Minggu, 29 Oktober 2017

Pilihan

Bagaimana ia tidak jatuh hati pada laki-laki itu. Meski ia bukan sarjana, meski ia bukan PNS, tapi ia cerdas dan berwawasan luas dan pekerja keras. Persis seperti kriteria idaman Mela. Belum lagi akhlak dan ilmu agamanya yang cukup baik. Rasanya, tak ada alasan bagi Mela untuk menolak pinangan laki-laki itu.
                “Nak, pernikahan bukan untuk setahun-dua tahun. Bukan untuk sepuluh-dua puluh tahun. Tapi untuk selama kamu hidup. Agamanya memang bagus, tapi coba kamu pertimbangkan lagi.”
                Mela hanya menunduk. Dalam hatinya ia ingin menjawab, “Aku sudah mempertimbangkannya. Dan aku tidak keberatan dengannya.”
                “Lihat kakak-kakakmu, pada akhirnya ekonomi menyurutkan langkah mereka untuk bersama.” Nampak kekecewaan mendalam dari setiap sudut mata sang ayah. Mela mengerti benar, ayahnya memiliki ketakutan yang begitu besar akan kegagalan yang mungkin bisa lagi berulang pada anak bungsunya. Ketiga kakak perempuannya kembali ke rumah dengan status yang berbeda dengan saat mereka meninggalkan rumah. Pada akhirnya perempuan seperti barang pinjaman yang ketika sudah habis masa kontrak karena tak lagi cocok akan dikembalikan pada orang pertama yang memegangnya. Ayah dan rumah seakan menjadi tempat pengembalian semua kepahitan anak perempuan.
                “Kemarin ayah sempat ngobrol-ngobrol dengan Pak Gun. Dia sedang cari calon untuk anaknya. Kamu sudah kenal kan? Anaknya baik, pintar, sudah mapan. Pak Gun juga sudah kenal kamu. Dia tidak keberatan kalau kamu jadi calon menantunya.”
                Mela tersenyum. Menyembunyikan kepahitan. Ia mengambil laptopnya dan masuk ke kamar, berpura-pura mengerjakan sesuatu. Di tahannya air mata yang seakan ingin membuncah dari kedua bola matanya.


                Di atas sajadah di sepertiga malam terakhir, tetesan demi tetesan mengalir deras dari sudut mata Mela. Selalu, di tempat dan di waktu itulah Mela dapat bercurah dudah atas segala apa yang ada di hatinya.
                “Sesungguhnya hanya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui dan Maha Memberi Petunjuk, maka tunjukkanlah yang terbaik untukku.”
                Masih dengan air mata yang berlinang dan mukena di tubuhnya, Mela mengambil posisi tidur. Malam itu ia terasa begitu melelahkan. Akhir-akhir ini memang waktu yang terasa panjang dan berat untuknya. Bagaimana tidak, saat usianya lebih dari seperempat abad, saat teman-temannya sudah mulai menggendong balita-balita mereka, saat gunjang-gunjing sana-sini tentang dirinya dengan sebutan perawan tua, ia harus menyimpan kekesalan dan kesedihannya seorang diri. Harus tetap dalam sandiwara bahwa semuanya baik-baik saja, padahal tidak hatinya. Hati yang guncang itu bergemuruh, tapi bibirnya harus tetap mengembang senyum.


Akhirnya, hari pernikahan tiba. Dengan pakaian serba putih, Mela begitu cantik. Wajahnya teduh, senyum manis yang tersungging di bibirnya memancarkan aura yang mempesona. Dari tubuhnya tercium aroma mawar yang lembut. Tidak, ini lebih lembut dari aroma mawar biasa. Ini aroma kebahagiaan. Aroma sukacita. Ia tak pernah menyangka bahwa hari ini segera tiba. Secepat ini.
                Di sudut ruang kedua orang tuanya berangkulan menatapnya. Keduanya menangis terisak. Tak disangka bahwa anak bungsunya lebih dulu dipinang oleh malaikat Izrail, sebelum sempat dipinang oleh lelaki pilihan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar