Dalam rangka pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati Banyumas sejumlah calon telah menggencarkan kampanye
propaganda politiknya, mulai dari yang baru pertama kali mencalonkan diri
hingga bupati yang saat itu masih menjabat. Kampanye pemilu merupakan proses
menyampaikan pesan-pesan politik sekaligus sebagai cara untuk merekrut massa
sebanyak-banyaknya. Kekuatan figur menjadi sangat penting. Oleh karena itu
melalui iklan kampanye inilah para Cabup dan Cawabup mencitrakan dirinya
sepositif mungkin. Mardjoko sebagai bupati yang saat itu masih menjabat
mencalonkan kembali dirinya dalam Pilbup Banyumas periode 2013-2018. Sama
seperti calon lainnya, dalam iklan kampanyenya ia juga membuat citra-citra
positif dengan kata-kata pilihan yang berbeda dengan calon lainnya.
Jenis wacana yang
dikaji dalam tulisan ini adalah wacana hortatori yang diambil dari media cetak
lokal. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode pragmalinguistik.
Tindak
Tutur Pengungkap Implikatur dalam Wacana Iklan Kampanye Mardjoko-Gempol
(1)
Gerakan satu putaran menangkan Djempol
Dalam
iklan kampanyenya, Mardjoko menggunakan kata Djempol sebagai abreviasi dari
Mardjoko-Gempol. Kata Djempol dipilih karena djempol (jempol) merupakan simbol
untuk menandakan kebaikan dan keunggulan. Jempol selalu diacungkan untuk
hal-hal unguul atau memiliki nilai-nilai kebaikan.
Kalimat
(1) merupakan tindak ilokusioner. Frasa ‘gerakan
satu putaran’ mengimplikasikan adanya ajakan untuk tidak memilih calon lain
selain Mardjoko-Gempol. Pilbup satu putaran berarti hanya ada satu calon yang
unggul dan tidak memerlukan putaran berikutnya untuk menentukan siapa yang akan
menjabat sebagai bupati.
(2)
Hemat APBD Rp 12 Miliar untuk tingkatkan
kesejahteraan rakyat
(3)
Bersih anti korupsi
Dalam kalimat (2) dan
(3) merupakan tindak perlukosioner, yaitu tindak yang menumbuhkan pengaruh
(efek) pada mitra tutur atau efek bagi yang mendengarnya (membacanya). Di sini dapat
dilihat bagaimana Mardjoko membuat suatu wacana untuk memberikan efek
‘kebenaran’ di mata para pemilih. Menurut Foucalt, ‘kebenaran’ disematkan dalam
dan dihasilkan oleh sistem kekuasaan. Mardjoko sebagai bupati yang saat itu
masih menjabat mencoba untuk mengemukakan wacana atas kepemimpinannya periode
2008-2013 yang telah berhasil mengurangi pengeluaran APBD sebanyak Rp 12 miliar
dengan menekan praktik-praktik korupsi di lembaga legislatif daerah.
(4)
Coblos 2
Kalimat
ini merupakan tindak lokusi. Secara gamblang rakyat diajak bahkan diperintah
untuk mencoblos (memilih) pasangan No. 2, yaitu Mardjoko Gempol.
(5)
Mardjoko maning
(6)
Nerusaken sing durung rampung
Kalimat
(5) termasuk tindak ilokusioner sedangkan kalimat (6) termasuk tindak
perlokusioner. Informasi dari kedua kalimat tersebut sebenarnya sama, yaitu
ajakan untuk memilih Mardjoko kembali sebagai Bupati Banyumas. Namun, kalimat
(6) memiliki kadar kesantunan yang lebih tinggi daripada kalimat (5). Kalimat
(6) mengacu pada kalimat sebelumnya, yaitu kalimat (2) dan (3). Artinya bahwa
kepemimpinannya yang telah menghemat anggaran dan bersih dari praktik korupsi
itu patut untuk dilanjutkan.
Penggunaan bahasa Jawa
pada kalimat-kalimat tersebut juga mengandung implikasi tertentu, yaitu
mengingatkan kembali pada asumsi bahwa yang pantas untuk menjadi pemimpin suatu
daerah adalah putra daerah itu sendiri. Oleh karena itu, Mardjoko sebagai putra
Jawa (Banyumas) pantas untuk menjadi pemimpin daerah Banyumas itu sendiri.
Asumsi yang pernah membawa Mardjoko pada kemenangan di Pilbup 2008 lalu ini ia
gunakan kembali pada Pilbup 2013.
Pustaka
Jorgensen, Marianne W. Dan Louise J. Phillips, 2010.
Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mulyana, 2005. Kajian
Wacana.Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rustono, 1999. Pokok-Pokok
Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.
Sulistyaningsih, Tri, 2009. “Bahasa Indonesia dalam Wacana Propaganda Politik Kampanye Pemilu 2009
Satu Kajian Sosiopragmatik” dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 17 Tahun 8,
Agustus 2009. Bandung: Universitas Padjadjaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar