Rabu, 29 Mei 2013

Analisis Wacana Iklan Kampanye Mardjoko-Gempol: Suatu Tinjauan Pragmatik

Dalam rangka pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Banyumas sejumlah calon telah menggencarkan kampanye propaganda politiknya, mulai dari yang baru pertama kali mencalonkan diri hingga bupati yang saat itu masih menjabat. Kampanye pemilu merupakan proses menyampaikan pesan-pesan politik sekaligus sebagai cara untuk merekrut massa sebanyak-banyaknya. Kekuatan figur menjadi sangat penting. Oleh karena itu melalui iklan kampanye inilah para Cabup dan Cawabup mencitrakan dirinya sepositif mungkin. Mardjoko sebagai bupati yang saat itu masih menjabat mencalonkan kembali dirinya dalam Pilbup Banyumas periode 2013-2018. Sama seperti calon lainnya, dalam iklan kampanyenya ia juga membuat citra-citra positif dengan kata-kata pilihan yang berbeda dengan calon lainnya.
Jenis wacana yang dikaji dalam tulisan ini adalah wacana hortatori yang diambil dari media cetak lokal. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode pragmalinguistik.

Tindak Tutur Pengungkap Implikatur dalam Wacana Iklan Kampanye Mardjoko-Gempol

(1)   Gerakan satu putaran menangkan Djempol
            Dalam iklan kampanyenya, Mardjoko menggunakan kata Djempol sebagai abreviasi dari Mardjoko-Gempol. Kata Djempol dipilih karena djempol (jempol) merupakan simbol untuk menandakan kebaikan dan keunggulan. Jempol selalu diacungkan untuk hal-hal unguul atau memiliki nilai-nilai kebaikan.
            Kalimat (1) merupakan tindak ilokusioner. Frasa ‘gerakan satu putaran’ mengimplikasikan adanya ajakan untuk tidak memilih calon lain selain Mardjoko-Gempol. Pilbup satu putaran berarti hanya ada satu calon yang unggul dan tidak memerlukan putaran berikutnya untuk menentukan siapa yang akan menjabat sebagai bupati.

(2)   Hemat APBD Rp 12 Miliar untuk tingkatkan kesejahteraan rakyat
(3)   Bersih anti korupsi
Dalam kalimat (2) dan (3) merupakan tindak perlukosioner, yaitu tindak yang menumbuhkan pengaruh (efek) pada mitra tutur atau efek bagi yang mendengarnya (membacanya). Di sini dapat dilihat bagaimana Mardjoko membuat suatu wacana untuk memberikan efek ‘kebenaran’ di mata para pemilih. Menurut Foucalt, ‘kebenaran’ disematkan dalam dan dihasilkan oleh sistem kekuasaan. Mardjoko sebagai bupati yang saat itu masih menjabat mencoba untuk mengemukakan wacana atas kepemimpinannya periode 2008-2013 yang telah berhasil mengurangi pengeluaran APBD sebanyak Rp 12 miliar dengan menekan praktik-praktik korupsi di lembaga legislatif daerah.

(4)   Coblos 2
            Kalimat ini merupakan tindak lokusi. Secara gamblang rakyat diajak bahkan diperintah untuk mencoblos (memilih) pasangan No. 2, yaitu Mardjoko Gempol.

(5)   Mardjoko maning
(6)   Nerusaken sing durung rampung
            Kalimat (5) termasuk tindak ilokusioner sedangkan kalimat (6) termasuk tindak perlokusioner. Informasi dari kedua kalimat tersebut sebenarnya sama, yaitu ajakan untuk memilih Mardjoko kembali sebagai Bupati Banyumas. Namun, kalimat (6) memiliki kadar kesantunan yang lebih tinggi daripada kalimat (5). Kalimat (6) mengacu pada kalimat sebelumnya, yaitu kalimat (2) dan (3). Artinya bahwa kepemimpinannya yang telah menghemat anggaran dan bersih dari praktik korupsi itu patut untuk dilanjutkan.
Penggunaan bahasa Jawa pada kalimat-kalimat tersebut juga mengandung implikasi tertentu, yaitu mengingatkan kembali pada asumsi bahwa yang pantas untuk menjadi pemimpin suatu daerah adalah putra daerah itu sendiri. Oleh karena itu, Mardjoko sebagai putra Jawa (Banyumas) pantas untuk menjadi pemimpin daerah Banyumas itu sendiri. Asumsi yang pernah membawa Mardjoko pada kemenangan di Pilbup 2008 lalu ini ia gunakan kembali pada Pilbup 2013.
           

Pustaka
Jorgensen, Marianne W. Dan Louise J. Phillips, 2010. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyana, 2005. Kajian Wacana.Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rustono, 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.
Sulistyaningsih, Tri, 2009. “Bahasa Indonesia dalam Wacana Propaganda Politik Kampanye Pemilu 2009 Satu Kajian Sosiopragmatik” dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 17 Tahun 8, Agustus 2009. Bandung: Universitas Padjadjaran


Tidak ada komentar:

Posting Komentar