Minggu, 29 Oktober 2017

PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI BAHASA DARI DAN UNTUK MASYARAKAT: STUDI KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA PADA GRUP WHATSAPP

(*makalah ini telah dipresentasikan dalam Seminar SETALI UPI 2017)


PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi begitu cepat dalam satu dasawarsa terakhir ini. Dalam bidang telekomunikasi, misalnya, berbagai inovasi mulai dari telegram, faksimile, telepon genggam, hingga ponsel pintar dengan bermacam aplikasi di dalamnya merupakan bukti bahwa teknologi di bidang komunikasi mengalami kemajuan yang pesat. Dari berbagai aplikasi yang terdapat pada ponsel pintar, WhatsApp (WA) adalah aplikasi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan kepraktisannya. WA tidak hanya memiliki fitur percakapan antarpribadi, tetapi juga percakapan dalam grup, seperti grup organisasi, grup hobi, grup alumni, dan sebagainya. Dengan kemudahan inilah, pada perkembangannya WA juga dimanfaatkan sebagai salah satu tempat diskusi ruang maya yang dapat menjangkau seluruh kalangan dengan berbagai latar belakang anggota grup.
Dalam berkomunikasi, yang perlu diperhatikan oleh manusia bukan hanya informasi atau maksud yang hendak disampaikan, tetapi juga cara penyampaiannya. Cara ini berperan penting dalam keberhasilan seseorang menyampaikan informasi. Kesantunan merupakan hal paling mendasar dalam terjalinnya komunikasi yang baik, terutama dalam bahasa tulis yang tidak memiliki fitur suprasegmental, seperti jeda dan intonasi, sehingga sangat berpotensi menimbulkan kesalahpahaman antara penutur dan petutur. Begitu pula pada bahasa yang digunakan dalam percakapan grup WA. Selain pemakaian tanda baca yang benar, pemilihan kata-kata pun harus diperhatikan agar antara penutur dan petutur memiliki kesamaan kognisi sehingga pesan dapat tersampaikan dengan baik.
Berbicara penggunaan bahasa berarti juga berbicara mengenai cara berpikir manusia karena bahasa tidak terlepas dari bagaimana kognisi penggunanya, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa adalah jati diri bangsa. Karakter bangsa Indonesia tercermin dari bagaimana penggunaan bahasa di dalam masyarakat. Menurut definisi dalam KBBI IV, karakter berkaitan dengan sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti dan utamanya dibentuk dari lingkungan. Oleh karena pentingnya pembentukan karakter masyarakat, Presiden Jokowi mencanangkan sebuah gerakan yang disebut dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) dengan pendidikan karakter menjadi salah satu program dalam bidang pendidikan.
Dikutip dari revolusimental.go.id, Revolusi Mental merupakan bentuk strategi kebudayaan yang berperan memberi arah bagi tercapainya kemaslahatan hidup berbangsa dan bernegara. Gerakan ini dilatarbelakangi oleh tiga hal, yaitu (1) krisis nilai dan karakter, (2) krisis pemerintahan: pemerintah ada, tetapi tidak hadir, masyarakat menjadi objek pembangunan, dan (3) krisis relasi sosial: gejala toleransi. Integritas, etos kerja, gotong royong, merupakan nilai-nilai strategis dalam Revolusi Mental. Yang menjadi penggerak Revolusi Mental itu sendiri, menurut Presiden Joko Widodo, adalah seluruh bangsa Indonesia. Gerakan ini diharapkan dapat menyebar menjadi gerakan-gerakan masyarakat di tingkat lokal dan komunitas di seluruh Indonesia.
Pendidikan karakter meski menjadi salah satu program di bidang pendidikan, namun pendidikan ini hanya dibicarakan dalam ranah formal dan nonformal. Ranah informal, yaitu kehidupan masyarakat yang sebenarnya kurang menjadi perhatian, padahal karakter manusia lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Berdasarkan latar belakang tersebut, pendidikan karakter yang kini tengah disuarakan pemerintah sejatinya dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Kita sebagai anak bangsa dapat berpartisipasi aktif dalam pendidikan karakter bangsa Indonesia, bukan untuk pemerintah ataupun rezim, melainkan untuk bangsa kita sendiri. Adapun di dalam makalah ini dikaitkan dengan program pemerintah adalah sebagai deskripsi kebijakan pemerintah dengan bahasa sebagai tonggaknya, yaitu bagaimana bahasa memiliki posisi yang sangat strategis dalam implementasi kebijakan.

TEORI DAN METODOLOGI
Kramsch (1998) mengemukakan bahwa bahasa adalah realitas budaya. Dalam konteks komunikasi, bahasa terikat dengan budaya yang banyak dan kompleks. Oleh karena itu, bahasa memiliki posisi yang sangat strategis dalam menilik bagaimana kebudayaan suatu bangsa. Bahasa yang santun dapat mencerminkan jati diri yang baik dari penuturnya dan sebaliknya. Oleh karena itu, manusia memiliki kewajiban dasar dalam menjaga setiap tutur katanya. Hal ini dikarenakan kata-kata adalah tindakan yang dapat berubah menjadi sebuah kebiasaan. Pada tahap selanjutnya, kebiasaan yang berawal dari tindakan bertutur tersebut dapat menjadi budaya dan karakter penuturnya
Sementara itu, Rahyono (2011) mengungkapkan bahwa kemampuan pengendalian diri terhadap nafsu-nafsu, dari waktu-ke waktu, memiliki peran yang menentukan pembentukan karakter manusia. Tuturan-tuturan yang secara produktif digunakan menunjukkan karakter anak bangsa. Media komunikasi merupakan salah satu tempat belajar, yang secara pasif di luar kesadaran, berperan dalam membentuk kerpibadian anak bangsa.
Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills) sebagai manifestasi dari nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Karakter mengandung nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Dengan demikian, karakter yang kuat membentuk individu menjadi pelaku perubahan bagi diri sendiri dan masyarakat sekitarnya (Albertus (2015) dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2016)). Untuk itu diperlukan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat yang merupakan bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Dukungan ini dapat dimulai dengan penataan bahasa dalam berkomunikasi sehingga komunikasi menjadi lebih baik, kesalahpahaman dapat diminimalisasi, dan pada akhirnya kerukunan antarmasyarakat Indonesia dapat terlaksana.
Dari berbagai strategi penataan bahasa, kesantunan merupakan salah satu hal terpenting. Kesantunan menurut Brown dan Levinson (1978) merupakan bagaimana seseorang penutur menjaga muka petuturnya. Artinya, dalam bertutur atau berkomunikasi penutur sedapat mungkin mempertahankan citra positif petuturnya, tidak membuat petuturnya merasa malu, terancam, atau tidak nyaman karena tuturannya  tersebut. Levinson (1978:61) membagi tindak kesantunan ke dalam empat strategi, yaitu dengan tidak berusaha menyinggung wajah pendengar (bald on-record), berusaha membangun hubungan positif antar-pelibat cakap atau menghormati kebutuhan seseorang untuk disukai dan dihargai (positive politeness), membuat permintaan tanpa menyalahi dan menghormati hak seseorang untuk bertindak bebas (negative politeness), dan mengunakan bahasa tidak langsung dan hindari potensi pemaksaan (off-record atau indirect).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik yang digunakan adalah teknik simak bebas libat cakap. Data diambil dari percakapan grup Whatsapp dengan berbagai latar belakang topik. Teks percakapan kemudian dianalisis dengan mengaitkannya pada konteks yang menjadi latar percakapan tersebut. Konteks diambil tidak hanya sewaktu, yaitu saat percakapan berlangsung saja. Namun, konteks diambil dari jangka waktu tertentu. Pengambilan konteks yang jangka waktu yang lebih luas ini ditujukan agar peneliti mendapat gambaran bagaimana kedekatan sosial partisipan-partisipan yang terlibat dalam percakapan.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian yang dilakukan terdapat beberapa temuan yang menunjukkan adanya ketidaksantunan dalam komunikasi di dalam grup WA. Secara garis besar, ketidaksantunan tersebut dapat digeneralisasi menjadi sebagai berikut.
Kalau tidak setuju, silakan left yang dituturkan admin dalam konteks dikusi atau pembicaraan yang didalamnya terdapat dua atau lebih pandangan yang berbeda merupakan kalimat yang mengindikasikan adanya keotoriteran admin dalam menjalankan grupnya. Jika dikaitkan dengan strategi kesantunan Levinson, maka kalimat ini tentu melanggar keempat strategi kesantunan, yaitu tidak membangun hubungan positif dengan petutur, tidak menghormati kebutuhan orang lain untuk dihargai dan berpendapat. Tuturan ini juga berpotensi menyinggung petutur karena pendapatnya tidak dihargai dan menimbulkan daya paksa terhadap petutur tersebut keluar dari grup karena secara tidak langsung kehadiran petutur di dalam grup tersebut tidak penting.
Selain itu, di dalam percakapan dalam grup WA juga sering terjadi perisakan yang tidak disadari. Ketika ada dua orang yang berbeda pendapat dan salah satu di antara mereka adalah orang yang punya wewenang lebih, seperti admin, pemilik  atau bahkan narasumber grup, maka pembelaan cenderung kepada yang memiliki wewenang tersebut. Padahal belum tentu orang yang memiliki wewenang tersebut benar pada saat itu, sedang orang yang berbeda pendapatnya dengan si pemilik wewenang itu salah atau hanya sekadar memberi masukan. Namun, anggota lainnya tidak mengambil sikap menengahi atau setidaknya mengganti topik pembicaraan yang lain yang kiranya dapat meredakan suasana panas di dalam grup. Anggota lainnya, justru menambah percakapan dengan mendukung pihak yang memiliki wewenang meskipun percakapan itu sebenarnya sudah selesai beberapa waktu lalu (dalam hitungan jam, misalnya). Tanpa disadari tuturan-tuturan tersebut telah menyalahi pihak yang bertanya atau memberi masukan yang tidak sejalan dengan pernyataan admin atau narasumber.
Berkebalikan dengan tanggapan yang berlebihan, tidak adanya tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan salah satu anggota juga merupakan tindak ketidaksantunan menurut Levinson. Hal ini dikarenakan penutur atau anggota yang bertanya tersebut dianggap seperti tidak ada atau tidak menjadi bagian dari grup tersebut. Oleh karena itu, tidak adanya tanggapan sama sekali dari anggota lainnya di dalam grup mengakibatkan wajah negatif penutur atau penanya. Kebutuhan orang lain untuk dihargai diabaikan begitu saja.
Anggota yang aktif cuma segini, nih? Yang lainnya hantu. Kalimat ini dapat bermakna candaan, tetapi dapat pula sebagai bentuk agresi. Kalimat ini berkaitan dengan latar konteks yang lebih luas dan khusus, yaitu pada bagaimana percakapan sehari-hari di dalam grup terjadi, maka kalimat ini dapat dikategorikan ke dalam kalimat yang tidak santun. Ketika sebuah grup dengan ratusan anggota, namun hanya orang-orang tertentu saja yang terlibat dalam percakapan, terlebih orang-orang tersebut adalah memang orang-orang yang memiliki kedekatan di dalam dunia nyata, maka dapat dikatakan telah terjadi forum dalam forum. Adanya perbedaan respon antara orang dalam lingkaran dengan luar lingkaran tersebut cukup menandakan bahwa adanya keengganan dan ketidakadilan tanggapan. Kasus ini sama seperti kasus-kasus sebelumnya, yaitu pelanggaran terhadap kesantunan positif (positive politeness) yang mengakibatkan menyinggung perasaan penutur.
Masalah SARA merupakan masalah yang sangat sensitif, baik di dalam dunia nyata mapun maya. Terlebih jika pembicaraan mengenai SARA itu didasarkan hanya pada asumsi-asumsi atau stereotipe yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Perbedaan adalah sesuatu yang harus dihargai. Mengingat Indonesia merupakan bangsa dengan penuh keberagaman, maka tidak sepatutnya keberagaman itu sendiri menjadi hal yang membuat bangsa menjadi terpecah belah hanya karena tuturan yang tidak tepat konteks.
Pendidikan sejatinya tidak hanya dari lingkungan formal, seperti sekolah atau intitusi pendidikan, melainkan juga dari masyarakat. Hal inilah yang luput dari program pendidikan karakter dalam gerakan Revolusi Mental. Ketidakterukuran menjadi salah satu kendalanya. Namun, bukan tidak mungkin pendidikan karakter di masyarakat justru menjadi salah satu ranah yang paling banyak berpengaruh terhadap karakter anak bangsa. Dilihat dari segi waktu yang dihabiskan seseorang dalam menjalani kehidupan, waktu pendidikan intitusi pendidikan formal tidaklah lebih lama dari pendidikan yang diterima oleh seseorang melalui lingkungannya.
Untuk itulah, langkah paling awal sekaligus paling sederhana yang dapat dilakukan adalah pembenahan bahasa, bagaimana cara berkomunikasi agar hubungan sosial tetap terjaga dengan baik. Pemilihan kata-kata yang baik, sadar konteks, serta sadar akan kebutuhan orang lain untuk dihargai merupakan kunci komunikasi. Khusus pada bahasa tulis, seperti WA, penggunaan tanda baca dan penggunaan huruf yang tepat (tidak besar-kecil atau besar semua) juga harus diperhatikan. Hal ini dikarenakan WA merupakan sarana komunikasi yang memiliki jangkauan sangat luas, sehingga dampak baik-buruk yang ditimbulkannya pun akan luas pula. Jika bahasa sudah tertata maka tidak menutup kemungkinan cara berpikir kita pun akan tertata. Kesantunan tidak hanya sekadar ucapan, melainkan mengkarakter di dalam setiap individu bangsa Indonesia.
Sesuai dengan apa yang terumus dalam GNRM, khususnya dalam bidang pendidikan karakter, bahwa masyarakat juga memiliki peran dalam membangun karakter bangsa Indonesia yang arif berbudaya. Menjadi role model atau panutan bukanlah sesuatu yang mudah, akan tetapi tidak berarti tidak mungkin. Membangun masyarakat yang berkarakter dan santun dapat dilakukan oleh siapa saja. Tugas ini bukan hanya tanggung jawab para guru dan pendidik di lingkungan formal dan nonformal, tetapi tugas ini merupakan tugas yang kita emban bersama. Pemerintah beserta jajarannya adalah pemimpin dan wakil bangsa Indonesia yang menjadi panutan bagi masyarakatnya. Dapat memberikan contoh yang baik, santun dan berkarakter adalah harapan bagi seluruh bangsa Indonesia.

Simpulan
Berkomunikasi bukanlah menyampaikan informasi semata, melainkan upaya untuk menjalin hubungan sosial di masyarakat. Dalam berkomunikasi yang perlu diperhatikan bukan hanya isi, tetapi juga cara. Dalam bahasa tulis dan ruang maya dengan pelibat tutur yang banyak dan latar belakang yang luas, kesantunan merupakan cara sekaligus prinsip yang paling penting dalam komunikasi yang baik. Bahasa yang santun mencerminkan karakter santun penuturnya. Karakter inilah yang menjadi salah satu target utama pemerintah dalam Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), khususnya dalam bidang pendidikan karakter. Oleh karena itu, implementasi gerakan ini dapat diawali dengan langkah sederhana, yaitu dengan cara menata kesantunan dalam berbahasa. Satu hal yang perlu diingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang luhur dan berbudi pekerti, memiliki nilai-nilai kearifan yang patut dilestarikan.


Daftar Pustaka
Brown, P., Stephen Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Use. Cambridge: Cambridge University Press.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter (diakses pada 16 Juli 2017 pukul 14.00).
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Rahyono, F.X. 2014. “Peran Pragmatik dalam Memaknai dan Membentuk Karakter Bangsa dalam Era Global”. Seminar Internasional Semiotik, Pragmatik, dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 17 Juni 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar