Senja itu, saat puluhan burung kuntul terbang pulang ke rumahnya di
pohon-pohon beringin alun-alun Mangkunegaran. Riang, berisik, dan masih tetap
bersemangat, meski matahari sebentar lagi tenggelam dan dunia pun menjadi
gelap. Angin bertiup sepoi-sepoi, bau tanah di sore hari, dan arakan awan
kelabu di langit yang jingga ungu. Semua seperti biasa.
Seorang
perempuan tengah duduk di bawah beringin alun-alun selatan kota itu. Duduk diam
termangu, entah apa yang ditunggu. Sedari pagi, hingga petang kini ia masih
belum meninggalkan alun-alun selatan kota itu. Sesekali ia memandang
sekitarnya, memandang langit dari biru hingga jingga dan ungu. Sesekali
menggeser posisi duduknya tetapi tetap tidak berpindah tempat dari bawah pohon
beringin satu itu.
Dikatakan ia
seperti orang gila, tidak bisa. Ia terlalu rapi bila disebut orang gila.
Rambutnya yang ikal sebahu tergerai tetapi rapi, blazer merah lengan tanggung
yang ia kenakan masih wangi oleh parfumnya yang bukan aroma parfum murahan.
Celana jeans biru dongker yang ia kenakan masih bagus, begitu pula kemeja pink
di dalam blazernya. Sepatu putihnya juga masih sangat layak pakai meski sudah
sedikit kotor terkena debu dan tanah, tas merahnya yang sedikit terlalu besar
untuk ukuran tubuhnya sama sekali tidak ia buka sejak ia duduk di bawah
beringin itu.
Tengak-tengok
ke sana kemari, melamun, memperhatikan orang-orang di sekelilingnya,
memandang-mandang langit, hanya itu-itu
saja yang ia kerjakan sejak ia di situ. Tingkah lakunya membuatku gerah dan
penasaran. Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan di situ? Tidakkah dia tahu,
begitu banyak orang yang memperhatikan tingkah lakunya itu dan mencibirnya
sebagai orang stres? Tidakkah dia bosan duduk di situ seharian?
Perlahan namun
pasti, aku mendekatinya. Mencoba untuk sekedar berbasa-basi sambil mencari tahu
apa yang sebenarnya sedang ia lakukan.
“Sendirian aja,
Mbak?” tanyaku sembari duduk di sampingnya.
“Ya.” Ia
menjawab dengan singkat dan tanpa melihat ke arahku. Tetapi aku dapat menangkap
segaris sungging di bibirnya itu. Sepertinya dia bukan orang jahat dan masih
normal.
“Nunggu apa,
Mbak? Pacar?” tanyaku lagi.
“Tidak. Aku
tidak menunggu siapa-siapa,” jawabnya sambil tersenyum.
“Lalu?”
“Apa?”
“Lalu apa yang
sedang Mbak lakukan di sini? Saya perhatikan, ko Mbak duduk saja sendirian di
sini dari tadi pagi. Apa Mbak gak capek?”
“Capek…”
Aku semakin
bingung dengan wanita satu ini. Aneh!
“Mbak mahasiswa
mana?”
Dia menatap
mataku tajam masih sambil tersenyum.
“Apa aku
kelihatan seperti mahasiswa?”
“Ya,” jawabku balas
singkat.
Kemudian ia
tertawa kecil. Masih tetap memperhatikan sekitarnya dan langit jingga sore itu.
“Apa aku aneh?”
dia bertanya kepadaku. Kali ini senyumnya memudar.
“He?? Eeee….”
aku tergagap. Sungguh, aku bingung. Ragu untuk mengatakan iya. Tetapi aku tidak
bisa mengingkari bahwa menurutku dia aneh.
“Apa yang
membuatku aneh?” tanyanya kepadaku. Matanya yang sendu menatap tajam mataku.
“Mbak sedari
pagi duduk di sini. Tidak beranjak ke mana-mana. Tidak makan dan minum sedari
pagi. Tidak melakukan aktivitas yang berarti, menurut saya. Paling tidak, Mbak
tidak berkomunikasi dengan siapa pun seharian ini. Ya itu yang saya liat, dari
tadi pagi Mbak tidak membuka handphone ataupun menyapa orang lain yang
kebetulan lewat di sekitar sini.”
Dengan terus
terang, walaupun sedikit ragu, aku mengatakan apa yang aku tangkap dari dirinya
seharian ini. Setengah tidak percaya ada orang seperti ini. Padahal aku yakin,
sangat yakin bahwa ia tidak gila atau depresi. Kalaupun dia orang stres,
mungkin tidak terlalu berat. Buktinya sampai di sini pembicaraanku masih
nyambung dan ia tidak bertindak agresif.
“Tapi sekarang
aku berkomunikasi dengan kamu kan?” kembali ia tersenyum.
“Ya.”
“Kalau boleh
tau, apa yang Mbak cari di sini?”
“Tidak ada.”
Pembicaraanku
buntu sampai di situ. Aku berharap dia menanyakan sesuatu kepadaku. Tapi waktu
terus bergulir, hingga matahari senja berpamitan dari birunya langit pun yang
masih ada di antara kami hanya senyap. Hanya bising kendaraan dan orang yang
mengobrol di sekitar kami sambil berlalu-lalang.
Bosan aku
menunggunya untuk berbicara atau bertanya sesuatu kepadaku, aku putuskan untuk
pergi dari tempat itu. Tak ku sangka ia mengikutiku pergi dari tempat itu.
Berjalan di belakangku beberapa meter dari tubuhku. Aku berbalik dan menatapnya.
“Mbak mengikuti
saya?”
Dia
menghentikan langkahnya dan tersenyum kepadaku.
Dalam posisi
seperti itu kami hanya saling tatap. Aku menatapnya penuh kebingungan. Bingung
karena ia tidak menjawab pertanyaanku, apa dia mengikutiku atau hanya kebetulan
saja jalan yang akan kami lewati sama. Sedangkan dia menatapku kosong, meski
bibirnya tersungging senyum. Tidak ada dialog lagi di antara kami sampai sebuah
mobil berlari kencang dan menghempaskan tubuhku ke sisi trotoar dekat alun-alun
kota itu.
“Cepat, cepat!
Bawa dia ke rumah sakit terdekat! Lukanya parah sekali!”
Beberapa tukang
becak menghambur mendekati perempuan yang tergeletak itu. Tetapi seorang pria
setengah baya segera turun dari mobil dan menerobos kerumunan tukang becak dan
memegangi lehernya yang sedikit berlumur darah yang mengalir dari pelipis
perempuan itu. Hatinya dipenuhi kecemasan, ia sangat berharap perempuan itu
masih bernyawa.
Pria itu
menggelengkan kepalanya sambil mengucapkan doa, ia menutup mata perempuan yang
tergeletak itu. Tukang-tukang becak dan pedagang kaki lima serta pedagang
asongan di sekitar alun-alun kota yang ikut mengerumuni, ikut-ikutan gelang
kepala dan mengucapkan kalimat duka cita.
Tak berapa
lama, reporter televisi datang ke tempat itu dan melaporkan bahwa telah terjadi
kecelakaan di alun-alun selatan kota Mangkunegaran. Kecelakaan tersebut terjadi
pada petang hari antara mobil dan seorang pejalan kaki. Korbannya adalah
pejalan kaki dengan ciri-ciri rambut ikal sebahu, memakai kemeja merah jambu,
blazer merah dan celana jins biru dongker serta memakai sepatu putih dan
membawa tas merah dengan ukuran agak besar. Korban sementara diperkirakan
adalah mahasiswa dari kota Bumbung yang sedang depresi berat hingga mengalami
halusinasi. Perkiraan ini didasarkan pada beberapa saksi mata di lokasi
kejadian yang melihat korban melamun dari pagi hingga petang ini di alun-alun
kota Mangkunegaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar