Bahasa
merupakan alat berkomunikasi manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Bahasa
mempunyai peranan yang sangat penting guna menuangkan ide pokok pikiran, baik
dalam bentuk lisan maupun tulisan. Namun, dewasa ini bahasa bukan lagi hanya
berperan sebagai sarana berkomunikasi, tetapi juga menjadi alat untuk
mempertahankan kekuasaan. Berawal dari abad ke-5 SM, bahasa dipakai seseorang
sebagai alat untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok orang demi kepentingan
politik, ekonomi, maupun sosial. Pada zaman inilah awal kebangkitan retorika
dan sejak itu, kemampuan berbahasa seseorang menjadi sangat penting. Semakin tinggi
kemampuan berbahasa seseorang semakin tinggi pula penghargaan dari masyarakat
terhadap dirinya.
Bahasa
sebagai alat mempertahankan kekuasaan tidak hanya melalui retorika, yakni kemampuan
berbahasa secara elegan, tetapi juga dengan ‘penertiban bahasa’ seperti pada
masa Orba. Soeharto bukanlah Soekarno yang merupakan seorang orator sejati
dengan retorikanya yang mampu menggerakkan rakyat Indonesia pada zamannya.
Berbagai penelitian dilakukan terhadap teks-teks pidato Soeharto dan hasilnya
menunjukkan bahwa politik bahasa yang dilakukan olehnya semasa Orba adalah
strategi yang sangat cerdas dalam mengelola bahasa sehingga mampu
mempertahankan kekuasaannya hingga tiga puluh dua tahun. Waktu yang relatif
sangat lama untuk kepemimpinan seorang presiden.
Strategi
politik bahasa yang dilakukan oleh Soeharto pada masa Orba adalah dengan
membentuk makna-makna konotasi dan keteraturan berbahasa. Strategi konotasi
dilakukan dengan menggunakan teori kode. Jika menurut para linguis antara tanda
(sign), yakni sesuatu (kata) yang mewakili sesuatu yang lain (makna, konsep)
bersifat arbitrer atau manasuka, maka konsep ini tidak salah. Namun, dalam hal
tertentu sifat ini merupakan hasil rekayasa yang dibuat sedemikian rupa hingga
menghasilkan suatu konvensi baru. Misalnya, dalam istilah Bapak Pembangunan yang melekat pada diri Soeharto. Kata pembangunan oleh pemerintah maknanya
ditetapkan sebagai ‘suatu proses yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang harus didasari kestabilan politik dan ekonomi’. Lambat laun makna pembangunan akan berkembang menjadi
‘hasil kestabilan yang diberikan oleh Presiden Soeharto dan Orba’. Dari sinilah
lahir penanda Bapak Pembangunan yang
diberi makna ‘Bapak yang memberikan kestabilan bagi suksesnya pembangunan’.
Proses
pemaknaan ini didukung oleh kebijakan ketertiban. Dapat kita lihat bahwa di
sini relasi antara kata dan makna tidak lagi didasari oleh konvensi, melainkan
konvensi yang direkayasa atau bermotif. Pengembangan relasi ini sebenarnya
bukanlah hal baru, melainkan sudah biasa terjadi pada propaganda dan iklan.
Yang menarik adalah pengarahan atas rekayasa relasi ini tidak dirasakan oleh
masyarakat karena bertolak dari kebijakan ‘ketertiban’ bahasa yang bertumpu
pada ‘pembakuan bahasa Indonesia’. Sudah menjadi barang tentu jika masyarakat
umumnya tidak akan menolak, bahkan mendukung kebijakan tentang ‘ketertiban’.
Jadi, selama lebih dari tiga puluh tahun, pemerintah Orba telah berhasil baik
dalam menerapkan strategi politik bahasanya itu.
referensi: Widjojo, Muridan S. dan Mashudi Noorsalim. 2003. Bahasa sebagai Alat Kekuasaan: Catatan Kesimpulan. Jakarta: LIPI Press.
referensi: Widjojo, Muridan S. dan Mashudi Noorsalim. 2003. Bahasa sebagai Alat Kekuasaan: Catatan Kesimpulan. Jakarta: LIPI Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar