(*makalah ini telah dipresentasikan dalam Seminar SETALI UPI 2017)
PENDAHULUAN
Perkembangan
teknologi begitu cepat dalam satu dasawarsa terakhir ini. Dalam bidang
telekomunikasi, misalnya, berbagai inovasi mulai dari telegram, faksimile,
telepon genggam, hingga ponsel pintar dengan bermacam aplikasi di dalamnya
merupakan bukti bahwa teknologi di bidang komunikasi mengalami kemajuan yang
pesat. Dari berbagai aplikasi yang terdapat pada ponsel pintar, WhatsApp (WA) adalah
aplikasi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan
kepraktisannya. WA tidak hanya memiliki fitur percakapan antarpribadi, tetapi
juga percakapan dalam grup, seperti grup organisasi, grup hobi, grup alumni,
dan sebagainya. Dengan kemudahan inilah, pada perkembangannya WA juga
dimanfaatkan sebagai salah satu tempat diskusi ruang maya yang dapat menjangkau
seluruh kalangan dengan berbagai latar belakang anggota grup.
Dalam berkomunikasi, yang perlu diperhatikan oleh
manusia bukan hanya informasi atau maksud yang hendak disampaikan, tetapi juga
cara penyampaiannya. Cara ini berperan penting dalam keberhasilan seseorang
menyampaikan informasi. Kesantunan merupakan hal paling mendasar dalam
terjalinnya komunikasi yang baik, terutama dalam bahasa tulis yang tidak
memiliki fitur suprasegmental, seperti jeda dan intonasi, sehingga sangat
berpotensi menimbulkan kesalahpahaman antara penutur dan petutur. Begitu pula
pada bahasa yang digunakan dalam percakapan grup WA. Selain pemakaian tanda
baca yang benar, pemilihan kata-kata pun harus diperhatikan agar antara penutur
dan petutur memiliki kesamaan kognisi sehingga pesan dapat tersampaikan dengan
baik.
Berbicara penggunaan bahasa berarti juga
berbicara mengenai cara berpikir manusia karena bahasa tidak terlepas dari bagaimana
kognisi penggunanya, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa adalah jati diri
bangsa. Karakter bangsa Indonesia tercermin dari bagaimana penggunaan bahasa di
dalam masyarakat. Menurut definisi dalam KBBI IV, karakter berkaitan dengan
sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti dan utamanya dibentuk dari
lingkungan. Oleh karena pentingnya pembentukan karakter masyarakat, Presiden Jokowi
mencanangkan sebuah gerakan yang disebut dengan Gerakan Nasional Revolusi
Mental (GNRM) dengan pendidikan karakter menjadi salah satu program dalam
bidang pendidikan.
Dikutip
dari revolusimental.go.id, Revolusi Mental merupakan bentuk strategi kebudayaan
yang berperan memberi arah bagi tercapainya kemaslahatan hidup berbangsa dan
bernegara. Gerakan ini dilatarbelakangi oleh tiga hal, yaitu (1) krisis nilai
dan karakter, (2) krisis pemerintahan: pemerintah ada, tetapi tidak hadir,
masyarakat menjadi objek pembangunan, dan (3) krisis relasi sosial: gejala
toleransi. Integritas, etos kerja, gotong royong, merupakan nilai-nilai
strategis dalam Revolusi Mental. Yang menjadi penggerak Revolusi Mental itu
sendiri, menurut Presiden Joko Widodo, adalah seluruh bangsa Indonesia. Gerakan
ini diharapkan dapat menyebar menjadi gerakan-gerakan masyarakat di tingkat
lokal dan komunitas di seluruh Indonesia.
Pendidikan
karakter meski menjadi salah satu program di bidang pendidikan, namun
pendidikan ini hanya dibicarakan dalam ranah formal dan nonformal. Ranah
informal, yaitu kehidupan masyarakat yang sebenarnya kurang menjadi perhatian,
padahal karakter manusia lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Berdasarkan
latar belakang tersebut, pendidikan karakter yang kini tengah disuarakan
pemerintah sejatinya dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Kita sebagai
anak bangsa dapat berpartisipasi aktif dalam pendidikan karakter bangsa
Indonesia, bukan untuk pemerintah ataupun rezim, melainkan untuk bangsa kita
sendiri. Adapun di dalam makalah ini dikaitkan dengan program pemerintah adalah
sebagai deskripsi kebijakan pemerintah dengan bahasa sebagai tonggaknya, yaitu
bagaimana bahasa memiliki posisi yang sangat strategis dalam implementasi
kebijakan.
TEORI DAN METODOLOGI
Kramsch
(1998) mengemukakan bahwa bahasa adalah realitas budaya. Dalam konteks
komunikasi, bahasa terikat dengan budaya yang banyak dan kompleks. Oleh karena
itu, bahasa memiliki posisi yang sangat strategis dalam menilik bagaimana
kebudayaan suatu bangsa. Bahasa yang santun dapat mencerminkan jati
diri yang baik dari penuturnya dan sebaliknya. Oleh karena itu, manusia
memiliki kewajiban dasar dalam menjaga setiap tutur katanya. Hal ini
dikarenakan kata-kata adalah tindakan yang dapat berubah menjadi sebuah
kebiasaan. Pada tahap selanjutnya, kebiasaan yang berawal dari tindakan
bertutur tersebut dapat menjadi budaya dan karakter penuturnya
Sementara
itu, Rahyono (2011) mengungkapkan bahwa kemampuan pengendalian diri terhadap
nafsu-nafsu, dari waktu-ke waktu, memiliki peran yang menentukan pembentukan
karakter manusia. Tuturan-tuturan yang secara produktif digunakan menunjukkan
karakter anak bangsa. Media komunikasi merupakan salah satu tempat belajar,
yang secara pasif di luar kesadaran, berperan dalam membentuk kerpibadian anak
bangsa.
Karakter
merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengacu pada
serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations),
dan keterampilan (skills) sebagai manifestasi dari nilai, kemampuan,
kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.
Karakter mengandung nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai kebaikan, mau
berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan)
yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Dengan demikian,
karakter yang kuat membentuk individu menjadi pelaku perubahan bagi diri
sendiri dan masyarakat sekitarnya (Albertus (2015) dalam Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (2016)). Untuk itu diperlukan dukungan pelibatan publik dan
kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat yang merupakan bagian dari
Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Dukungan ini dapat dimulai dengan
penataan bahasa dalam berkomunikasi sehingga komunikasi menjadi lebih baik,
kesalahpahaman dapat diminimalisasi, dan pada akhirnya kerukunan
antarmasyarakat Indonesia dapat terlaksana.
Dari berbagai strategi penataan bahasa,
kesantunan merupakan salah satu hal terpenting. Kesantunan menurut Brown dan Levinson
(1978) merupakan bagaimana seseorang penutur menjaga muka petuturnya. Artinya,
dalam bertutur atau berkomunikasi penutur sedapat mungkin mempertahankan citra
positif petuturnya, tidak membuat petuturnya merasa malu, terancam, atau tidak
nyaman karena tuturannya tersebut.
Levinson (1978:61) membagi tindak kesantunan ke dalam empat strategi, yaitu
dengan tidak berusaha menyinggung wajah pendengar (bald on-record), berusaha membangun hubungan positif antar-pelibat
cakap atau menghormati kebutuhan seseorang untuk disukai dan dihargai (positive politeness), membuat permintaan
tanpa menyalahi dan menghormati hak seseorang untuk bertindak bebas (negative politeness), dan mengunakan
bahasa tidak langsung dan hindari potensi pemaksaan (off-record atau indirect).
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik yang
digunakan adalah teknik simak bebas libat cakap. Data diambil dari percakapan
grup Whatsapp dengan berbagai latar belakang topik. Teks percakapan kemudian
dianalisis dengan mengaitkannya pada konteks yang menjadi latar percakapan
tersebut. Konteks diambil tidak hanya sewaktu, yaitu saat percakapan berlangsung
saja. Namun, konteks diambil dari jangka waktu tertentu. Pengambilan konteks
yang jangka waktu yang lebih luas ini ditujukan agar peneliti mendapat gambaran
bagaimana kedekatan sosial partisipan-partisipan yang terlibat dalam
percakapan.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Dari
penelitian yang dilakukan terdapat beberapa temuan yang menunjukkan adanya
ketidaksantunan dalam komunikasi di dalam grup WA. Secara garis besar,
ketidaksantunan tersebut dapat digeneralisasi menjadi sebagai berikut.
Kalau tidak setuju,
silakan left
yang dituturkan admin dalam konteks dikusi atau pembicaraan yang didalamnya
terdapat dua atau lebih pandangan yang berbeda merupakan kalimat yang mengindikasikan adanya keotoriteran admin
dalam menjalankan grupnya. Jika dikaitkan dengan strategi kesantunan Levinson,
maka kalimat ini tentu melanggar keempat strategi kesantunan, yaitu tidak
membangun hubungan positif dengan petutur, tidak menghormati kebutuhan orang
lain untuk dihargai dan berpendapat. Tuturan ini juga berpotensi menyinggung petutur
karena pendapatnya tidak dihargai dan menimbulkan daya paksa terhadap petutur
tersebut keluar dari grup karena secara tidak langsung kehadiran petutur di
dalam grup tersebut tidak penting.
Selain
itu, di dalam percakapan dalam grup WA juga sering terjadi perisakan yang tidak
disadari. Ketika ada dua orang yang berbeda pendapat dan salah satu di antara
mereka adalah orang yang punya wewenang lebih, seperti admin, pemilik atau bahkan narasumber grup, maka pembelaan
cenderung kepada yang memiliki wewenang tersebut. Padahal belum tentu orang
yang memiliki wewenang tersebut benar pada saat itu, sedang orang yang berbeda
pendapatnya dengan si pemilik wewenang itu salah atau hanya sekadar memberi
masukan. Namun, anggota lainnya tidak mengambil sikap menengahi atau setidaknya
mengganti topik pembicaraan yang lain yang kiranya dapat meredakan suasana
panas di dalam grup. Anggota lainnya, justru menambah percakapan dengan
mendukung pihak yang memiliki wewenang meskipun percakapan itu sebenarnya sudah
selesai beberapa waktu lalu (dalam hitungan jam, misalnya). Tanpa disadari
tuturan-tuturan tersebut telah menyalahi pihak yang bertanya atau memberi
masukan yang tidak sejalan dengan pernyataan admin atau narasumber.
Berkebalikan
dengan tanggapan yang berlebihan, tidak adanya tanggapan terhadap pertanyaan
yang diajukan salah satu anggota juga merupakan tindak ketidaksantunan menurut
Levinson. Hal ini dikarenakan penutur atau anggota yang bertanya tersebut
dianggap seperti tidak ada atau tidak menjadi bagian dari grup tersebut. Oleh
karena itu, tidak adanya tanggapan sama sekali dari anggota lainnya di dalam
grup mengakibatkan wajah negatif penutur atau penanya. Kebutuhan orang lain
untuk dihargai diabaikan begitu saja.
Anggota yang aktif
cuma segini, nih? Yang lainnya hantu.
Kalimat ini dapat bermakna candaan, tetapi dapat pula sebagai bentuk agresi.
Kalimat ini berkaitan dengan latar konteks yang lebih luas dan khusus, yaitu pada
bagaimana percakapan sehari-hari di dalam grup terjadi, maka kalimat ini dapat
dikategorikan ke dalam kalimat yang tidak santun. Ketika sebuah grup dengan
ratusan anggota, namun hanya orang-orang tertentu saja yang terlibat dalam
percakapan, terlebih orang-orang tersebut adalah memang orang-orang yang
memiliki kedekatan di dalam dunia nyata, maka dapat dikatakan telah terjadi
forum dalam forum. Adanya perbedaan respon antara orang dalam lingkaran dengan
luar lingkaran tersebut cukup menandakan bahwa adanya keengganan dan
ketidakadilan tanggapan. Kasus ini sama seperti kasus-kasus sebelumnya, yaitu
pelanggaran terhadap kesantunan positif (positive
politeness) yang mengakibatkan menyinggung perasaan penutur.
Masalah
SARA merupakan masalah yang sangat sensitif, baik di dalam dunia nyata mapun
maya. Terlebih jika pembicaraan mengenai SARA itu didasarkan hanya pada
asumsi-asumsi atau stereotipe yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Perbedaan adalah sesuatu yang harus dihargai. Mengingat Indonesia
merupakan bangsa dengan penuh keberagaman, maka tidak sepatutnya keberagaman
itu sendiri menjadi hal yang membuat bangsa menjadi terpecah belah hanya karena
tuturan yang tidak tepat konteks.
Pendidikan
sejatinya tidak hanya dari lingkungan formal, seperti sekolah atau intitusi
pendidikan, melainkan juga dari masyarakat. Hal inilah yang luput dari program
pendidikan karakter dalam gerakan Revolusi Mental. Ketidakterukuran menjadi
salah satu kendalanya. Namun, bukan tidak mungkin pendidikan karakter di
masyarakat justru menjadi salah satu ranah yang paling banyak berpengaruh
terhadap karakter anak bangsa. Dilihat dari segi waktu yang dihabiskan
seseorang dalam menjalani kehidupan, waktu pendidikan intitusi pendidikan
formal tidaklah lebih lama dari pendidikan yang diterima oleh seseorang melalui
lingkungannya.
Untuk
itulah, langkah paling awal sekaligus paling sederhana yang dapat dilakukan
adalah pembenahan bahasa, bagaimana cara berkomunikasi agar hubungan sosial tetap
terjaga dengan baik. Pemilihan kata-kata yang baik, sadar konteks, serta sadar
akan kebutuhan orang lain untuk dihargai merupakan kunci komunikasi. Khusus
pada bahasa tulis, seperti WA, penggunaan tanda baca dan penggunaan huruf yang
tepat (tidak besar-kecil atau besar semua) juga harus diperhatikan. Hal ini
dikarenakan WA merupakan sarana komunikasi yang memiliki jangkauan sangat luas,
sehingga dampak baik-buruk yang ditimbulkannya pun akan luas pula. Jika bahasa
sudah tertata maka tidak menutup kemungkinan cara berpikir kita pun akan
tertata. Kesantunan tidak hanya sekadar ucapan, melainkan mengkarakter di dalam
setiap individu bangsa Indonesia.
Sesuai
dengan apa yang terumus dalam GNRM, khususnya dalam bidang pendidikan karakter,
bahwa masyarakat juga memiliki peran dalam membangun karakter bangsa Indonesia
yang arif berbudaya. Menjadi role model atau panutan bukanlah sesuatu yang
mudah, akan tetapi tidak berarti tidak mungkin. Membangun masyarakat yang
berkarakter dan santun dapat dilakukan oleh siapa saja. Tugas ini bukan hanya
tanggung jawab para guru dan pendidik di lingkungan formal dan nonformal,
tetapi tugas ini merupakan tugas yang kita emban bersama. Pemerintah beserta
jajarannya adalah pemimpin dan wakil bangsa Indonesia yang menjadi panutan bagi
masyarakatnya. Dapat memberikan contoh yang baik, santun dan berkarakter adalah
harapan bagi seluruh bangsa Indonesia.
Simpulan
Berkomunikasi
bukanlah menyampaikan informasi semata, melainkan upaya untuk menjalin hubungan
sosial di masyarakat. Dalam berkomunikasi yang perlu diperhatikan bukan hanya
isi, tetapi juga cara. Dalam bahasa tulis dan ruang maya dengan pelibat tutur
yang banyak dan latar belakang yang luas, kesantunan merupakan cara sekaligus prinsip
yang paling penting dalam komunikasi yang baik. Bahasa yang santun mencerminkan
karakter santun penuturnya. Karakter inilah yang menjadi salah satu target
utama pemerintah dalam Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), khususnya dalam
bidang pendidikan karakter. Oleh karena itu, implementasi gerakan ini dapat
diawali dengan langkah sederhana, yaitu dengan cara menata kesantunan dalam
berbahasa. Satu hal yang perlu diingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang
luhur dan berbudi pekerti, memiliki nilai-nilai kearifan yang patut
dilestarikan.
Daftar Pustaka
Brown,
P., Stephen Levinson. 1987. Politeness:
Some Universals in Language Use. Cambridge: Cambridge University Press.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter (diakses pada 16
Juli 2017 pukul 14.00).
Kramsch,
Claire. 1998. Language and Culture.
Oxford: Oxford University Press.
Rahyono,
F.X. 2014. “Peran Pragmatik dalam Memaknai dan Membentuk Karakter Bangsa dalam
Era Global”. Seminar Internasional Semiotik,
Pragmatik, dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 17 Juni 2014.
http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/8-prinsip-revolusi-mental (diakses pada 16 Juli 2017 pukul
13.13)
http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/siapa-penggerak-revolusi-mental (diakses pada 16 Juli 2017 pukul
13.21)
http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/nilai-nilai-strategis-revolusi-mental (diakses pada 16 Juli 2017 pukul
13.40)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar