Kabupaten
Banyumas sebagai salah satu daerah di Jawa Tengah memiliki folklor berbeda
dengan yang dimiliki oleh daerah Yogyakarta dan Surakarta yang selama ini
menjadi daerah-daerah pusat kebudayaan di Jawa Tengah. Kekhasan folklor dari
daerah ini sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dipahami karena kekhasan
tersebut sebenarnya merupakan proyeksi dari masyarakat Banyumas dengan watak cablaka-nya. Filosofi cablaka ini hampir tersimbolkan dari
semua folklor yang ada di daerah Banyumas, baik dari folklor lisan, folklor
sebagian lisan, maupun folklor bukan lisan. Namun meskipun demikian, pada
kenyataannya genearsi muda di daerah Banyumas banyak yang tidak mengetahui
folklor-foklor yang menjadi ikon daerah ini. Lalu, apa salah satu folklor yang
menjadi ikon Banyumas sekaligus merupakan proyeksi dari watak cablaka orang Banyumas tersebut?
Folklor
sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman
sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di dalam masyarakat
Indonesia, setiap daerah, kelompok, etnis, suku, bangsa, golongan agama
masing-masing telah mengembangkan folklornya sendiri-sendiri sehingga di
Indonesia terdapat aneka ragam folklor. Folklor ialah kebudayaan manusia yang
secara kolektif diwariskan secara turun-temurun, baik dalam bentuk lisan maupun
gerak isyarat.
Kata
folklor berasal dari bahasa Inggris, yaitu folk
dan lore. Menurut Alan Dundes kata folk berarti sekelompok orang yang
memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat
dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara
lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan,
dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah
memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi secara
turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang telah mereka akui sebagai milik
bersama. Selain itu, yang paling penting adalah bahwa mereka memiliki kesadaran
akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore merupakan tradisi dari folk,
yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan demikian,
pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan
secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Jan Harold Brunvand, membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar
berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
a.
Folklor Lisan
Folklor
jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi bahasa rakyat
seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis; ungkapan
tradisional seperti peribahasa dan sindiran; pertanyaan tradisonal yang dikenal
sebagai teka-teki; sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair; cerita
prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; nyanyian rakyat.
b.
Folklor sebagian lisan
Folklor
ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi kepercayaan dan
takhayul; permainan dan hiburan rakyat setempat; teater rakyat, seperti lenong,
ketoprak, dan ludruk; tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan
ngibing, ronggeng; adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan; upacara
tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten; pesta rakyat
tradisional seperti bersih desa dan meruwat.
c.
Folklor bukan lisan
Folklor
ini juga dikenal sebagai artefak meliputi arsitektur bangunan rumah yang
tradisional; seni kerajinan tangan tradisional, pakaian tradisional; obat-obatan
rakyat; alat-alat musik tradisional; peralatan dan senjata yang khas tradisional;
makanan dan minuman khas daerah.
Senjata kudhi sebagai salah satu
ikon Banyumas sekaligus proyeksi watak masyarakat orang Banyumas yang cablaka dapat digolongkan ke dalam
folklor bukan lisan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya tugu selamat
datang berbentuk kudhi kotak di beberapa daerah di Banyumas, antara lain di Tambak
sebagai perbatasan dari arah Kabupaten Kebumen, di Lumbir sebagai perbatasan
dengan Kabupaten Cilacap dari arah barat, di Kecamatan Pekuncen sebagai
perbatasan dengan Bumiayu, dan di Somagede sebagai perbatasan dengan kabupaten
Banjarnegara.
Menurut
mantan Humas Pemkab Ahmad Supartono, bentuk tugu diadopsi dari kudhi karena
senjata itu mampu menyimbolkan jati diri khas wong Banyumas. Bentuk kudhi
ditransformasikan ke bentuk dasar kotak sebagai simbol kekinian dan
modernitas masyarakat Banyumas.
Kudhi
Senjata Adopsi dari Tlatah Banyumas sebagai Ikon dan Proyeksi dari “Wong
Banyumas”
Kudhi
adalah senjata yang sering dipergunakan masyarakat Banyumas dalam
kehidupan sehari-hari sebagai peralatan yang digunakan untuk membelah atau
memotong benda keras seperti kayu atau bambu, sama fungsinya seperti parang
atau bendho (golok). Kudhi hanya
memiliki satu sisi tajam, berbentuk agak melengkung menyerupai kujang dari Jawa
Barat namun lebih panjang dan besar. Bagian pangkalnya menggembung, bagian
atasnya melengkung agak kotak dan di pucuknya membentuk seperti paruh burung
berbentuk lancip. Di sisi belakang dekat punggung terdapat lubang. Namun pada
perkembangannya, lubang itu kini jarang ditemukan. Bentuk yang unik itu disesuaikan
dengan fungsinya. Bagian gemuk berfungsi untuk memotong dan membelah kayu atau
batang bambu. Fungsi lekukan itu untuk menghaluskan kayu atau bambu yang
dibelah tadi. Ujungnya yang lancip digunakan untuk mencukil atau membuat
lubang.
Gambar
1: Kudhi
Menurut
salah satu pengoleksi Kudhi adalah Raden Tumenggung (RT) Noerring W. Doyo
Dipuro yang juga pemilik Padepokan Jolo Sutro Banjarnegara. Menurut Noerring,
dirinya mendapatkan Kudhi Banyumasan secara kebetulan dari Desa Gumelem,
Kecamatan Susukan, Banjarnegara. Kudhi tersebut umurnya cukup tua, karena
dibuat pada zaman Kerajaan Mataram. Kudhi memang memiliki karakteristik bentuk
tersendiri. Namun kalau dilihat dari bentuknya, kudhi sangat dipengaruhi oleh
Kujang atau kudhi Kukilo yang dibuat pada zaman Kerajaan Padjajaran. Namun,
kalau kudhi Banyumasan lebih melengkung dan itu dibuat ketika zaman Kerajaan
Mataram. Pada zaman itu wilayah Banyumasan atau Jateng bagian barat masih dalam
daerah kekuasaan Mataram.
Gambar 2: Kudhi peninggalan zaman Mataram
Dahulu kudhi biasa dipakai oleh
warga Banyumas zaman dulu sebagai alat pertanian. Di sisi lain, para kestaria
atau pejabat di wilayah Jateng bagian barat menggunakannya sebagai senjata.
Bahkan diyakini kalau lubang-lubang yang ada di senjata Kudhi merupakan tanda
kepangkatan.
Kudhi merupakan curiga atau senjata pangandel atau senjata pegangan dari tokoh Bawor. Kudhi memiliki
beberapa bagian, yaitu bagian ujung, perut, karah serta gagang. Bagian-bagian
tersebut tidak hanya berfungsi sebagai alat pemotong semata, namun merupakan
cermin dari karakter orang Banyumas yang sesungguhnya. Bagian ujung yang sama
dengan senjata-senjata lain pada umumnya memiliki arti nilai egaliterian yang dijunjung
oleh masyarakat Banyumas terhadap segala bentuk budaya lainnya. Bagian perut
yang menggembung menunjukan bahwa manusia hidup tidak hanya untuk memenuhi
nafsu belaka namun ada hal yang lebih penting yaitu berusaha dan bekerja. Hal
ini ditunjukkan oleh kemampuan perut kudhi sangat besar untuk dapat
menyelesaikan pekerjaan yang berat-berat seperti membelah atau memotong obyek
yang besar. Selain itu ada filosofis mengenai makna perut bagi orang Banyumas,
yaitu perut dapat sebagai sumber fitnah. Saat perut manusia lapar, maka manusia
akan dapat memakan sesamanya. Artinya, manusia dapat melakukan tindak kriminal,
tindakan yang tercela demi dapat memenuhi kebutuhannya akan pangan. Namun di
saat perut terlalu kenyang pun manusia dapat berbuat maksiat, seperti membuang
energi yang dihasilkan makanan yang dimakannya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang menjurus pada syahwat. Orang Banyumas sangat menuntut
agar manusia dapat sebaik-baiknya memanajemen nafsu (yang sering dikaitkan
dengan keadaan perut lapar atau kenyang). Karah menyimbolkan bahwa penampilan
atau materi tidak bisa dijadikan sebagai acuan baik buruknya sifat seseorang.
Hal ini ditunjukkan dari kenyataan bahwa tidak semua karah yang bagus dan
berukir akan memiliki perut dan ujung yang tajam atau baik. Sedangkan gagang
merupakan simbol bahwa orang Banyumas di dalam menyikapi hidup harus punya
keyakinan yang jelas.
Kudhi sebagai cermin
masyarakat Banyumas. Hal ini terdapat pada ungkapan kudhi ilang karo karahe. Artinya sesuatu yang hilang pasti akan
kembali pada pemiliknya. Ungkapan ini memiliki nilai historis yang berkaitan
dengan sejarah pindahnya R. Adipati Mertadireja III dari Purwokerto ke
Banyumas. Pada saat itu Kabupaten Purwokerto dan Banyumas masing-masing berdiri
sendiri. Kemudian pada tahun 1878 Residen Banyumas C. De Mooenburgh, berselisih
dengan Bupati Banyumas R.M.T. Tjakranegara II. Karena perselisihan itulah maka
Bupati Banyumas mengundurkan diri. Akhirnya R. Adipati Mertadireja III, Bupati
Purwokerto pindah menjadi Bupati Banyumas. Di sini dijelaskan juga bahwa kudhi merupakan
simbol dari jabatan residen sedangkan karah adalah jabatan bupati.
Sebagai alat bekerja
maka kudhi memerlukan tempat yang tidak menganggu lancarnya pekerjaan
seseorang. Oleh karena itu, ada tempat untuk meletakan kudhi secara khusus.
Tempat ini biasa disebut dengan kethoprak
atau korakan atau thakolak. Kethoprak ini biasanya
digantung di belakang pada ikat pinggang. Sehingga jika orang yang memakainya
berjalan maka akan terdengar suara yang khas seakan-akan berbunyi "korak-korak". Inilah bentuk
kejujuran, keberanian dan sportivitas orang Banyumas sebagai tanda bila ia
sedang membawa senjata. Tidak seperti orang membawa senjata lainnya, seperti
keris atau belati, yang selalu diselipkan atau disembunyikan dibalik bajunya, untuk
kemudian ditikamkan ke orang lain.
Gambar 3: Kudhi beserta korakannya
Kudhi
dan Islam
Asal muasal kudhi
menurut mitos hampir sama dengan penciptaan wayang kulit oleh para wali. Wayang
kulit merupakan kreasi dari para wali penyebar Agama Islam. Karena sepintas
lekuk bentuk perut kudhi mirip dengan bentuk Kata Allah, maka kudhi identik
dengan perkembangan Islam di Banyumas Hal yang sama juga terdapat pada bentuk
muka dan tangan serta kaki wayang-wayang Pandawa (M.Koderi:1991).
Hingga kini, tiada satu
pun teks sejarah yang menuturkan ikhwal mula penciptaan kudhi.
Kepercayaan paling populer mengaitkannya dengan tempat asal mula pembuatan kudhi,
yaitu Desa Pasir. Wilayah yang sebelum tahun 1946 masih berstatus daerah
"perdikan" atau daerah yang dimerdekakan itu menjadi pusat penyebaran
agama Islam. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kudhi dalam arti lain sebagai
lambang, atau simbol-simbol makna religius. Menurut mantan Humas Pemkab Ahmad
Supartono, kudhi terbagi menjadi bagian ujung yang lempang, perut
membuncit, karah dan gagang. Bentuk itu jika disatukan menyerupai tulisan
"Allah". Artinya, ketika memakai senjata itu, masyarakat diminta
tetap ingat kepada Allah.
Kudhi juga memiliki
filosofi yang lain seperti kudhi pacul
sungan landepa. Kudhi dan cangkul adalah alat untuk bekerja. Maksudnya
ialah dalam mencapai suatu tujuan atau mencari pekerjaan tidak dengan melakukan
hal-hal yang menyimpang.
Simpulan
Kudhi
merupakan senjata khas Banyumas yang menjadi cerminan atau proyeksi orang
Banyumas, meskipun kudhi sendiri bukan senjata yang benar-benar asli Banyumas
tetapi sudah terkenal menjadi ikon Banyumas. Salah satu buktinya adalah adanya
tokoh Bawor sebagai ikon Banyumas yang memakai kudhi sebagai senjata pangandelnya.
Filosofi
kudhi tidak hanya dikaitkan dengan bentuk kudhi yang diyakini sebagai simbol
religius Islami, tetapi juga dikaitkan dengan bagian perut kudhi yang sangat
mirip dengan bentuk perut manusia dan suara-suara yang dihasilkan ketika orang
membawa kudhi yang bersarung korakannya.
Namun, semua perlambang itu meskipun berbeda, keduanya mengandung nilai-nilai kebaikan
dan ajaran moral.
Referensi
Augustrush15. 2010. Folklor Indonesia.
<http://augustrush15.wordpress.com/
2010/08/11/folklor-indonesia>
Koderi, M. 1991. Banyumas, Wisata dan Budaya.
Purwokerto: Penerbit Metro.
Poerwasoeprojo,
R. 1932. Babad Banyumas. Purwokerto: De Boer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar