Bagaimana ia tidak jatuh hati pada laki-laki itu. Meski ia bukan
sarjana, meski ia bukan PNS, tapi ia cerdas dan berwawasan luas dan pekerja
keras. Persis seperti kriteria idaman Mela. Belum lagi akhlak dan ilmu agamanya
yang cukup baik. Rasanya, tak ada alasan bagi Mela untuk menolak pinangan
laki-laki itu.
“Nak, pernikahan
bukan untuk setahun-dua tahun. Bukan untuk sepuluh-dua puluh tahun. Tapi untuk
selama kamu hidup. Agamanya memang bagus, tapi coba kamu pertimbangkan lagi.”
Mela hanya
menunduk. Dalam hatinya ia ingin menjawab, “Aku sudah mempertimbangkannya. Dan
aku tidak keberatan dengannya.”
“Lihat
kakak-kakakmu, pada akhirnya ekonomi menyurutkan langkah mereka untuk bersama.”
Nampak kekecewaan mendalam dari setiap sudut mata sang ayah. Mela mengerti
benar, ayahnya memiliki ketakutan yang begitu besar akan kegagalan yang mungkin
bisa lagi berulang pada anak bungsunya. Ketiga kakak perempuannya kembali ke
rumah dengan status yang berbeda dengan saat mereka meninggalkan rumah. Pada
akhirnya perempuan seperti barang pinjaman yang ketika sudah habis masa kontrak
karena tak lagi cocok akan dikembalikan pada orang pertama yang memegangnya.
Ayah dan rumah seakan menjadi tempat pengembalian semua kepahitan anak
perempuan.
“Kemarin ayah
sempat ngobrol-ngobrol dengan Pak Gun. Dia sedang cari calon untuk anaknya.
Kamu sudah kenal kan? Anaknya baik, pintar, sudah mapan. Pak Gun juga sudah
kenal kamu. Dia tidak keberatan kalau kamu jadi calon menantunya.”
Mela tersenyum.
Menyembunyikan kepahitan. Ia mengambil laptopnya dan masuk ke kamar,
berpura-pura mengerjakan sesuatu. Di tahannya air mata yang seakan ingin
membuncah dari kedua bola matanya.
Di atas sajadah
di sepertiga malam terakhir, tetesan demi tetesan mengalir deras dari sudut
mata Mela. Selalu, di tempat dan di waktu itulah Mela dapat bercurah dudah atas
segala apa yang ada di hatinya.
“Sesungguhnya
hanya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui dan Maha Memberi Petunjuk, maka
tunjukkanlah yang terbaik untukku.”
Masih dengan air
mata yang berlinang dan mukena di tubuhnya, Mela mengambil posisi tidur. Malam
itu ia terasa begitu melelahkan. Akhir-akhir ini memang waktu yang terasa
panjang dan berat untuknya. Bagaimana tidak, saat usianya lebih dari seperempat
abad, saat teman-temannya sudah mulai menggendong balita-balita mereka, saat
gunjang-gunjing sana-sini tentang dirinya dengan sebutan perawan tua, ia harus
menyimpan kekesalan dan kesedihannya seorang diri. Harus tetap dalam sandiwara
bahwa semuanya baik-baik saja, padahal tidak hatinya. Hati yang guncang itu
bergemuruh, tapi bibirnya harus tetap mengembang senyum.
Akhirnya, hari pernikahan tiba. Dengan pakaian serba putih, Mela
begitu cantik. Wajahnya teduh, senyum manis yang tersungging di bibirnya
memancarkan aura yang mempesona. Dari tubuhnya tercium aroma mawar yang lembut.
Tidak, ini lebih lembut dari aroma mawar biasa. Ini aroma kebahagiaan. Aroma
sukacita. Ia tak pernah menyangka bahwa hari ini segera tiba. Secepat ini.
Di
sudut ruang kedua orang tuanya berangkulan menatapnya. Keduanya menangis
terisak. Tak disangka bahwa anak bungsunya lebih dulu dipinang oleh malaikat
Izrail, sebelum sempat dipinang oleh lelaki pilihan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar