Bahasa bermakna melalui
dua cara yang fundamental, yaitu melalui apa yang dikatakan atau apa yang
ditunjuk sebagai tanda yang dikodekan (semantik) dan melalui apa yang dilakukan
sebagai tindakan dalam sebuah konteks (pragmatik). Setiap praktik pemaknaan
melibatkan dua elemen, yaitu penanda dan petanda. Hubungan antara penanda dan
petanda bersifat arbitrer atau manasuka. Oleh karena itu di dalam hubungan ini
tidak memiliki korespondensi yang benar-benar sempurna (asimetris).
Makna tanda dibedakan
menjadi tiga, yaitu denotatif, konotatif, dan ikonik. Makna denotatif dapat
dikatakan merupakan makna yang mendefiniskan realitas atau makna yang sesuai
dengan kamus, makna konotatif merupakan makna yang memliki berbagai asosiasi
yang dibangun oleh pikiran manusia, sedangkan ikonik merupakan makna yang dapat
menggambarkan objeknya. Ketiga makna ini berhubungan dengan wacana yang
diberikan oleh suatu masyarakat mengkodekan pengalamannya.
Dalam mengkodekan
pengalaman-pengalaman yang berbeda dalam asosiasi kebudayaan dibangun dari
tanda linguistik yang berbeda pula. Studi jaringan semantik pada penutur
bilingual membuat asosiasi-asosiasi dalam kebahasaan ini lebih terlihat karena
perbedaan kosakata dan kemiripan konsep antara bahasa pertama dengan bahasa
keduanya. Namun, perbedaan nilai semantik juga dapat terjadi dalam komunitas
tutur yang sama. Perbedaan ini disebabkan adanya komunitas wacana yang berbeda.
Jadi, perbedaan dalam bahasa bukan hanya perbedaan tanda itu sendiri, tetapi
juga dalam makna semantik yang dihubungkan dengan pengkodean yang berbeda oleh
komunitas pemakai bahasa tersebut.
Sebagai tanda, sebuah
kata terhubung dengan kata-kata lainnya sehingga menjadi sebuah teks yang
bernilai (ko-teks). Hubungan ini disebut dengan perangkat kohesif. Selain itu,
lingkungan linguistik lain dengan kata-kata yang membawa makna semantik
kebudayaan terdiri dari linguistik metafora yang merupakan akumulasi dari
seluruh pengetahuan semantik sebuah komunitas. Dengan demikian tanda sesungguh
adalah diciptakan, tidak diterima begitu saja, dan dikombinasikan dengan
tanda-tanda lainnya untuk membentuk pola kebudayaan makna. Tanda-tanda
linguistik tidak dibentuk dengan kehampaan sosial, melainkan termotivasi.
Misalnya, kata-kata seperti ‘demokrasi’, ‘kebebasan’, ‘pilihan’ yang kerap
dituturkan oleh politisi dan diplomat pada tahap selanjutnya akan menjadi
simbol politik di negara-negara Barat.
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culuture. New York: Oxford
University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar