Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 Oktober 2017

RAGAM BAHASA KASAR PADA KBBI V LURING: ANALISIS MEDAN MAKNA DAN KAITANNYA DENGAN BUDAYA INDONESIA

(*makalah ini telah dipresentasikan dalam seminar Leksikologi dan Leksikografi UI 2017)


1.      Pendahuluan
Setiap bahasa merekam apa yang menjadi cara pandang penuturnya terhadap dunia. Konsep-konsep yang ada dalam pikiran penuturnya diungkapkan ke dalam simbol-simbol bunyi, yaitu bahasa. Namun, bahasa memiliki sifat dinamis dan memori manusia yang cenderung tidak awet menyebabkan rekaman konsep-konsep dapat pudar dalam waktu yang relatif pendek. Oleh karena itu, setiap kata dalam bahasa perlu dikumpulkan dan direkam dalam kamus agar khasanah bahasa tersebut tidak punah, bahkan akan semakin kaya.
          Kamus menurut bahasa yang didefinisikan di dalamnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu kamus ekabahasa, kamus dwibahasa, dan kamus multibahasa. Kamus ekabahasa kemudian digolongkan kembali menjadi dua jenis, yaitu kamus saku dan kamus besar. Dalam kamus saku, lema-lema yang terdapat di dalamnya biasanya tidak terlalu banyak, hanya berkisar ribuan atau ratusan ribu, sedangkan dalam kamus besar lema-lema yang terdapat di dalamnya jumlahnya dapat mencapai puluhan juta, bahkan ratusan juta. Lema menurut Cruse (1995) adalah satuan leksikal, yaitu  satuan dalam subsistem semantik leksikon. Penggunaan istilah satuan leksikal ini dapat membedakannya dari kata (words) yang umumnya digunakan dalam subsistem morfologi dan sintaksis, serta leksem yang merupakan satuan bahasa yang disusun secara alfabetis dalam kamus. Dalam penyusunan kamus ini lema-lema dikelompokkan berdasarkan medan makna.
          Di Indonesia terdapat kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yang memuat lebih 92.011 lema yang terdiri dari 41.472 kata dasar, 24.607 kata berimbuhan 23.536 gabungan kata, 2.033 peribahasa, 272 idiom/kata kiasan, dan 92 varian.  Lema-lema yang berasal dari bahasa Indonesia, serapan dari bahasa Sansekerta, Inggris, Arab, dan bahasa-bahasa daerah di Indoensia. Selain itu kamus besar ini juga memuat 3.473 rujuk silang, 1.009.005 makna, 27889 contoh, 2.385 nama ilmiah, dan 136 rumus kimia. Versi terbaru KBBI ini diluncurkan pada 28 Oktober 2016 (Amalia, 2016).
          Yang menarik adalah KBBI V ini tidak hanya diluncurkan dalam versi cetak, tetapi juga dalam versi daring dan versi luring untuk ponsel pintar dan I-Phone. Untuk versi luring, selain berbeda jumlah lema dalam entrinya terdapat perbedaan lain pula, yaitu dalam tampilan  pengategorian lema. Pada versi luring lema-lema dikategorikan dalam empat tautan, yaitu tautan kelas kata, tautan ragam, tautan bahasa (berdasarkan asal bahasa), dan tautan  bidang (register). Dalam ragam, lema-lema dikelompokkan lagi menjadi lima jenis, yaitu ragam arkais, ragam klasik, ragam hormat, ragam cakapan, dan ragam kasar.
Untuk menelaah ragam kasar pada KBBI V luring teori yang digunakan adalah medan  makna dan konteks dalam semantik. Croft (2004:175) menyamakan medan makna (meaning field) dengan ranah atau medan kata (world field). Medan makna berada dalam benak penutur dan merupakan payung konsep yang sama yang mencakupi satuan-satuan leksikal yang selanjutnya medan makna ini diwujudkan menjadi satuan leksikal yang berkaitan dalam suatu medan leksikal. Keberadaan medan makna leksikal atau butir leksikal di dalam leksikon tidak terisolasi, tetapi terintegrasi secara struktural dan membentuk medan yang lebih tinggi tatarannya  atau lebih luas liputannya sampai pada akhirnya keseluruhan butir leksikal terliput di dalam totalitas medan bahasa (Geeraerts, 2009).
Pendefinisan sebuah kamus paling banyak menggunakan relasi sinonim dengan lema lainnya yang sepadan. Sinonim berarti sebuah kata dikelompokkan dengan kata-kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkan makna umum. Sinonim identik dengan hubungan dalam semantik (Geeraerts, 2010:84).
Kramsch (1998) mengemukakan bahwa dalam konteks komunikasi, bahasa terikat dengan budaya yang banyak dan kompleks. Kata-kata yang diucapkan manusia kata-kata yang mengacu pada pengalaman umum. Mereka mengekspresikan fakta, gagasan atau peristiwa yang dapat dapat diteruskan karena mereka mengacu pada stok pengetahuan tentang dunia yang orang lain bagikan. Kata-kata juga merefleksikan sikap,  kepercayan, dan sudut pandang penuturnya. Inilah yang disebut bahwa bahasa mengekspresikan realitas budaya.
Budaya, menurut Rahyono (2009: 48-49), mengacu pada segala hal yang mencakup konsep-konsep serta pengejewantahannya, baik yang dapat ditangkap melalui indera manusia maupun tindakan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan kehidupan berdasarkan karya-karya pemikiran. Misalnya, sopan santun, tata krama yang diwujudkan dalam bentuk perilaku, atau pilihan kata dalam bertutur merupakan wujud budaya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketika seseorang mengkaji suatu bahasa sesungguhnya ia juga sedang mengkaji budayanya.
Kajian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Peneliti berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan lema-lema yang menjadi data kajian ini kemudian mengaitkannya dengan budaya Indonesia secara umum.
2.      Analisis
2.1. Ragam Bahasa Kasar pada KBBI V Luring
Ragam bahasa kasar pada KBBI V luring memiliki 68 entri. Berdasarkan medan makna asalinya, entri-entri tersebut dikelompokkan menjadi 6, yaitu: Ragam kasar yang berkaitan dengan anggota tubuh manusia, ragam kasar yang berkaitan dengan persetubuhan, ragam kasar yang berkaitan dengan kematian dan sadisme, ragam kasar yang berkaitan dengan perilaku dan sifat buruk, ragam kasar yang disebabkan oleh konteks kalimat, dan ragam kasar yang disebabkan oleh etimologinya
1.      Ragam kasar yang berkaitan dengan anggota tubuh manusia
Ada beberapa lema dalam penamaan anggota tubuh manusia yang memiliki nilai rasa negatif atau rendah disebabkan oleh 3 hal, yaitu: bersifat hewani atau dipergunakan untuk hewan (cungur, bacot, moncong, tembolok), bentuk fisik yang buruk atau tidak indah (buncit, gendut, monyong, tua bangka), dan vulgar (butuh, cukimai, pepek, tempik, tiga serangkai).

2.      Ragam kasar yang berkaitan dengan persetubuhan
Persetubuhan merupakan hal yang masih dianggap tabu dalam masyarakat Indonesia, terlebih jika dilakukan di luar pernikahan. Entri persetubuhan yang tergolong ragam kasar ini didapat dari lapangan, baik dalam dunia nyata maupun maya, dengan pertimbangan kapan lema-lema ini digunakan. Lema-lema dalam kelompok ini kerap digunakan untuk pasangan yang melakukan persetubuhan di luar pernikahan. Metode yang dipakai dalam penentuan klasifikasi ini dilakukan dengan korpus (Amalia).
Lema-lema tersebut yaitu: berjantan, bersentuh, mengentot, menggendong, mengamput, mengancuk, mengayut, mengencingi, menyodok1, merodok, dan semburit.


3.    Ragam kasar yang berkaitan dengan kematian dan sadisme
Sadisme dapat didefinisikan sebagai kekejaman, kebuasan, keganasan, atau kekasaran (http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sadisme). Lema-lema yang berkaitan dengan sadisme, yaitu: abus, jangkang, koit, kojor, mampus, mencekik, menggorok, modar, taruk, dan terjengkang.


4.    Ragam kasar yang berkaitan dengan perilaku dan sifat buruk
Yang disebut sebagai perilaku dan sifat buruk dalam pengelompokkan ini adalah perilaku yang tidak disenangi oleh masyarakat Indonesia dan perilaku yang dianggap jorok. Lema-lema tersebut, yaitu: memberaki, membuta, menggelontor, mencengam, menyekang perut, menyengam, menyodok3,4, minggat, mulut-mulutan, penyekang, dan tongkrongan.


5.    Ragam kasar yang berupa umpatan
Lema dalam kelompok ini merupakan umpatan atau makian yang dituturkan oleh seseorang dan biasanya dituturkan pada konteks orang tersebut marah atau tidak puas, baik terhadap orang lain maupun terhadap suatu keadaan. Lema-lema tersebut yaitu: anak sundal, babi, bajingan, berkirai, bincacak, celaka, geblek, goblok, keparat, kunyuk, penyakit, sial, dan sialan.


6.      Ragam kasar yang disebabkan oleh etimologinya
Berikut adalah lema-lema ragam kasar yang disebabkan oleh asumsi yang dimiliki oleh masyarakat penuturnya sehingga lema-lema ini dianggap kasar.
Lema
Keterangan
anak kolong
Sebutan untuk anak serdadu yang lahir dan dibesarkan dalam asrama, barak, atau penjara pada zaman Hindia-Belanda. Dikelompokkan dalam ragam kasar karena pada zaman itu, kehidupan tentara sangat memprihatinkan.
babi

Sebutan untuk permainan judi kartu cara Cina dengan kartu ceki atau bongkin. Di sini, “babi” sebagai identitas orang Cina yang gemar makan daging “babi”.
laki
Ragam cakapan yang digunakan untuk menggantikan kata “suami”. “Laki” berasal dari lema “laki-laki” dan dimasukkan ke dalam ragam kasar karena biasa digunakan dalam konteks kalimat bernuansa negatif

2.2. Ragam Bahasa sebagai Realitas Budaya Masyarakat Indonesia
Kehadiran tautan ragam kasar pada KBBI V Luring bukan tanpa tujuan. Tautan ini ditujukan untuk memudahkan masyarakat mengetahui lema-lema apa saja yang memiliki makna-makna negatif di dalam bahasa Indonesia, meskipun beberapa lema tidak akrab atau kurang dikenal oleh sebagian masyarakat atau pada  kelompok masyarakat tersebut tidak menganggap bahwa lema-lema tersebut memiliki makna negatif atau beragam kasar. Hal ini dikarenakan data yang diambil oleh Badan Bahasa mencakup lema-lema yang frekuensinya sering dipakai dalam sehari-hari dengan wilayah cakupan dari Sabang hingga Merauke – karena Badan Bahasa dalam membuat kamus ini bekerja sama dengan kantor-kantor bahasa di wilayah-wilayah di Indonesia.
Secara umum, bila dilihat dari kategori-kategori pada sub-sub bab sebelumnya, ada benang merah yang dapat diambil. Seperti pendapat Kramsch (1998) bahwa dengan pilihan kata suatu masyarakat dapat diungkap bagaimana masyarakat tersebut memandang fakta dan peristiwa. Ekspresi tentang sikap, kepercayaan, dan sudut pandang masyarakat ini tentu akan berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Namun, dalam suatu masyarakat yang besar dengan cakupan wilayah yang luas yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang lebih kecil ada suatu garis besar atau sesuatu yang berlaku secara umum mengenai nilai dan cara pandangnya.
Badan Bahasa sebagai wadah permasalahan kebahasaan tentu mengambil jalan tengah agar dapat mewakili kebudayaan Indonesia secara umum, mengingat kamus besar merupakan kamus yang merangkum seluruh data kebahasaan berupa kosakata-kosakata yang muncul di dalam penggunaan bahasa Indonesia secara konkret. Lema-lema pada ragam bahasa kasar yang berkaitan dengan anggota tubuh, misalnya, ada sebagian yang merupakan lema-lema bersifat hewani. Pemetaforaan lema berkomponen makna hewani tersebut apabila digunakan dalam konteks yang mengacu kepada manusia akan menjadi kasar bagi penutur bahasa Indonesia. Adapun kosakata tubuh yang dianggap vulgar dikarenakan penggunaannya yang sering ditemukan dalam konteks kalimat yang tabu. Lema-lema vulgar ini tentunya tidak digunakan dalam konteks ilmiah. Hal ini terjadi juga pada lema-lema yang mengacu pada persetubuhan dan perbuatan kekerasan dan yang dimasukkan ke dalam ragam kasar.
Sedikit berbeda dengan tiga kategori sebelumnya, mengacu pada perilaku atau sikap buruk dimasukkan ke dalam ragam kasar karena entitas dari lema itu sendiri. Selain konteks penggunaan, makna yang terkandung dari lema itu sendiri merupakan perilaku manusia yang dianggap buruk. Misalnya, pada lema menyengam yang memiliki komponen makna rakus dan minggat yang memiliki komponen makna melarikan diri. Perilaku-perilaku ini merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai yang dijunjung dalam budaya sopan santun masyarakat Indonesia.
Di dalam setiap bahasa ada hal-hal yang sifatnya universal, salah satunya adalah umpatan. Umpatan merupakan kosakata yang selalu memiliki nilai negatif, sehingga kosakata ini dimasukkan ke dalam ragam bahasa kasar. Aspek emosi negatif merupakan hal yang mengonstruksi suatu lema menjadi kata yang kasar ketika dituturkan oleh seseorang. Hal ini tentu saja bertentangan dengan nilai kesantunan menahan amarah atau emosi dalam berkomunikasi.
Lema-lema yang dikategorikan ke dalam ragam bahasa kasar secara etimologinya dapat merefleksikan masa lalu bangsa Indonesia. Lema anak kolong mengandung arti  anak serdadu yang lahir dan dibesarkan dalam asrama, barak, atau penjara pada zaman Hindia-Belanda. Tempat-tempat yang mereka tinggali itu biasanya amat kumuh dan gelap seperti kolong. Anak kolong ini dianggap kasar karena konstruksinya yang menggunakan ‘kolong’ untuk menggantikan ‘serdadu’ atau ‘prajurit’, yaitu orang yang berjuang melawan penjajah. Meskipun lema ini tergolong kiasan, namun kiasan ini bernilai rasa yang kurang baik. Demikian pula dalam lema babi sebagai sebutan untuk permainan judi kartu cara Cina dengan kartu ceki atau bongkin. Babi dalam konteks ini dikaitkan dengan identitas orang Cina yang gemar memakan daging babi, tidak seperti orang Indonesia pada umumnya (mayoritas muslim) yang diharamkan untuk memakan daging babi.

3.      Simpulan
Medan makna merupakan sesuatu yang paling mendasar dalam penyusunan lema-lema di dalam kamus. Relasi sinonim bekerja pada medan makna sehingga dapat menjadi alat bantu dalam mendefinisikan sebuah lema. Namun, lema pada dasarnya tidak bermakna begitu saja. Diperlukan konteks sebagai pendukungnya sehingga suatu lema atau kata menjadi bermakna. Dari klasifikasi medan makna yang terkandung pada tautan ragam bahasa kasar KBBI V Luring, apa yang dianggap kasar oleh masyarakat Indonesia adalah apa yang dianggap bertentangan dengan budaya msyarakat Indonesia pada umumnya. Pendeksripsian bentuk fisik yang tidak indah, perilaku buruk yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dari konvensi yang dianut, metafora komponen makna insani dengan hewani, dan umpatan merupakan hal-hal yang menyebabkan sebuah lema dapat digolongkan ke dalam ragam kasar bahasa Indonesia.

Daftar Pustaka
Amalia, Dora. 2016. Tayangan pada Diseminasi KBBI V 14 Desember 2016. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Croft, William dan Alan. D Cruse. 2004. Cognitive Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Cruse, Alan D. 1995. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Geeraerts, Dirk. 2009. Theories of Lexical Semantics. London: Oxford University Press.
http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sadisme
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V versi Luring. 2016.
Kramsch, Claire, 1998. Language and Culture. New York: Oxford University Press.

Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Penerbit Wedatamawidyasastra.

PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI BAHASA DARI DAN UNTUK MASYARAKAT: STUDI KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA PADA GRUP WHATSAPP

(*makalah ini telah dipresentasikan dalam Seminar SETALI UPI 2017)


PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi begitu cepat dalam satu dasawarsa terakhir ini. Dalam bidang telekomunikasi, misalnya, berbagai inovasi mulai dari telegram, faksimile, telepon genggam, hingga ponsel pintar dengan bermacam aplikasi di dalamnya merupakan bukti bahwa teknologi di bidang komunikasi mengalami kemajuan yang pesat. Dari berbagai aplikasi yang terdapat pada ponsel pintar, WhatsApp (WA) adalah aplikasi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan kepraktisannya. WA tidak hanya memiliki fitur percakapan antarpribadi, tetapi juga percakapan dalam grup, seperti grup organisasi, grup hobi, grup alumni, dan sebagainya. Dengan kemudahan inilah, pada perkembangannya WA juga dimanfaatkan sebagai salah satu tempat diskusi ruang maya yang dapat menjangkau seluruh kalangan dengan berbagai latar belakang anggota grup.
Dalam berkomunikasi, yang perlu diperhatikan oleh manusia bukan hanya informasi atau maksud yang hendak disampaikan, tetapi juga cara penyampaiannya. Cara ini berperan penting dalam keberhasilan seseorang menyampaikan informasi. Kesantunan merupakan hal paling mendasar dalam terjalinnya komunikasi yang baik, terutama dalam bahasa tulis yang tidak memiliki fitur suprasegmental, seperti jeda dan intonasi, sehingga sangat berpotensi menimbulkan kesalahpahaman antara penutur dan petutur. Begitu pula pada bahasa yang digunakan dalam percakapan grup WA. Selain pemakaian tanda baca yang benar, pemilihan kata-kata pun harus diperhatikan agar antara penutur dan petutur memiliki kesamaan kognisi sehingga pesan dapat tersampaikan dengan baik.
Berbicara penggunaan bahasa berarti juga berbicara mengenai cara berpikir manusia karena bahasa tidak terlepas dari bagaimana kognisi penggunanya, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa adalah jati diri bangsa. Karakter bangsa Indonesia tercermin dari bagaimana penggunaan bahasa di dalam masyarakat. Menurut definisi dalam KBBI IV, karakter berkaitan dengan sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti dan utamanya dibentuk dari lingkungan. Oleh karena pentingnya pembentukan karakter masyarakat, Presiden Jokowi mencanangkan sebuah gerakan yang disebut dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) dengan pendidikan karakter menjadi salah satu program dalam bidang pendidikan.
Dikutip dari revolusimental.go.id, Revolusi Mental merupakan bentuk strategi kebudayaan yang berperan memberi arah bagi tercapainya kemaslahatan hidup berbangsa dan bernegara. Gerakan ini dilatarbelakangi oleh tiga hal, yaitu (1) krisis nilai dan karakter, (2) krisis pemerintahan: pemerintah ada, tetapi tidak hadir, masyarakat menjadi objek pembangunan, dan (3) krisis relasi sosial: gejala toleransi. Integritas, etos kerja, gotong royong, merupakan nilai-nilai strategis dalam Revolusi Mental. Yang menjadi penggerak Revolusi Mental itu sendiri, menurut Presiden Joko Widodo, adalah seluruh bangsa Indonesia. Gerakan ini diharapkan dapat menyebar menjadi gerakan-gerakan masyarakat di tingkat lokal dan komunitas di seluruh Indonesia.
Pendidikan karakter meski menjadi salah satu program di bidang pendidikan, namun pendidikan ini hanya dibicarakan dalam ranah formal dan nonformal. Ranah informal, yaitu kehidupan masyarakat yang sebenarnya kurang menjadi perhatian, padahal karakter manusia lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Berdasarkan latar belakang tersebut, pendidikan karakter yang kini tengah disuarakan pemerintah sejatinya dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Kita sebagai anak bangsa dapat berpartisipasi aktif dalam pendidikan karakter bangsa Indonesia, bukan untuk pemerintah ataupun rezim, melainkan untuk bangsa kita sendiri. Adapun di dalam makalah ini dikaitkan dengan program pemerintah adalah sebagai deskripsi kebijakan pemerintah dengan bahasa sebagai tonggaknya, yaitu bagaimana bahasa memiliki posisi yang sangat strategis dalam implementasi kebijakan.

TEORI DAN METODOLOGI
Kramsch (1998) mengemukakan bahwa bahasa adalah realitas budaya. Dalam konteks komunikasi, bahasa terikat dengan budaya yang banyak dan kompleks. Oleh karena itu, bahasa memiliki posisi yang sangat strategis dalam menilik bagaimana kebudayaan suatu bangsa. Bahasa yang santun dapat mencerminkan jati diri yang baik dari penuturnya dan sebaliknya. Oleh karena itu, manusia memiliki kewajiban dasar dalam menjaga setiap tutur katanya. Hal ini dikarenakan kata-kata adalah tindakan yang dapat berubah menjadi sebuah kebiasaan. Pada tahap selanjutnya, kebiasaan yang berawal dari tindakan bertutur tersebut dapat menjadi budaya dan karakter penuturnya
Sementara itu, Rahyono (2011) mengungkapkan bahwa kemampuan pengendalian diri terhadap nafsu-nafsu, dari waktu-ke waktu, memiliki peran yang menentukan pembentukan karakter manusia. Tuturan-tuturan yang secara produktif digunakan menunjukkan karakter anak bangsa. Media komunikasi merupakan salah satu tempat belajar, yang secara pasif di luar kesadaran, berperan dalam membentuk kerpibadian anak bangsa.
Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills) sebagai manifestasi dari nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Karakter mengandung nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Dengan demikian, karakter yang kuat membentuk individu menjadi pelaku perubahan bagi diri sendiri dan masyarakat sekitarnya (Albertus (2015) dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2016)). Untuk itu diperlukan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat yang merupakan bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Dukungan ini dapat dimulai dengan penataan bahasa dalam berkomunikasi sehingga komunikasi menjadi lebih baik, kesalahpahaman dapat diminimalisasi, dan pada akhirnya kerukunan antarmasyarakat Indonesia dapat terlaksana.
Dari berbagai strategi penataan bahasa, kesantunan merupakan salah satu hal terpenting. Kesantunan menurut Brown dan Levinson (1978) merupakan bagaimana seseorang penutur menjaga muka petuturnya. Artinya, dalam bertutur atau berkomunikasi penutur sedapat mungkin mempertahankan citra positif petuturnya, tidak membuat petuturnya merasa malu, terancam, atau tidak nyaman karena tuturannya  tersebut. Levinson (1978:61) membagi tindak kesantunan ke dalam empat strategi, yaitu dengan tidak berusaha menyinggung wajah pendengar (bald on-record), berusaha membangun hubungan positif antar-pelibat cakap atau menghormati kebutuhan seseorang untuk disukai dan dihargai (positive politeness), membuat permintaan tanpa menyalahi dan menghormati hak seseorang untuk bertindak bebas (negative politeness), dan mengunakan bahasa tidak langsung dan hindari potensi pemaksaan (off-record atau indirect).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik yang digunakan adalah teknik simak bebas libat cakap. Data diambil dari percakapan grup Whatsapp dengan berbagai latar belakang topik. Teks percakapan kemudian dianalisis dengan mengaitkannya pada konteks yang menjadi latar percakapan tersebut. Konteks diambil tidak hanya sewaktu, yaitu saat percakapan berlangsung saja. Namun, konteks diambil dari jangka waktu tertentu. Pengambilan konteks yang jangka waktu yang lebih luas ini ditujukan agar peneliti mendapat gambaran bagaimana kedekatan sosial partisipan-partisipan yang terlibat dalam percakapan.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian yang dilakukan terdapat beberapa temuan yang menunjukkan adanya ketidaksantunan dalam komunikasi di dalam grup WA. Secara garis besar, ketidaksantunan tersebut dapat digeneralisasi menjadi sebagai berikut.
Kalau tidak setuju, silakan left yang dituturkan admin dalam konteks dikusi atau pembicaraan yang didalamnya terdapat dua atau lebih pandangan yang berbeda merupakan kalimat yang mengindikasikan adanya keotoriteran admin dalam menjalankan grupnya. Jika dikaitkan dengan strategi kesantunan Levinson, maka kalimat ini tentu melanggar keempat strategi kesantunan, yaitu tidak membangun hubungan positif dengan petutur, tidak menghormati kebutuhan orang lain untuk dihargai dan berpendapat. Tuturan ini juga berpotensi menyinggung petutur karena pendapatnya tidak dihargai dan menimbulkan daya paksa terhadap petutur tersebut keluar dari grup karena secara tidak langsung kehadiran petutur di dalam grup tersebut tidak penting.
Selain itu, di dalam percakapan dalam grup WA juga sering terjadi perisakan yang tidak disadari. Ketika ada dua orang yang berbeda pendapat dan salah satu di antara mereka adalah orang yang punya wewenang lebih, seperti admin, pemilik  atau bahkan narasumber grup, maka pembelaan cenderung kepada yang memiliki wewenang tersebut. Padahal belum tentu orang yang memiliki wewenang tersebut benar pada saat itu, sedang orang yang berbeda pendapatnya dengan si pemilik wewenang itu salah atau hanya sekadar memberi masukan. Namun, anggota lainnya tidak mengambil sikap menengahi atau setidaknya mengganti topik pembicaraan yang lain yang kiranya dapat meredakan suasana panas di dalam grup. Anggota lainnya, justru menambah percakapan dengan mendukung pihak yang memiliki wewenang meskipun percakapan itu sebenarnya sudah selesai beberapa waktu lalu (dalam hitungan jam, misalnya). Tanpa disadari tuturan-tuturan tersebut telah menyalahi pihak yang bertanya atau memberi masukan yang tidak sejalan dengan pernyataan admin atau narasumber.
Berkebalikan dengan tanggapan yang berlebihan, tidak adanya tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan salah satu anggota juga merupakan tindak ketidaksantunan menurut Levinson. Hal ini dikarenakan penutur atau anggota yang bertanya tersebut dianggap seperti tidak ada atau tidak menjadi bagian dari grup tersebut. Oleh karena itu, tidak adanya tanggapan sama sekali dari anggota lainnya di dalam grup mengakibatkan wajah negatif penutur atau penanya. Kebutuhan orang lain untuk dihargai diabaikan begitu saja.
Anggota yang aktif cuma segini, nih? Yang lainnya hantu. Kalimat ini dapat bermakna candaan, tetapi dapat pula sebagai bentuk agresi. Kalimat ini berkaitan dengan latar konteks yang lebih luas dan khusus, yaitu pada bagaimana percakapan sehari-hari di dalam grup terjadi, maka kalimat ini dapat dikategorikan ke dalam kalimat yang tidak santun. Ketika sebuah grup dengan ratusan anggota, namun hanya orang-orang tertentu saja yang terlibat dalam percakapan, terlebih orang-orang tersebut adalah memang orang-orang yang memiliki kedekatan di dalam dunia nyata, maka dapat dikatakan telah terjadi forum dalam forum. Adanya perbedaan respon antara orang dalam lingkaran dengan luar lingkaran tersebut cukup menandakan bahwa adanya keengganan dan ketidakadilan tanggapan. Kasus ini sama seperti kasus-kasus sebelumnya, yaitu pelanggaran terhadap kesantunan positif (positive politeness) yang mengakibatkan menyinggung perasaan penutur.
Masalah SARA merupakan masalah yang sangat sensitif, baik di dalam dunia nyata mapun maya. Terlebih jika pembicaraan mengenai SARA itu didasarkan hanya pada asumsi-asumsi atau stereotipe yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Perbedaan adalah sesuatu yang harus dihargai. Mengingat Indonesia merupakan bangsa dengan penuh keberagaman, maka tidak sepatutnya keberagaman itu sendiri menjadi hal yang membuat bangsa menjadi terpecah belah hanya karena tuturan yang tidak tepat konteks.
Pendidikan sejatinya tidak hanya dari lingkungan formal, seperti sekolah atau intitusi pendidikan, melainkan juga dari masyarakat. Hal inilah yang luput dari program pendidikan karakter dalam gerakan Revolusi Mental. Ketidakterukuran menjadi salah satu kendalanya. Namun, bukan tidak mungkin pendidikan karakter di masyarakat justru menjadi salah satu ranah yang paling banyak berpengaruh terhadap karakter anak bangsa. Dilihat dari segi waktu yang dihabiskan seseorang dalam menjalani kehidupan, waktu pendidikan intitusi pendidikan formal tidaklah lebih lama dari pendidikan yang diterima oleh seseorang melalui lingkungannya.
Untuk itulah, langkah paling awal sekaligus paling sederhana yang dapat dilakukan adalah pembenahan bahasa, bagaimana cara berkomunikasi agar hubungan sosial tetap terjaga dengan baik. Pemilihan kata-kata yang baik, sadar konteks, serta sadar akan kebutuhan orang lain untuk dihargai merupakan kunci komunikasi. Khusus pada bahasa tulis, seperti WA, penggunaan tanda baca dan penggunaan huruf yang tepat (tidak besar-kecil atau besar semua) juga harus diperhatikan. Hal ini dikarenakan WA merupakan sarana komunikasi yang memiliki jangkauan sangat luas, sehingga dampak baik-buruk yang ditimbulkannya pun akan luas pula. Jika bahasa sudah tertata maka tidak menutup kemungkinan cara berpikir kita pun akan tertata. Kesantunan tidak hanya sekadar ucapan, melainkan mengkarakter di dalam setiap individu bangsa Indonesia.
Sesuai dengan apa yang terumus dalam GNRM, khususnya dalam bidang pendidikan karakter, bahwa masyarakat juga memiliki peran dalam membangun karakter bangsa Indonesia yang arif berbudaya. Menjadi role model atau panutan bukanlah sesuatu yang mudah, akan tetapi tidak berarti tidak mungkin. Membangun masyarakat yang berkarakter dan santun dapat dilakukan oleh siapa saja. Tugas ini bukan hanya tanggung jawab para guru dan pendidik di lingkungan formal dan nonformal, tetapi tugas ini merupakan tugas yang kita emban bersama. Pemerintah beserta jajarannya adalah pemimpin dan wakil bangsa Indonesia yang menjadi panutan bagi masyarakatnya. Dapat memberikan contoh yang baik, santun dan berkarakter adalah harapan bagi seluruh bangsa Indonesia.

Simpulan
Berkomunikasi bukanlah menyampaikan informasi semata, melainkan upaya untuk menjalin hubungan sosial di masyarakat. Dalam berkomunikasi yang perlu diperhatikan bukan hanya isi, tetapi juga cara. Dalam bahasa tulis dan ruang maya dengan pelibat tutur yang banyak dan latar belakang yang luas, kesantunan merupakan cara sekaligus prinsip yang paling penting dalam komunikasi yang baik. Bahasa yang santun mencerminkan karakter santun penuturnya. Karakter inilah yang menjadi salah satu target utama pemerintah dalam Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), khususnya dalam bidang pendidikan karakter. Oleh karena itu, implementasi gerakan ini dapat diawali dengan langkah sederhana, yaitu dengan cara menata kesantunan dalam berbahasa. Satu hal yang perlu diingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang luhur dan berbudi pekerti, memiliki nilai-nilai kearifan yang patut dilestarikan.


Daftar Pustaka
Brown, P., Stephen Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Use. Cambridge: Cambridge University Press.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter (diakses pada 16 Juli 2017 pukul 14.00).
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Rahyono, F.X. 2014. “Peran Pragmatik dalam Memaknai dan Membentuk Karakter Bangsa dalam Era Global”. Seminar Internasional Semiotik, Pragmatik, dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 17 Juni 2014.

Jumat, 30 Juni 2017

The Wife: A Study in Patriarchy

The Wife adalah sebuah novel karya Meg Wolitzer yang menceritakan tentang seorang penulis yang sukses dan mendapat penghargaan bergengsi, Joe. Ia memiliki istri bernama Joan. Kisah Joe dan Joan dalam novel ini diceritakan sarat dengan budaya patriarki yang berkembang di Inggris. Konsep patriarki, khususnya di Inggris, mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Laki-laki memiliki kuasa lebih banyak daripada kaum perempuan. Dalam sektor pekerjaan yang sama dan dengan jabatan yang sama, laki-laki mendapat 15% gaji lebih besar daripada perempuan. Hal tersebut dianggap hal yang biasa terjadi, mengikuti peraturan gender yang tradisional. Ideologi ini juga dapat dijumpai pada bagaimana peran seorang ibu yang selalu mendahulukan menyajikan makanan di piring anak laki-laki terlebih dahulu sebelum menyajikannya di piring anak perempuan atau perlakuan seorang atasan laki-laki kepada pekerja perempuan dalam gaya berbicara yang diperhalus dan lebih banyak bujukan, seperti sedang berbicara kepada anak kecil.
Novel The Wife merupakan salah satu contoh bagaimana budaya patriarki berkembang dan memberikan efek kumulatif dalam kehidupan sehari-hari. Joan Castleman sebagai tokoh utamanya adalah laki-laki yang superior. Sebelum menikah dengan istrinya, Joan, ia sudah menjadi seorang penulis. Novel ini dibuka dengan cerita mereka ketika berada dalam perjalanan dengan menggunakan sebuah pesawat ke Helsinki di mana Joe mendapat penghargaan dalam bidang sastra. Di dalam pesawat Joe tergoda oleh tawaran “pelayanan” yang diberikan oleh seorang wanita. Mengetahui itu, Joan memutuskan untuk bercerai dengan Joe. Di situlah Joe teringat bahwa selama ini Joan telah lama ada bersamanya hanya untuk memenuhi kebutuhan dan impian-impiannya. Dia tidak berdiri sendiri tanpa Joan.
Joe, meski ia digambarkan sebagai laki-laki yang superior bahkan semena-mena terhadap perempuan, Wolitzer justru mendeskripsikan masa kanak-kanak Joe yang bertolak belakang dengan keadaannya masa dewasa. Joe dibesarkan oleh orang tua tunggal, yaitu ibunya, karena ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Peristiwa peristiwa pengkhianatan laki-laki terhadap bibi-bibinya mengelilingi dunia Joe kecil. Di satu sisi, perempuan-perempuan tersebut merasa sakit hati dengan hak istimewa laki-laki secara patriarkal karena menjad korban kekerasan dan mereka harus tabah menjalaninya. Namun, di waktu yang sama mereka juga tidak mau melawan apa budaya leluhurnya dan mengajarkannya secara tidak langsung kepada anak laki-laki mereka. Kontradiksi antara pemberdayaan dan sikap tunduk ini teresonansi dalam dunia nyata.
Di bagian lain, Wolitzer menggambarkan mengenai perempuan Chili sebagai perempuan kaki-tangan machismo (kejantanan) yang kuno. Mereka melayani kaum laki-laki dengan baik dan mengurus anak-anak. Berbeda dengan perempuan modern yang memberontak, namun pada akhirnya mereka tak berdaya juga karena perasaan kasih dalam dirinya dan itu menjadikan mereka sebagai korban kaum laki-laki. Hal ini juga yang mendasari Wolitzer menggambarkan karakter Joe sebagai seorang laki-laki yang selalu dilayani oleh perempuan, khususnya istrinya. Dari bangun pagi hingga tidur malam, sesungguhnya ia sangat bergantung pada perempuan.
Dalam konteks feminin, Joe dihubungkan dengan dengan bagaimana ia mengikuti gaya perempuan ketika ia berinteraksi dengan perempuan. Gaya bicaranya akan berbeda dengan ketika ia kontak dengan sesama laki-laki. Seperti pada saat pertama ia berhubungan dengan Joan. Joe menggoda Joan. Tulisan Joan, meski tak terlalu bagus, namun Joe tetap memujinya. Ada sesuatu yang ia inginkan dari Joan dan Joan menerimanya. Inilah alasan mengapa Joe meninggalkan istri dan anaknya untuk bersama dengan Joan.
Dalam kehidupannya bersama Joan, karir Joe terus meroket. Sebagai seorang yang memiliki popularitas, Joe selalu berusaha menenangkan Joan agar ia percaya kepada Joe sepenuhnya, yaitu dengan melakukan “lip service”. Joe juga mengatakan bahwa Joan adalah separuh hidupnya. Namun, di saat lain Joe juga mengkhianati Joan. Ia terbiasa bertemu dan tidur bersama penggemar-penggemarnya.
Dalam kaitannya dengan perspektif Marxisme, The Wife menggambarkan hubungan antara pemilik modal dengan buruh; Joe sebagai pemilik modal dan Joan sebagai buruh. Pemilik modal akan selalu mendapat lebih banyak keuntungan daripada buruh. Pengkhianatan Joe menggambarkan bagaimana kelas pemilik modal melakukan kesewenangan. Bujukan Joe terhadap Joan menggambarkan bagaimana pemiliki modal melakukan trik agar dapat mempekerjakan orang-orang dari kelas buruh dan mempertahankan mereka sebagai usaha untuk mendapat keuntungan bagi dirinya.
Prestasi Joe digambarkan begitu eksplisit, sedangkan kontribusi Joan tidak muncul di permukaan. Sama seperti ketika perusahaan besar mendapat nama besar atas mutu produknya. Perusahaan yang mendapatkan eksistensi, namun para buruh atau orang-orang yang bekerja di balik layar tidak akan terekspos meski pada kenyataannya merekalah yang memiliki kontribusi besar terhadap kualitas produk perusahaan tersebut.
Keputusan bercerai yang diambil Joan dalam perjalanan menuju Helsinki menggambarkan kaum yang memberontak. Di titik ini pemilik modal akan menyadari bahwa mereka tidak akan mencapai kesuksesan tanpa adanya buruh-buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan mereka. Eksploitasi yang berlebihan akan menuai banyak konflik yang berujung pada pemberontakan kaum buruh.




(disarikan dari Tony McKenna Art, Literature and Culture”)


 

Jumat, 12 Mei 2017

Makna sebagai Tanda

Bahasa bermakna melalui dua cara yang fundamental, yaitu melalui apa yang dikatakan atau apa yang ditunjuk sebagai tanda yang dikodekan (semantik) dan melalui apa yang dilakukan sebagai tindakan dalam sebuah konteks (pragmatik). Setiap praktik pemaknaan melibatkan dua elemen, yaitu penanda dan petanda. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer atau manasuka. Oleh karena itu di dalam hubungan ini tidak memiliki korespondensi yang benar-benar sempurna (asimetris).
Makna tanda dibedakan menjadi tiga, yaitu denotatif, konotatif, dan ikonik. Makna denotatif dapat dikatakan merupakan makna yang mendefiniskan realitas atau makna yang sesuai dengan kamus, makna konotatif merupakan makna yang memliki berbagai asosiasi yang dibangun oleh pikiran manusia, sedangkan ikonik merupakan makna yang dapat menggambarkan objeknya. Ketiga makna ini berhubungan dengan wacana yang diberikan oleh suatu masyarakat mengkodekan pengalamannya.
Dalam mengkodekan pengalaman-pengalaman yang berbeda dalam asosiasi kebudayaan dibangun dari tanda linguistik yang berbeda pula. Studi jaringan semantik pada penutur bilingual membuat asosiasi-asosiasi dalam kebahasaan ini lebih terlihat karena perbedaan kosakata dan kemiripan konsep antara bahasa pertama dengan bahasa keduanya. Namun, perbedaan nilai semantik juga dapat terjadi dalam komunitas tutur yang sama. Perbedaan ini disebabkan adanya komunitas wacana yang berbeda. Jadi, perbedaan dalam bahasa bukan hanya perbedaan tanda itu sendiri, tetapi juga dalam makna semantik yang dihubungkan dengan pengkodean yang berbeda oleh komunitas pemakai bahasa tersebut.

Sebagai tanda, sebuah kata terhubung dengan kata-kata lainnya sehingga menjadi sebuah teks yang bernilai (ko-teks). Hubungan ini disebut dengan perangkat kohesif. Selain itu, lingkungan linguistik lain dengan kata-kata yang membawa makna semantik kebudayaan terdiri dari linguistik metafora yang merupakan akumulasi dari seluruh pengetahuan semantik sebuah komunitas. Dengan demikian tanda sesungguh adalah diciptakan, tidak diterima begitu saja, dan dikombinasikan dengan tanda-tanda lainnya untuk membentuk pola kebudayaan makna. Tanda-tanda linguistik tidak dibentuk dengan kehampaan sosial, melainkan termotivasi. Misalnya, kata-kata seperti ‘demokrasi’, ‘kebebasan’, ‘pilihan’ yang kerap dituturkan oleh politisi dan diplomat pada tahap selanjutnya akan menjadi simbol politik di negara-negara Barat. 




Kramsch, Claire. 1998. Language and Culuture. New York: Oxford University Press.

Makna dalam Bentuk Linguistik

Metode analisis formal linguistik merupakan metode analisis linguistik yang tidak menyertakan faktor-faktor nonlinguistik dalam analisisnya. Analisis dipusatkan pada faktor-faktor linguistiknya saja, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Fokus kajiannya adalah apa yang logis dan semantis atau makna referensial dan denotasional.
Analisis linguistik muncul dari ide bahwa makna adalah berdasarkan jenis hubungan dari tanda-tanda. Menurut strukturalisme, tanda dapat diketahui maknanya berdasarkan dua cara, yaitu dengan secara temporer atau spasial dihubungkan dengan elemen lainnya dan dengan mengetahui oposisi dari elemen yang mungkin dimilikinya. Konsep makna sebagai hubungan dengan tanda lainnya (in presentia dan in absentia) baru muncul pada era Jakobcon dan Barthes, para ahli semiotik.
Kemampuan manusia untuk memproduksi dan memahami bahasa merupakan kombinasi dari faktor fisiologis, neural, kognitif, dan kontekstual. Fonem yang berdiri sendiri tidak memiliki makna. Ia akan memiliki makna ketika ia terangkai menjadi sebuah bentuk  bahasa. Fonem-fonem yang terangkai selanjutnya dapat menjadi morfem, sebagai satuan terkecil dari bentuk bahasa di atas fonem. Di dalam morfologi terdapat dua istilah, yaitu morfologi nominal dan morfologi verbal. Interaksi morfem membentuk klausa. Klausa dibagi menjadi dua, yaitu klausa transitif dan klausa intransitif yang dibedakan dengan ada-tidaknya objek. Klausa kemudian membantuk kalimat yang secara umum sama pengertian dan jenisnya sama dengan klausa. Perbedaan klausa dengan kalimat terletak pada ada-tidaknya intonasi final. Tataran yang lebih tinggi dari kalimat adalah wacana yang sejatinya merupakan korelasi antarkalimat.

Bentuk bahasa yang selanjutnya adalah metalinguistik. Istilah metalinguistik diciptakan oleh Jakobson untuk menyebut bahasa yang digunakan sebagai alat untuk mendeskripsikan dan menganalisis bahasa. Metaliguistik didasarkan pada intuisi penutur asli suatu bahasa dalam menjelaskan bagaimana suatu bentuk bahasa bekerja. Bentuk bahasa yang terakhir adalah simbol, indeks, dan icon. Ikon adalah sebuah tanda yang menunjukkan atau menggambarkan objek atau referen yang diwakili, hubungannya berdasarkan kemiripan. Yang termasuk ke dalam ikon adalah gambar dan onomatope. Bahasa juga memiliki indeks yang terlihat dari istilah deiksis atau kata tunjuk dan shifters seperti saya, kamu, sekarang, kemarin, yang apabila digunakan oleh orang yang berbeda, di tempat dan waktu yang berbeda maka maknanya bergeser. Yang terakhir adalah simbol. Simbol merupakan efek pragmatik dari ekspresi bahasa yang bersifat konvensional.



Duranti, Alessandro. 2000. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. 

Bahasa sebagai Sistem Tanda

Menurut Saussure, bahasa bukanlah sekadar sebuah sistem penamaan atau nomenklatur, tetapi bahasa terdiri dari dua entitas yang disatukan dalam hubungan sosial.  Artinya, sebuah tanda bisa menyertakan dua benda, yaitu sebuah bunyi-bunyi dan sebuah konsep. Sebuah tanda adalah kesatuan dari keduanya. Kedua hal inilah yang disebut sebagai penanda (signifier) dan petanda (signified).  Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer.
Meski hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer, hal ini tidak berlaku dalam onomatope atau peniruan bunyi. Menurut Saussure onomatope merupakan evolusi dari morfologi dan fonologi, yaitu dengan membentuk kata dengan meniru bunyi natural suatu entitas. Ia juga memberi batasan kearbitreran sebuah tanda linguistik pada sistem bahasa karena ketika sudah masuk dalam sistem atau struktur bahasa, sebuah tanda bisa saja tidak sepenuhnya arbitrer, melainkan juga termotivasi.
Sejatinya, penanda (signifier) merupakan gambaran bunyi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ujaran. Selanjutnya, bahasa menjadi sebuah sistem linear karena kata-kata disusun secara bersamaan yang membentuk hubungan secara sintagmatik dan kata-kata, di luar wacana, memperoleh relasi dari jenis yang berbeda yang memiliki kesamaan yang dapat diasosiasikan dalam ingatan kita membentuk hubungan paradigmatik. Saussure juga mengungkapkan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh faktor historis atau waktu. Oleh karena itu, Saussure mengemukakan istilah telaah sinkornik dan diakronik dalam bahasa.

Bahasa tidak diciptakan, tetapi diwariskan oleh orang-orang sebelumnya. Bahasa adalah sesuatu yang stabil karena sebuah bahasa tidak dapat berubah hanya karena keinginan seseorang. Ada beberapa faktor yang membuat bahasa tetap stabil, yaitu: bahasa bersifat arbitrer, tidak ada dasar rasional untuk membahas apakah bahasa perlu diubah atau tidak; adanya keserbaragaman tanda karena tanda linguistik tidak terhitung jumlahnya sehingga akan sulit mengubahnya; bahasa adalah sebuah sistem yang hanya dipahami oleh spesialis, membuat masyarakat banyak, yang tidak menyadari bahasa, tidak dapat mengubahnya; dan semua orang berpartisipasi dalam penggunaan bahasa setiap waktu oleh karenanya bahasa sulit berubah. Meski begitu, bahasa tetaplah berubah. Karena sifat arbitrertnya, maka sangat memungkinkan terjadi perubahan bentuk tanda yang juga berimplikasi pada perubahan makna.


Holdcroft, David. 1991. Saussure: Signs, Systems, and Arbitrariness. Cambridge: Cambridge University Press.

Analisis Teori Relevansi pada Tayangan Mata Najwa 23 Maret 2017


Berikut transkripsi percakapan Najwa Shibab dengan Anies Baswedan.
Najwa :  Dan Anda mengajak mereka memilih nomor 3? Jadi, Anda mengharapkan dukungan FPI?
Anies   :  Di semua tempat yang saya kunjungi saya adalah seorang kandidat. Di manapun. Di tempat ini pun saya akan mengatakan kalau Anda punya pilihan, pilihlah nomor 3! Itu kan kampanye! Jadi, artinya di mana saja......
Najwa :  Mas Anies, apakah kemudian, yang jelas kita tahu FPI sikap politiknya jelas, gurbernur Jakarta harus orang Islam, Anda sependapat dengan sikap politik itu?
Anies   :  Itu adalah pandangan yang disampaikan dan saya sebagai seorang calon menawarkannya program. Jadi, ini bukan pandangan saya pribadi. Ini soal bagaimana Jakarta, gurbernurnya siapapun, dia harus bisa mengayomi semuanya dan diayomi semuanya itu artinya seorang gurbernur bisa berdialog juga. Malah justru berbahaya kalau seorang gurbernur mengatakan saya tidak mau dengan organisasi ini, saya tidak mau dengan organisasi ini. Lalu, dengan siapa dia mau?
Percakapan di atas sekilas seperti tidak memiliki relevansi jika hanya dilihat dari sturkturnya. Namun, percakapan di atas bila dilihat dari sudt pandang pragmatik merupakan percakpan yang memliki relevansi yang kuat. Yang membuatnya relevan antara lain adanya konteks, perluasan kognisi, dan implikatur dalam percakapan.  Pada tayangan tersebut, percakapan di atas didahului dengan tayangan gambar-gambar Anies sedang bertemu dengan Rizieq Shihab. Konteks yang pertama dibangun adalah siapa itu Rizieq Shihab. Baik adressor maupun adrressee sama-sama memiliki pengetahuan tentang siapa Rizieq Shihab, yaitu ketua FPI.
Ketidakbersediaan (unwillingness) addressor terhadap pertanyaan Jadi, Anda mengharapkan dukungan FPI? secara langsung ditandai dengan kalimat Di semua tempat yang saya kunjungi saya adalah seorang kandidat. Relevansi dibangun melalui implikatur jawaban bahwa sebenarnya addressor memang mengharapkan dukungan FPI. Namun, hal ini dapat dibuktikan pada kalimat adrressor selanjutnya, yaitu Di tempat ini pun saya akan mengatakan kalau Anda punya pilihan, pilihlah nomor 3!.
Selain itu, adressor dan addressee juga memiliki pengetahuan yang sama mengenai ideologi politik FPI. Namun, addressee kemudian mengkonfirmasi addressor dengan kalimat, “gurbernur Jakarta harus orang Islam, Anda sependapat dengan sikap politik itu?”. Jawaban atas pertanyaan ini disampaikan melalui implikatur kuat, yaitu dengan tuturan   Itu adalah pandangan yang disampaikan dan saya sebagai seorang calon menawarkannya program. Ada dua proposisi dalam tuturan ini. Yang pertama “itu adalah pandangan yang disampaikan” dan yang kedua adalah “saya sebagai seorang calon menawarkannya program”. Kedua proposisi ini secara sintaktik dihubungkan dengan kata hubung dan yang memiliki makna kesetaraaan. Oleh karena itu, dapat dilihat bagaimana adrressor tidak ingin menjawab pertanyaan addresse secara langsung dengan jawaban iya atau tidak, tetapi dengan mengulangi kemiripan pertanyaan addressee: sikap politik itu = pandangan yang disampaikan. Meski secara sintaktik proposisi pertama ini dihubungkan dengan kata ‘dan’ yang berfungsi sebagai kesertaaan, namun secara pragmatik kata ‘dan’ ini berfungsi sebagai akibat. Ini dibuktikan dengan tuturan yang berelevansi dengan pandangan atau sikap politik FPI, yaitu saya sebagai seorang calon menawarkannya program. Dengan tuturan ini addressor mencoba mengaitkan sikap politik FPI dengan program yang sudah direncanakannya. Inferensinya adalah addressor melakukan bargaining terhadap FPI.
Perluasan kognisi terjadi pada tuturan adrressor pada saat menjelaskan mengenai bagaimana pemimpin ideal bagi Jakarta. Tuturan Jakarta, gurbernurnya siapapun, dia harus bisa mengayomi semuanya jika dikaitkan dengan konteks yang lebih luas atau konteks sosial, tuturan ini dapat dikatakan sebagai satir terhadap pemerintahan pada saat itu. Tuturan berikutnya menguatkan satir tersebut, Malah justru berbahaya kalau seorang gurbernur mengatakan saya tidak mau dengan organisasi ini, saya tidak mau dengan organisasi ini. Kekuatan satir ini ditandai salah satunya dengan respon audiens atau penonton di studio terhadap tuturan. Respon ini juga menunjukkan bahwa perluasan kognisi tidak hanya terjadi antara Anies dan Najwa, tetapi juga pada penonton di studio dan mungkin penonton di rumah. Dengan perluasan kognisi, maka gurbernur yang dimaksud dalam tuturan tersebut adalah Ahok yang saat itu masih menjabat sebagai gurbernur DKI Jakarta. Ahok merupakan gurbernur yang kontroversial karena caranya dalam mengemukakan pendapat apabila ia tidak suka dengan sesuatu hal. Cara berbicaranya yang seperti inilah yang dimaksud dalam proposisi saya tidak mau dengan organisasi ini, saya tidak mau dengan organisasi ini.




Selasa, 31 Maret 2015

Senjata Kudhi, Artefak dari Banyumas

Kabupaten Banyumas sebagai salah satu daerah di Jawa Tengah memiliki folklor berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah Yogyakarta dan Surakarta yang selama ini menjadi daerah-daerah pusat kebudayaan di Jawa Tengah. Kekhasan folklor dari daerah ini sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dipahami karena kekhasan tersebut sebenarnya merupakan proyeksi dari masyarakat Banyumas dengan watak cablaka-nya. Filosofi cablaka ini hampir tersimbolkan dari semua folklor yang ada di daerah Banyumas, baik dari folklor lisan, folklor sebagian lisan, maupun folklor bukan lisan. Namun meskipun demikian, pada kenyataannya genearsi muda di daerah Banyumas banyak yang tidak mengetahui folklor-foklor yang menjadi ikon daerah ini. Lalu, apa salah satu folklor yang menjadi ikon Banyumas sekaligus merupakan proyeksi dari watak cablaka orang Banyumas tersebut?
Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia, setiap daerah, kelompok, etnis, suku, bangsa, golongan agama masing-masing telah mengembangkan folklornya sendiri-sendiri sehingga di Indonesia terdapat aneka ragam folklor. Folklor ialah kebudayaan manusia yang secara kolektif diwariskan secara turun-temurun, baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat.
Kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang telah mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu, yang paling penting adalah bahwa mereka memiliki kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Jan Harold Brunvand, membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
a.         Folklor Lisan
Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis; ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran; pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki; sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair; cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; nyanyian rakyat.
b.      Folklor sebagian lisan
Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi kepercayaan dan takhayul; permainan dan hiburan rakyat setempat; teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk; tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng; adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan; upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten; pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.
c.       Folklor bukan lisan
Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi arsitektur bangunan rumah yang tradisional; seni kerajinan tangan tradisional, pakaian tradisional; obat-obatan rakyat; alat-alat musik tradisional; peralatan dan senjata yang khas tradisional; makanan dan minuman khas daerah.
            Senjata kudhi sebagai salah satu ikon Banyumas sekaligus proyeksi watak masyarakat orang Banyumas yang cablaka dapat digolongkan ke dalam folklor bukan lisan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya tugu selamat datang berbentuk kudhi kotak di beberapa daerah di Banyumas, antara lain di Tambak sebagai perbatasan dari arah Kabupaten Kebumen, di Lumbir sebagai perbatasan dengan Kabupaten Cilacap dari arah barat, di Kecamatan Pekuncen sebagai perbatasan dengan Bumiayu, dan di Somagede sebagai perbatasan dengan kabupaten Banjarnegara.
            Menurut mantan Humas Pemkab Ahmad Supartono, bentuk tugu diadopsi dari kudhi karena senjata itu mampu menyimbolkan jati diri khas wong Banyumas. Bentuk kudhi ditransformasikan ke bentuk dasar kotak sebagai simbol kekinian dan modernitas masyarakat Banyumas.
      
Kudhi Senjata Adopsi dari Tlatah Banyumas sebagai Ikon dan Proyeksi dari “Wong Banyumas”
            Kudhi adalah senjata yang sering dipergunakan ma­syarakat Banyumas dalam kehidupan sehari-hari sebagai peralatan yang digunakan untuk membelah atau memotong benda keras seperti kayu atau bambu, sama fungsinya seperti parang atau bendho (golok). Kudhi hanya memiliki satu sisi tajam, berbentuk agak melengkung menyerupai kujang dari Jawa Barat namun lebih panjang dan besar. Bagian pangkalnya meng­gem­bung, bagian atasnya me­lengkung agak kotak dan di pucuknya membentuk seperti paruh burung berbentuk lancip. Di sisi belakang dekat punggung terdapat lubang. Namun pada perkembangannya, lubang itu kini jarang ditemukan. Bentuk yang unik itu di­se­suaikan dengan fungsinya. Bagian gemuk berfungsi untuk memotong dan membelah kayu atau batang bambu. Fungsi lekukan itu untuk menghaluskan kayu atau bambu yang dibelah tadi. Ujungnya yang lancip digunakan untuk mencukil atau membuat lubang.
      
Gambar 1: Kudhi
            Menurut salah satu pengoleksi Kudhi adalah Raden Tumenggung (RT) Noerring W. Doyo Dipuro yang juga pemilik Padepokan Jolo Sutro Banjarnegara. Menurut Noerring, dirinya mendapatkan Kudhi Banyumasan secara kebetulan dari Desa Gumelem, Kecamatan Susukan, Banjarnegara. Kudhi tersebut umurnya cukup tua, karena dibuat pada zaman Kerajaan Mataram. Kudhi memang memiliki karakteristik bentuk tersendiri. Namun kalau dilihat dari bentuknya, kudhi sangat dipengaruhi oleh Kujang atau kudhi Kukilo yang dibuat pada zaman Kerajaan Padjajaran. Namun, kalau kudhi Banyumasan lebih melengkung dan itu dibuat ketika zaman Kerajaan Mataram. Pada zaman itu wilayah Banyumasan atau Jateng bagian barat masih dalam daerah kekuasaan Mataram.
Gambar 2: Kudhi peninggalan zaman Mataram


Dahulu kudhi biasa dipakai oleh warga Banyumas zaman dulu sebagai alat pertanian. Di sisi lain, para kestaria atau pejabat di wilayah Jateng bagian barat menggunakannya sebagai senjata. Bahkan diyakini kalau lubang-lubang yang ada di senjata Kudhi merupakan tanda kepangkatan.
Kudhi merupakan curiga atau senjata pangandel atau senjata pegangan dari tokoh Bawor. Kudhi memiliki beberapa bagian, yaitu bagian ujung, perut, karah serta gagang. Bagian-bagian tersebut tidak hanya berfungsi sebagai alat pemotong semata, namun merupakan cermin dari karakter orang Banyumas yang sesungguhnya. Bagian ujung yang sama dengan senjata-senjata lain pada umumnya memiliki arti nilai egaliterian yang dijunjung oleh masyarakat Banyumas terhadap segala bentuk budaya lainnya. Bagian perut yang menggembung menunjukan bahwa manusia hidup tidak hanya untuk memenuhi nafsu belaka namun ada hal yang lebih penting yaitu berusaha dan bekerja. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan perut kudhi sangat besar untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang berat-berat seperti membelah atau memotong obyek yang besar. Selain itu ada filosofis mengenai makna perut bagi orang Banyumas, yaitu perut dapat sebagai sumber fitnah. Saat perut manusia lapar, maka manusia akan dapat memakan sesamanya. Artinya, manusia dapat melakukan tindak kriminal, tindakan yang tercela demi dapat memenuhi kebutuhannya akan pangan. Namun di saat perut terlalu kenyang pun manusia dapat berbuat maksiat, seperti membuang energi yang dihasilkan makanan yang dimakannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menjurus pada syahwat. Orang Banyumas sangat menuntut agar manusia dapat sebaik-baiknya memanajemen nafsu (yang sering dikaitkan dengan keadaan perut lapar atau kenyang). Karah menyimbolkan bahwa penampilan atau materi tidak bisa dijadikan sebagai acuan baik buruknya sifat seseorang. Hal ini ditunjukkan dari kenyataan bahwa tidak semua karah yang bagus dan berukir akan memiliki perut dan ujung yang tajam atau baik. Sedangkan gagang merupakan simbol bahwa orang Banyumas di dalam menyikapi hidup harus punya keyakinan yang jelas.
Kudhi sebagai cermin masyarakat Banyumas. Hal ini terdapat pada ungkapan kudhi ilang karo karahe. Artinya sesuatu yang hilang pasti akan kembali pada pemiliknya. Ungkapan ini memiliki nilai historis yang berkaitan dengan sejarah pindahnya R. Adipati Mertadireja III dari Purwokerto ke Banyumas. Pada saat itu Kabupaten Purwokerto dan Banyumas masing-masing berdiri sendiri. Kemudian pada tahun 1878 Residen Banyumas C. De Mooenburgh, berselisih dengan Bupati Banyumas R.M.T. Tjakranegara II. Karena perselisihan itulah maka Bupati Banyumas mengundurkan diri. Akhirnya R. Adipati Mertadireja III, Bupati Purwokerto pindah menjadi Bupati Banyumas. Di sini dijelaskan juga bahwa kudhi merupakan simbol dari jabatan residen sedangkan karah adalah jabatan bupati.
Sebagai alat bekerja maka kudhi memerlukan tempat yang tidak menganggu lancarnya pekerjaan seseorang. Oleh karena itu, ada tempat untuk meletakan kudhi secara khusus. Tempat ini biasa disebut dengan kethoprak atau korakan atau thakolak. Kethoprak ini biasanya digantung di belakang pada ikat pinggang. Sehingga jika orang yang memakainya berjalan maka akan terdengar suara yang khas seakan-akan berbunyi "korak-korak". Inilah bentuk kejujuran, keberanian dan sportivitas orang Banyumas sebagai tanda bila ia sedang membawa senjata. Tidak seperti orang membawa senjata lainnya, seperti keris atau belati, yang selalu diselipkan atau disembunyikan dibalik bajunya, untuk kemudian ditikamkan ke orang lain.
Gambar 3: Kudhi beserta korakannya

Kudhi dan Islam
Asal muasal kudhi menurut mitos hampir sama dengan penciptaan wayang kulit oleh para wali. Wayang kulit merupakan kreasi dari para wali penyebar Agama Islam. Karena sepintas lekuk bentuk perut kudhi mirip dengan bentuk Kata Allah, maka kudhi identik dengan perkembangan Islam di Banyumas Hal yang sama juga terdapat pada bentuk muka dan tangan serta kaki wayang-wayang Pandawa (M.Koderi:1991).
Hingga kini, tiada satu pun teks sejarah yang menuturkan ikhwal mula penciptaan kudhi. Kepercayaan paling populer mengaitkannya dengan tempat asal mula pembuatan kudhi, yaitu Desa Pasir. Wilayah yang sebelum tahun 1946 masih berstatus daerah "perdikan" atau daerah yang dimerdekakan itu menjadi pusat penyebaran agama Islam. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kudhi dalam arti lain sebagai lambang, atau simbol-simbol makna religius. Menurut mantan Humas Pemkab Ahmad Supartono, kudhi terbagi menjadi bagian ujung yang lempang, perut membuncit, karah dan gagang. Bentuk itu jika disatukan menyerupai tulisan "Allah". Artinya, ketika memakai senjata itu, masyarakat diminta tetap ingat kepada Allah.
Kudhi juga memiliki filosofi yang lain seperti kudhi pacul sungan landepa. Kudhi dan cangkul adalah alat untuk bekerja. Maksudnya ialah dalam mencapai suatu tujuan atau mencari pekerjaan tidak dengan melakukan hal-hal yang menyimpang.

 Simpulan
            Kudhi merupakan senjata khas Banyumas yang menjadi cerminan atau proyeksi orang Banyumas, meskipun kudhi sendiri bukan senjata yang benar-benar asli Banyumas tetapi sudah terkenal menjadi ikon Banyumas. Salah satu buktinya adalah adanya tokoh Bawor sebagai ikon Banyumas yang memakai kudhi sebagai senjata pangandelnya.
            Filosofi kudhi tidak hanya dikaitkan dengan bentuk kudhi yang diyakini sebagai simbol religius Islami, tetapi juga dikaitkan dengan bagian perut kudhi yang sangat mirip dengan bentuk perut manusia dan suara-suara yang dihasilkan ketika orang membawa kudhi yang bersarung korakannya. Namun, semua perlambang itu meskipun berbeda, keduanya mengandung nilai-nilai kebaikan dan ajaran moral.



 Referensi 
Augustrush15. 2010. Folklor Indonesia. <http://augustrush15.wordpress.com/
2010/08/11/folklor-indonesia>
Koderi, M. 1991. Banyumas, Wisata dan Budaya. Purwokerto: Penerbit Metro.

Poerwasoeprojo, R. 1932. Babad Banyumas. Purwokerto: De Boer.