Jumat, 27 Maret 2015

Bahasa dan Orba


Bahasa merupakan alat berkomunikasi manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting guna menuangkan ide pokok pikiran, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Namun, dewasa ini bahasa bukan lagi hanya berperan sebagai sarana berkomunikasi, tetapi juga menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Berawal dari abad ke-5 SM, bahasa dipakai seseorang sebagai alat untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok orang demi kepentingan politik, ekonomi, maupun sosial. Pada zaman inilah awal kebangkitan retorika dan sejak itu, kemampuan berbahasa seseorang menjadi sangat penting. Semakin tinggi kemampuan berbahasa seseorang semakin tinggi pula penghargaan dari masyarakat terhadap dirinya.
Bahasa sebagai alat mempertahankan kekuasaan tidak hanya melalui retorika, yakni kemampuan berbahasa secara elegan, tetapi juga dengan ‘penertiban bahasa’ seperti pada masa Orba. Soeharto bukanlah Soekarno yang merupakan seorang orator sejati dengan retorikanya yang mampu menggerakkan rakyat Indonesia pada zamannya. Berbagai penelitian dilakukan terhadap teks-teks pidato Soeharto dan hasilnya menunjukkan bahwa politik bahasa yang dilakukan olehnya semasa Orba adalah strategi yang sangat cerdas dalam mengelola bahasa sehingga mampu mempertahankan kekuasaannya hingga tiga puluh dua tahun. Waktu yang relatif sangat lama untuk kepemimpinan seorang presiden.
Strategi politik bahasa yang dilakukan oleh Soeharto pada masa Orba adalah dengan membentuk makna-makna konotasi dan keteraturan berbahasa. Strategi konotasi dilakukan dengan menggunakan teori kode. Jika menurut para linguis antara tanda (sign), yakni sesuatu (kata) yang mewakili sesuatu yang lain (makna, konsep) bersifat arbitrer atau manasuka, maka konsep ini tidak salah. Namun, dalam hal tertentu sifat ini merupakan hasil rekayasa yang dibuat sedemikian rupa hingga menghasilkan suatu konvensi baru. Misalnya, dalam istilah Bapak Pembangunan yang melekat pada diri Soeharto. Kata pembangunan oleh pemerintah maknanya ditetapkan sebagai ‘suatu proses yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang harus didasari kestabilan politik dan ekonomi’. Lambat laun makna pembangunan akan berkembang menjadi ‘hasil kestabilan yang diberikan oleh Presiden Soeharto dan Orba’. Dari sinilah lahir penanda Bapak Pembangunan yang diberi makna ‘Bapak yang memberikan kestabilan bagi suksesnya pembangunan’.

Proses pemaknaan ini didukung oleh kebijakan ketertiban. Dapat kita lihat bahwa di sini relasi antara kata dan makna tidak lagi didasari oleh konvensi, melainkan konvensi yang direkayasa atau bermotif. Pengembangan relasi ini sebenarnya bukanlah hal baru, melainkan sudah biasa terjadi pada propaganda dan iklan. Yang menarik adalah pengarahan atas rekayasa relasi ini tidak dirasakan oleh masyarakat karena bertolak dari kebijakan ‘ketertiban’ bahasa yang bertumpu pada ‘pembakuan bahasa Indonesia’. Sudah menjadi barang tentu jika masyarakat umumnya tidak akan menolak, bahkan mendukung kebijakan tentang ‘ketertiban’. Jadi, selama lebih dari tiga puluh tahun, pemerintah Orba telah berhasil baik dalam menerapkan strategi politik bahasanya itu.

referensi: Widjojo, Muridan S. dan Mashudi Noorsalim. 2003. Bahasa sebagai Alat Kekuasaan: Catatan Kesimpulan. Jakarta: LIPI Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar