Selasa, 31 Maret 2015

Senjata Kudhi, Artefak dari Banyumas

Kabupaten Banyumas sebagai salah satu daerah di Jawa Tengah memiliki folklor berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah Yogyakarta dan Surakarta yang selama ini menjadi daerah-daerah pusat kebudayaan di Jawa Tengah. Kekhasan folklor dari daerah ini sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dipahami karena kekhasan tersebut sebenarnya merupakan proyeksi dari masyarakat Banyumas dengan watak cablaka-nya. Filosofi cablaka ini hampir tersimbolkan dari semua folklor yang ada di daerah Banyumas, baik dari folklor lisan, folklor sebagian lisan, maupun folklor bukan lisan. Namun meskipun demikian, pada kenyataannya genearsi muda di daerah Banyumas banyak yang tidak mengetahui folklor-foklor yang menjadi ikon daerah ini. Lalu, apa salah satu folklor yang menjadi ikon Banyumas sekaligus merupakan proyeksi dari watak cablaka orang Banyumas tersebut?
Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia, setiap daerah, kelompok, etnis, suku, bangsa, golongan agama masing-masing telah mengembangkan folklornya sendiri-sendiri sehingga di Indonesia terdapat aneka ragam folklor. Folklor ialah kebudayaan manusia yang secara kolektif diwariskan secara turun-temurun, baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat.
Kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang telah mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu, yang paling penting adalah bahwa mereka memiliki kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Jan Harold Brunvand, membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
a.         Folklor Lisan
Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis; ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran; pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki; sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair; cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; nyanyian rakyat.
b.      Folklor sebagian lisan
Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi kepercayaan dan takhayul; permainan dan hiburan rakyat setempat; teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk; tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng; adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan; upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten; pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.
c.       Folklor bukan lisan
Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi arsitektur bangunan rumah yang tradisional; seni kerajinan tangan tradisional, pakaian tradisional; obat-obatan rakyat; alat-alat musik tradisional; peralatan dan senjata yang khas tradisional; makanan dan minuman khas daerah.
            Senjata kudhi sebagai salah satu ikon Banyumas sekaligus proyeksi watak masyarakat orang Banyumas yang cablaka dapat digolongkan ke dalam folklor bukan lisan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya tugu selamat datang berbentuk kudhi kotak di beberapa daerah di Banyumas, antara lain di Tambak sebagai perbatasan dari arah Kabupaten Kebumen, di Lumbir sebagai perbatasan dengan Kabupaten Cilacap dari arah barat, di Kecamatan Pekuncen sebagai perbatasan dengan Bumiayu, dan di Somagede sebagai perbatasan dengan kabupaten Banjarnegara.
            Menurut mantan Humas Pemkab Ahmad Supartono, bentuk tugu diadopsi dari kudhi karena senjata itu mampu menyimbolkan jati diri khas wong Banyumas. Bentuk kudhi ditransformasikan ke bentuk dasar kotak sebagai simbol kekinian dan modernitas masyarakat Banyumas.
      
Kudhi Senjata Adopsi dari Tlatah Banyumas sebagai Ikon dan Proyeksi dari “Wong Banyumas”
            Kudhi adalah senjata yang sering dipergunakan ma­syarakat Banyumas dalam kehidupan sehari-hari sebagai peralatan yang digunakan untuk membelah atau memotong benda keras seperti kayu atau bambu, sama fungsinya seperti parang atau bendho (golok). Kudhi hanya memiliki satu sisi tajam, berbentuk agak melengkung menyerupai kujang dari Jawa Barat namun lebih panjang dan besar. Bagian pangkalnya meng­gem­bung, bagian atasnya me­lengkung agak kotak dan di pucuknya membentuk seperti paruh burung berbentuk lancip. Di sisi belakang dekat punggung terdapat lubang. Namun pada perkembangannya, lubang itu kini jarang ditemukan. Bentuk yang unik itu di­se­suaikan dengan fungsinya. Bagian gemuk berfungsi untuk memotong dan membelah kayu atau batang bambu. Fungsi lekukan itu untuk menghaluskan kayu atau bambu yang dibelah tadi. Ujungnya yang lancip digunakan untuk mencukil atau membuat lubang.
      
Gambar 1: Kudhi
            Menurut salah satu pengoleksi Kudhi adalah Raden Tumenggung (RT) Noerring W. Doyo Dipuro yang juga pemilik Padepokan Jolo Sutro Banjarnegara. Menurut Noerring, dirinya mendapatkan Kudhi Banyumasan secara kebetulan dari Desa Gumelem, Kecamatan Susukan, Banjarnegara. Kudhi tersebut umurnya cukup tua, karena dibuat pada zaman Kerajaan Mataram. Kudhi memang memiliki karakteristik bentuk tersendiri. Namun kalau dilihat dari bentuknya, kudhi sangat dipengaruhi oleh Kujang atau kudhi Kukilo yang dibuat pada zaman Kerajaan Padjajaran. Namun, kalau kudhi Banyumasan lebih melengkung dan itu dibuat ketika zaman Kerajaan Mataram. Pada zaman itu wilayah Banyumasan atau Jateng bagian barat masih dalam daerah kekuasaan Mataram.
Gambar 2: Kudhi peninggalan zaman Mataram


Dahulu kudhi biasa dipakai oleh warga Banyumas zaman dulu sebagai alat pertanian. Di sisi lain, para kestaria atau pejabat di wilayah Jateng bagian barat menggunakannya sebagai senjata. Bahkan diyakini kalau lubang-lubang yang ada di senjata Kudhi merupakan tanda kepangkatan.
Kudhi merupakan curiga atau senjata pangandel atau senjata pegangan dari tokoh Bawor. Kudhi memiliki beberapa bagian, yaitu bagian ujung, perut, karah serta gagang. Bagian-bagian tersebut tidak hanya berfungsi sebagai alat pemotong semata, namun merupakan cermin dari karakter orang Banyumas yang sesungguhnya. Bagian ujung yang sama dengan senjata-senjata lain pada umumnya memiliki arti nilai egaliterian yang dijunjung oleh masyarakat Banyumas terhadap segala bentuk budaya lainnya. Bagian perut yang menggembung menunjukan bahwa manusia hidup tidak hanya untuk memenuhi nafsu belaka namun ada hal yang lebih penting yaitu berusaha dan bekerja. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan perut kudhi sangat besar untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang berat-berat seperti membelah atau memotong obyek yang besar. Selain itu ada filosofis mengenai makna perut bagi orang Banyumas, yaitu perut dapat sebagai sumber fitnah. Saat perut manusia lapar, maka manusia akan dapat memakan sesamanya. Artinya, manusia dapat melakukan tindak kriminal, tindakan yang tercela demi dapat memenuhi kebutuhannya akan pangan. Namun di saat perut terlalu kenyang pun manusia dapat berbuat maksiat, seperti membuang energi yang dihasilkan makanan yang dimakannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menjurus pada syahwat. Orang Banyumas sangat menuntut agar manusia dapat sebaik-baiknya memanajemen nafsu (yang sering dikaitkan dengan keadaan perut lapar atau kenyang). Karah menyimbolkan bahwa penampilan atau materi tidak bisa dijadikan sebagai acuan baik buruknya sifat seseorang. Hal ini ditunjukkan dari kenyataan bahwa tidak semua karah yang bagus dan berukir akan memiliki perut dan ujung yang tajam atau baik. Sedangkan gagang merupakan simbol bahwa orang Banyumas di dalam menyikapi hidup harus punya keyakinan yang jelas.
Kudhi sebagai cermin masyarakat Banyumas. Hal ini terdapat pada ungkapan kudhi ilang karo karahe. Artinya sesuatu yang hilang pasti akan kembali pada pemiliknya. Ungkapan ini memiliki nilai historis yang berkaitan dengan sejarah pindahnya R. Adipati Mertadireja III dari Purwokerto ke Banyumas. Pada saat itu Kabupaten Purwokerto dan Banyumas masing-masing berdiri sendiri. Kemudian pada tahun 1878 Residen Banyumas C. De Mooenburgh, berselisih dengan Bupati Banyumas R.M.T. Tjakranegara II. Karena perselisihan itulah maka Bupati Banyumas mengundurkan diri. Akhirnya R. Adipati Mertadireja III, Bupati Purwokerto pindah menjadi Bupati Banyumas. Di sini dijelaskan juga bahwa kudhi merupakan simbol dari jabatan residen sedangkan karah adalah jabatan bupati.
Sebagai alat bekerja maka kudhi memerlukan tempat yang tidak menganggu lancarnya pekerjaan seseorang. Oleh karena itu, ada tempat untuk meletakan kudhi secara khusus. Tempat ini biasa disebut dengan kethoprak atau korakan atau thakolak. Kethoprak ini biasanya digantung di belakang pada ikat pinggang. Sehingga jika orang yang memakainya berjalan maka akan terdengar suara yang khas seakan-akan berbunyi "korak-korak". Inilah bentuk kejujuran, keberanian dan sportivitas orang Banyumas sebagai tanda bila ia sedang membawa senjata. Tidak seperti orang membawa senjata lainnya, seperti keris atau belati, yang selalu diselipkan atau disembunyikan dibalik bajunya, untuk kemudian ditikamkan ke orang lain.
Gambar 3: Kudhi beserta korakannya

Kudhi dan Islam
Asal muasal kudhi menurut mitos hampir sama dengan penciptaan wayang kulit oleh para wali. Wayang kulit merupakan kreasi dari para wali penyebar Agama Islam. Karena sepintas lekuk bentuk perut kudhi mirip dengan bentuk Kata Allah, maka kudhi identik dengan perkembangan Islam di Banyumas Hal yang sama juga terdapat pada bentuk muka dan tangan serta kaki wayang-wayang Pandawa (M.Koderi:1991).
Hingga kini, tiada satu pun teks sejarah yang menuturkan ikhwal mula penciptaan kudhi. Kepercayaan paling populer mengaitkannya dengan tempat asal mula pembuatan kudhi, yaitu Desa Pasir. Wilayah yang sebelum tahun 1946 masih berstatus daerah "perdikan" atau daerah yang dimerdekakan itu menjadi pusat penyebaran agama Islam. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kudhi dalam arti lain sebagai lambang, atau simbol-simbol makna religius. Menurut mantan Humas Pemkab Ahmad Supartono, kudhi terbagi menjadi bagian ujung yang lempang, perut membuncit, karah dan gagang. Bentuk itu jika disatukan menyerupai tulisan "Allah". Artinya, ketika memakai senjata itu, masyarakat diminta tetap ingat kepada Allah.
Kudhi juga memiliki filosofi yang lain seperti kudhi pacul sungan landepa. Kudhi dan cangkul adalah alat untuk bekerja. Maksudnya ialah dalam mencapai suatu tujuan atau mencari pekerjaan tidak dengan melakukan hal-hal yang menyimpang.

 Simpulan
            Kudhi merupakan senjata khas Banyumas yang menjadi cerminan atau proyeksi orang Banyumas, meskipun kudhi sendiri bukan senjata yang benar-benar asli Banyumas tetapi sudah terkenal menjadi ikon Banyumas. Salah satu buktinya adalah adanya tokoh Bawor sebagai ikon Banyumas yang memakai kudhi sebagai senjata pangandelnya.
            Filosofi kudhi tidak hanya dikaitkan dengan bentuk kudhi yang diyakini sebagai simbol religius Islami, tetapi juga dikaitkan dengan bagian perut kudhi yang sangat mirip dengan bentuk perut manusia dan suara-suara yang dihasilkan ketika orang membawa kudhi yang bersarung korakannya. Namun, semua perlambang itu meskipun berbeda, keduanya mengandung nilai-nilai kebaikan dan ajaran moral.



 Referensi 
Augustrush15. 2010. Folklor Indonesia. <http://augustrush15.wordpress.com/
2010/08/11/folklor-indonesia>
Koderi, M. 1991. Banyumas, Wisata dan Budaya. Purwokerto: Penerbit Metro.

Poerwasoeprojo, R. 1932. Babad Banyumas. Purwokerto: De Boer. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar