap,
ya? Satu… dua… tiga… Bukan lautan hanya kolam susu, kali dan jala cukup
menghidupimu…
Anwar : Stop
dulu! Sebentar… sebentar… sebentar…
Lized : Kenapa,
Pak?
Anwar : Kamu
enggak tau lagu Indonesia Raya?
Lized : Dulu
pernah diajarkan, Pak. Tapi sekarang dah lupa.
Anwar : Kenapa
bisa lupa?
Lized : Ame
sama kawan-kawan dah satu tahun diliburkan sebelum Bu Astuti datang.
Anwar : Jadi
lagu nasional yang kamu tau apa?
Lized : Kolam
susu.
Sementara itu,
pengasingan terjadi pada dua simbol lainnya, yaitu bendera merah putih dan mata
uang rupiah. Saat Bu Astuti menyuruh anak-anak untuk menunjukkan tugas membuat
gambar bendera merah putih yang didapat olehnya adalah gambar-gambar berwarna
merah dan putih yang bentuk dan komposisinya bukan berupa bendera Merah-Putih
Indonesia. Ada yang berbentuk segitiga, layang-layang, garis belang-belang, dan
lain sebagainya. Hanya Salina yang menggambar dengan benar. Itu pun ia ketahui
dari kakeknya yang mantan pejuang perbatasan.
Tidak hanya sampai di
situ, di film ini terdapat adegan lain yang lebih ironis, yaitu ketika pedagang
Indonesia yang berdagang di Malaysia memakai bendera merah-putih sebagai kain
pembungkus dagangannya. Dari sini dapat dilihat bahwa lambang negara yang satu
ini tidak pernah dikenal oleh orang Indonesia sendiri.
Salman : Pak!
Pedagang : Apa?
Salman : Itu
merah putih.
Pedagang : Ku
tahu. Ini warnanya merah, ini warna putih, ini kuning, ini hijau, ini warna
cokelat.
Salman : Merah
putih itu bendera Indonesia, Pak.
Pedagang : Ini
kain kan kain pembungkus dagangan aku.
Salman : Ini
bendera pusaka.
Pedagang : (sambil
menunjuk sebuah Mandau milikny) Ini
Mandau pusaka kakek aku. Pergi no!
Di daerah perbatasan
Indonesia-Malaysia seperti di pelosok Kalimantan ini, masyarakat pada umumnya
tidak mengenal mata uang rupiah. Mereka hanya mengenal mata uang ringgit
Malaysia. Hal ini dikarenakan orang-orang Indonesia di perbatasan ini berdagang
di Malaysia daerah perbatasan. Mereka tidak berdagang dengan orang Indonesia di
daerah lain karena akses untuk keluar dari daerah tersebut sangat sulit. Harus
melalui sungai dan rawa-rawa yang penduduk sendiri tidak berani untuk
melakukannya ketika hari sudah mulai gelap. Terlebih jika dihitung-hitung harga
jual barang mereka akan melonjak tajam karena perhitungan biaya perjalanan
mereka. Oleh karena itu, mereka lebih memlih untuk berdagang di Malaysia
perbatasan.
Anwar : Makasih, ya. (sambil
menyodorkan uang limapuluh ribu rupiah) Kembali tiga puluh.
Lized : Ini duit apa?
Anwar : Itu limapuluh ribu
rupiah.
Lized : Tak pernah mandang
ame.
Astuti : Lized, ada apa ini?
Lized : Bu Guru, dia mau tipu
saya. Dia kasih saya uang palsu.
Anwar : Ini uang asli, Ibu.
Limapuluh ribu. Bisa dilihat, diraba, diterawang. Asli ini.
Astuti : Ini duit Bapak saya tukar
dengan ringgit, ya.
Lized : Nah, ini baru duit.
Dari
uraian ketiga simbol di atas, dapat dilihat bahwa ada suatu bentuk penyimpangan
secara tersembunyi yang hanya dapat diketahui oleh masyarakat yang mengenali
Indonesia dan memahami nasionalisme sebagai bentuk rasa cinta terhadap
negerinya. Realita yang terjadi di masyarakat perbatasan adalah hilangnya
nasionalisme tersebut. Meski sangat dimungkinkan dalam pembuatan film sutradara
mendistorsi realita lain yang terkait dengan masalah ini dan hanya memfokuskannya
pada masalah hilangnya nasionalisme.
Terkait
dengan judul “Tanah Surga Katanya”, dalam film ini dikisahkan suatu hari ada
pejabat provinsi datang ke sekolah Salman. Murid-murid menyambutnya dengan
menyanyikan lagu Indonesia Raya dan tarian khas Kalimantan Barat. Adapun sajian
lain yang ditampilkan untuk para pejabat adalah deklamasi puisi karangan Salman
oleh dirinya sendiri. Puisi itu merupakan puisi satir dengan judul Tanah Surga
gubahan dari lirik lagu Kolam Susu yang sering didengar dan dinyanyikan
anak-anak di dusun itu. Berikut lirik puisi Tanah Surga yang dibawakan oleh
Salman.
Tanah Surga
Bukan lautan hanya kolam susu,
katanya...
tapi kata kakekku, hanya orang-orang
kaya yang bisa minum susu
Kayu dan jala cukup untuk
menghidupimu, katanya...
tapi kata kakekku, ikan-ikan kita
dicuri oleh banyak negara
Tiada badai tiada topan kau temui,
katanya ...
tapi kenapa ayahku tertiup angin ke Malaysia
Ikan dan udang menghampiri dirimu,
katanya...
tapi kata kakek, awas! Ada udang di balik
batu!
Orang bilang tanah kita tanah surga,
tongkat dan batu jadi tanaman, katanya...
tapi kata dokter Intel belum semua
rakyatnya sejahtera,
banyak pejabat yang menjual kayu dan
batu untuk membangun surganya sendiri
Di akhir
cerita, kakek Salman, Hasyim yang merupakan veteran pejuang perbatasan
meninggal karena sakit jantung yang dideritanya. Selama ini, ia tidak mengobati
penyakitnya. Alasan biaya menjadi alasan klasik dan lumrah bagi veteran apalgi
yang tinggal di daerah perbatasan. Jangankan untuk dirawat di rumah sakit,
membeli obat-obatannya pun ia tak mampu. Biaya perjalanan menggunakan sampan ke
kota pulang pergi sudah menghabiskan 400 ringgit. Uang sebanyak itu memang
tidak mustahil diperoleh, namun alangkah lebih berartinya bila uang sebanyak
itu dipakai untuk keperluan lain daripada dihabiskan hanya untuk biaya
perjalanan mengobati penyakitnya. Ia berpikir, kebutuhan cucu-cucunya jauh
lebih penting daripada pengobatan penyakitnya itu.
Sebelum
meninggal, Hasyim berpesan kepada cucunya, Salman, agar tetap mencintai bangsanya.
Hasyim : Salman…
Salman : Iya,
Kek…
Hasyim : Indonesia
tanah surga. Apa pun yang terjadi pada dirimu, jangan sampai kehilangan cintamu
pada negeri ini. Genggam erat cita-citamu, katakan kepada dunia dengan bangga
“kami bangsa Indonesia….” Laa illaaha illallaah…..
Salman : Kakek….!!
Sementara
itu, di lain tempat, Haris sedang ber-euforia bersama warga Malaysia atas
kemenangan Malaysia pada pertandingan sepakbola Malaysia melawan Indonesia.
Dengan bangganya ia mengibarkan spanduk Malaysia. Dengan sepenuh hati ia
mendukung Malaysia untuk menjadi jawaranya. Hilangnya rasa memiliki Indonesia,
bergeseranya identitas diri menjadi orang Malaysia, telah terpatri dalam diri
Haris.
Demikian
digambarkan adanya perbedaan ideologi dari generasi satu ke generasi
berikutnya, yaitu generasi nasionalisme Hasyim dengan generasi matrealistis
Haris. Proses sosial yang terjadi dalam masyarakat perbatasan di mana mereka
lebih sering berinteraksi dengan bangsa lain, ditambah dengan tidak adanya
sosialisasi akan makna dan nilai nasionalisme mengakibatkan hilangnya rasa
memiliki dan rasa cinta tanah air masyarakat tersebut.
Epilog
Pusat
perhatian sosiologis adalah bagaimana kelompok-kelompok dan institusi-institusi
berfungsi. Insitutsi di sini dipahami sebagai cara-cara terbentuknya sebuah
pola dan mengorganisasikan kehidupan sosial.
Fenomena-fenomena
yang digambarkan di atas merefleksikan bagaimana sebuah masyarakat membentuk
pola dan mengorganisasikan kehidupan sosial. Identitas sosial mereka mengalami
pergeseran, yang mulanya mengaku orang Indonesia kemudian setelah mereka merasa
tidak mendapat perhatian oleh pemerintah Indonesia dan merasa lebih
difasilitasi oleh negara Malaysia, mereka pun berusaha untuk menjadi warga
negara Malaysia. Salah satu upaya yang mereka lakukan adalah menikah dengan
orang Malaysia dan bertempat tinggal di sana. Entah ada berapa puluh atau
bahkan ratus orang yang telah mengalami pergeseran identitas itu, berpindah
kewarganegaran dan domisili, semuanya tidak pernah tercatat dalam administrasi
pemerintahan Indonesia. Nasionalisme warga negara Indonesia di perbatasan
seolah tergadai karena tuntutan ekonomi. Tidak ada yang mensosialisasikan
nasionalisme, sementara kebutuhan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan terus
meningkat. Pemerintah Indonesia juga tidak pernah melakukan usaha prefentif
maupun represif untuk para WNI yang berpindah kewarganegaraan dan domisili.
Film “Tanah
Surga... Katanya” hanyalah contoh kecil film yang kental dengan teori
sosiologi. Hasyim yang berusaha tetap mempertahankan nasionalismenya dalam
gencarnya perubahan pola pikir dan hidup
masyarakat daerah perbatasan untuk lebih memilih Malaysia sebagai tempat
berlabuh, ia tularkan kepada cucunya, Salman. Nasionalisme itu ternyata dapat
diterima dengan baik olehnya, meski ayahnya telah berpindah kewarganegaraan dan
domisili dengan kehidupan yang lebih layak. Ia bertahan dengan nasionalisme
yang sarat keterbatasan.
Seandainya
jika kita yang mengalami kenyataan seperti di atas, apakah kita akan tetap
mempertahankan nasionalisme seperti Hasyim? Atau memilih jalan realistis
mendapat keuntungan materi yang lebih banyak dengan mempertaruhkan nasionalisme
kita seperti Haris?
Daftar Rujukan
Adi, Tri Nugroho. 2011. Analisis Sosiologis dalam Film,
sinaukomunikasi.wordpress.com. Diakses 3 Oktober 2012.
Fachrozi, Irzan. 2012. Tanah Surga Katanya? Sebuah Analisis, ........
Diakses 29 Desember 2012.
Film Tanah
Surga Katanya. wikipedia.co.id. Diakses 29
Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar