Malam itu, acara api unggun perkemahan Greenmount
dipenuhi celoteh para peserta tentang manusia serigala. Mereka saling berbicara
hal-hal yang mengerikan mengenai peristiwa-peristiwa pembantaian manusia
serigala dan hilangnya peserta perkemahan Greenmount setiap tahunnya.
“Kau
tahu, manusia serigala itu menyukai warna merah. Jadi menurutku, kaulah yang
akan disantap terlebih dahulu oleh mereka,” kata seorang anak laki-laki
bertubuh kurus dan berpipi tirus di sampingku. Ia sedang menakut-nakuti anak
laki-laki yang bertubuh gendut berjaket merah di sebelahnya lagi, yang kalau
tidak salah bernama Willy. Lalu mereka pergi ke tempat agak jauh dari tempat
dudukku.
Willy
nampaknya sangat ketakutan. Ia sempat berhenti sesaat memakan cokelatnya. Namun
kemudian melanjutkan lagi dengan wajah merah menahan tangis. Ia memang cengeng.
Di sini bisa dikatakan ia paling terkenal cengeng dan senang sekali dengan
warna merah.
Semenjak
kejadian itu, aku dan Edwin seperti dua insan yang hampir tak pernah
terpisahkan. Ia selalu menjagaku, menemaniku ke mana pun aku pergi, dan ia
selalu menghiburku agar aku lekas bisa melupakan kejadian itu. Ia pernah
berkata kepadaku bahwa ia tak akan pernah bisa memaafkan dirinya jika sampai
ada hal yang tidak diinginkan menimpaku, karena dialah yang mengajakku
mengikuti perkemahan ini. Dalam hati aku memujinya, dia benar-benar seorang
laki-laki yang bertanggung jawab.
Di
seberangku, aku melihat Alice, Aline, Lindsay, dan si Kembar Hannah sedang
asyik bercanda tanpa aku. Sesekali mereka melihatku dengan pandangan benci. Aku
tak tahu mengapa mereka seperti itu. Aku memang pernah mengira bahwa merekalah
manusia serigala itu, tetapi Edwin yang bicara sendiri padaku bahwa mereka yang
memberi tahu para panitia untuk mencariku dan mereka juga mendapat hukuman
karena ulahku itu. Ada perasaan bersalah yang sangat besar di hatiku. Aku sudah
berusaha untuk meminta maaf kepada mereka, tetapi mereka hanya diam tak
mengacuhkanku lagi.
Aku
melihat para peserta dan panitia yang berkumpul mengelilingi api unggun. Aku
melihat ada kejanggalan. Ada seseorang yang biasa kulihat, namun dalam acara
kali ini tak kulihat.
Ke
mana Joe? Apa dia sakit? Atau dia sudah pulang karena ada kepentingan lain?
Atau dia sedang menyiapkan sesuatu di tenda dengan beberapa peserta lainnya?
Atau dia sudah tidur karena kelelahan dan mengantuk?
Seribu
pertanyaan muncul di benakku. Entah mengapa beberapa hari ini aku jarang
melihat Joe. Sekalipun aku bertemu dengannya, kami tak sempat untuk berbicara
dan bercerita panjang lebar, mungkin hanya sebuah senyuman atau sapaan.
Edwin
rupanya sedang asyik mendengarkan lagu-lagu kesayangannya dari mp4-nya.
Sedangkan aku asyik memperhatikan peserta-peserta yang lain sambil menguping
pembicaraan mereka. Walaupun di tengah kami sang ketua panitia sedang
berbicara.
“Teman,
aku baru saja mendapat informasi tentang peristiwa berdarah itu,” kata Louise,
panitia baru yang duduk di sebelah Shally.
“Apa?
Kenapa sih kalian senang sekali membicarakan itu? Memangnya tidak ada topik pembicaraan
yang lebih menarik?” gerutu Shally.
“Mereka,
para korban yang hilang, sebenarnya tidak hilang. Tetapi mereka telah
dikuburkan oleh manusia serigala itu sendiri,” lanjut Louise dengan nada bicara
yang misterius.
“Masa
sih?” tanya seorang peserta cowok yang ternyata ikut menguping pembicaraan itu.
“Iya,
aku tidak bohong. Aku melihat kuburan mereka sendiri di hutan.”
Bergidik
aku mendengarnya. Buat apa korban-korban itu dibunuh dan dikuburkan? Mengapa
mereka tak memakannya saja? Bukankah para tubuh para koraban cukup mengganjal
perut mereka bila mereka santap?
“Di
mana letak kuburan itu?” tanya Shally penasaran.
“Di
bawah pohon beringin tua, tempat Sonia ditemukan.”
“Sssstt...jangan
keras-keras, nanti Sonia dengar. Dia kan sedang duduk di dekat kita. Nanti
kalau dia dengar, di pasti melaporkannya kepada Edwin. Dia kan anak tukang
mengadu,” kata Shally menjelek-jelekkan aku.
“Di
situ ada beberapa kuburan yang sudah tua. Satu dari beberapa nisannya telah
patah, tetapi ada pula yang masih jelas tulisannya.”
“Siapa?
Siapa yang dikubur di situ?” tanya Shally lagi.
“Aku
tidak tahu. Kemarin aku belum sempat membacanya karena Sonia dan Edwin telah
meninggalkan aku sebelum aku sempat membaca nisan itu. Aku kan juga takut bila
ditinggal di hutan itu sendirian. Hiiii....,” jelas Louise.
Mereka
bertiga kemudian bergegas pergi entah ke mana. Di deretan kami, hanya tinggal
aku dan Edwin yang masih duduk-duduk di depan perapian itu. Sebagian peserta
yang lain meninggalkan tempat itu. Beberapa ada yang kembali ke pondok,
berkumpul di bawah pohon dan membuat api unggun sendiri.
“Kau
tidak kembali ke pondok?” tanya Aline tiba-tiba. Ia menghampiri aku dari arah
belakang.
Aku sampat terkejut dengan pertanyaan
Aline. Ku kira dia tidak akan pernah mau mengenaliku lagi. Walaupun nada
bicaranya masih dingin, tetapi ini sudah lebih dari cukup bagiku karena berarti
aku tidak kehilangan satu teman baikku.
“Memangnya sudah boleh?” tanyaku.
“Kau tidak mendengarkan apa
disampaikan oleh ketua panitia tadi?” Aline bertanya kepadaku kesal.
“Teman-temanmu sudah kembali semua. Apa kau tidak takut bila nanti kau kembali
ke pondok sendirian ditemani manusia serigala?” lanjutnya.
“Eh,
iya. Aku akan kembali ke pondok sekarang juga,” kataku sambil bangkit. “Edwin,
aku kembali ke pondok dulu, ya.”
“Perlu
aku temani?” Edwin menjawabku sambil melepas salah satu headsetnya.
“Tidak.
Terima kasih.”
Kemudian
aku berjalan menuju pondokku. Sesampainya aku di depan pintu, Aline
memanggilku. Rupanya ia membuntutiku dari belakang.
“Sonia,
maafkan aku. Aku tak bermaksud memusuhimu. Aku tahu ini semua memang salahku.
Kalau saja aku tidak bercerita tentang manusia serigala itu, kau pasti tidak
akan lari ketakutan karena kami mengerjaimu, menakut-nakutimu. Kami cuma
bercanda, kok,” kata Aline panjang lebar.
“Tidak,
Aline. Aku yang salah. Aku ini benar-benar penakut, ya. Hal seperti itu saja
sudah membuatku lari terbirit-birit,” ucapku sambil tertawa kacil.
Aku
merasa sangat bersalah kepada mereka, terutama kepada Aline karena dia dahulu
yang berani menegurku setelah kejadian itu.
“Sonia,
tetapi aku tetap berharap kau bisa menjaga dirimu baik-baik. Perkemahan ini
bukan perkemahan yang seharusnya kau ikuti untuk mengisi hari liburmu di musim
panas.”
Aline
menatapku serius. Belum pernah aku mendapati Aline yang seserius ini. Matanya
menerawang menatapku tajam.
“Tenang
saja, jangan khawatir. Aku akan jaga diriku baik-baik. Kan ada Edwin yang
senantiasa menjagaku.”
“Tidak!!!”
balas Aline cepat. “Kau tidak boleh mendekati Edwin! Jangan pernah berdekatan
lagi dengannya!”
“Kenapa?”
“Pokoknya
jangan! Atau aku tak sudi lagi melihatmu?”
Aline
cepat-cepat pergi meninggalkanku. Aku bingung dengan semua ini. Mengapa Aline
tiba-tiba menjadi sangat baik dan berusaha untuk menegurku lebih dahulu padahal
setahuku dia mempunyai gengsi yang besar, lalu memarahiku dan mengancamku untuk
tidak dekat dengan Edwin lagi? Apakah ada yang salah dengan Ewdin? Atau dengan
hubungan kami berdua?
“Apa-apaan kau ini, Lindsay?!” bentakku.
“Apa, katamu? Kau jelas-jelas sudah
mengkhianati aku! Kau masih juga bertanya apa maksudku?!” balas Lindsay.
Pagi itu emosiku meluap-luap.
Bagaimana tidak, ia telah merebut gelang pemberian Edwin dan membanting
ponselku agar aku tidak berhubungan dengan Edwin lagi.
“Mengkhianatimu? Mengkhianati apa?”
“Kau telah merebut Edwin dariku! Kau
juga merebut Joe dari Alice! Dasar pengkhianat?”
“Kau tidak pernah berkata apa-apa
padaku tentang perasaanmu terhadap Edwin. Dan aku tidak pernah merebut Joe dari
siapa pun!”
“Baik, kalau begitu. Sekarang,
semuanya dengarkan aku. Aku mencintai Edwin. Aku mencintai Edwin lebih dulu
daripada dia! Dia, Sonia Johnson telah merebut Edwin dariku! Dia memang
pengkhianat! Sonia pengkhianat!” teriak Lindsay dari atas ranjangnya sambil
mengarahkan jari telunjuknya kepadaku.
Alice dan Christine hanya diam. Mereka
menunduk dan terpaku diam di ranjangnya masing-masing. Mereka semua tidak ada
yang membelaku maupun membela Lindsay. Mereka hanya diam seperti patung dan
saling melirik..
Aku cepat-cepat pergi meninggalkan kamar,
pergi keluar tanpa arah yang dituju. Air mataku berlinangan membasahi pipiku.
Aku sudah menghapusnya berulang kali dengan punggung tanganku, namun mataku
rasanya tak ingin berhenti mengalirkannya.
Kenapa mereka, terutama Lindsay jahat
sekali padaku? Sebenarnya, apa sih maunya? Kenapa Alice dan Christine diam
saja, tidak melerai kami berdua? Begitu pula Aline, dia sama saja
menyebalkannya dengan Lindsay. Seribu perasaan kesal bercampur sedih berkecamuk
di hatiku.
Tiba-tiba aku teringat dengan
pembicaraan antara Shally dan Louise tadi malam. Mungkin ini saatnya aku
memastikan bahwa mereka sebenarnya adalah orang baik-baik. Mereka bukan manusia
serigala. Mereka hanya iri denganku karena kedekatanku dengan Edwin dan Joe.
Setapak demi setapak aku mencoba mulai
memasuki hutan. Walaupun ada rasa takut yang menghinggapiku, namun aku berusaha
mengerahkan seluruh keberanianku untuk dapat memasuki hutan itu tanpa seorang
teman pun.
Aku berjalan melewati danau, menuju ke
arah yang kiranya tempat pohon beringin tua itu tumbuh. Dari kejauhan aku
melihat pohon tua itu berdiri kokoh. Akar napasnya yang menjuntai ke bawah,
daun-daunnya yang sangat lebat dan batangnya yang besar, semakin menambah kesan
angker pada pohon itu. Apalagi bila mengingat cerita Louise bahwa di bawah
pohon itu ada kuburan tua.
Aku berjalan mengelilingi pohon itu.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat lima buah nisan di bawahnya. Luoise tidak
bohong. Kuburan itu benar-benar ada.
Aku menarik napas dan menghembuskannya
perlahan-lahan. Aku mengumpulkan segenap nyali dan kukerahkan seluruh tenagaku
untuk mendekati nisan itu dan membacanya satu per satu. Louise benar, salah
satu dari batu nisan itu memang ada yang telah patah dan tak terbaca
tulisannya.
Oh, Tuhan! Tidak! Ini tidak mungkin!
Aku menampar pipiku berulang kali
untuk memastikan bahwa yang terjadi saat ini hanya sebuah mimpi. Betapa
terperanjatnya aku saat membaca keempat nisan lainnya. Bagaimana tidak, semua
nama yang tertera di nisan itu adalah nama-nama yang sangat tidak asing bagiku.
Alice McBrown, Lindsay Hannah,
Christine Hannah, dan Jonathan Marcus.
Napasku sempat terhenti. Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku, berharap ini adalah mimpi. Tetapi sayangnya,
harapanku sia-sia. Ini adalah nyata.
Aku teringat kembali ketika Edwin
menggendongku. Saat itu pandanganku masih ke arah pohon ini dan melihat sesosok
laki-laki berdiri di sini. Ternyata perkiraanku benar, aku menngenali laki-laki
itu. Dia adalah Joe, Jonathan Marcus. Ya, jaket merah yang dipakainya saat itu
adalah jaket pemberianku sebagai kenang-kenangan dariku sebelum ia pindah.
Aku terdiam terpaku di tempat itu. Aku
menangis. Tubuhku lunglai. Aku terduduk di depan keempat nisan itu. Aku
menyesal atas Joe. Aku merasa sangat kehilangan dia. Aku baru menyadari kalau
Joe masih memendam perasaan itu, bahkan saat ia harus kehilangan nyawanya, ia
memakai jaket pemberianku.
Berulang kali aku mengucap maaf kepada
Joe dan berdoa dalam hati agar arwahnya dapat tenang.
“Maafkan aku, Sonia,” sebuah suara
mengucap namaku dari belakang.
Aku menoleh dan ternyata Joe, mungkin
lebih tepatnya hantu Joe. Dia nampak pucat. Masih menangis, aku menyeret diriku
mundur. Namun Joe terus maju selangkah demi selangkah.
“Ya, dulu aku pernah sangat manyayangimu.
Bahkan sampai aku mati pun aku masih menyayangimu. Namun, jika hari ini aku tak
bisa menjagamu, bukan karena aku tak menyayangimu. Aku sengaja membiarkanmu
datang ke sini karena kau adalah penyelamat, sekaligus korban berikutnya.”
Tubuhku yang semakin lunglai kupaksa
untuk berdiri, berjalan mundur perlahan menjauhi Joe. Tetapi Joe terus
mendekatiku berusaha memelukku.
“Tidak, Joe! Aku mohon, jangan,”
kataku memohon.
“Tidak, Sonia. Tidak ada pilihan lain,
aku harus melakukannya.”
“Maafkan aku, Joe. Aku tak bisa
membalas perasaanmu itu. Aku mohon, lepaskanlah aku. Biarkan aku pergi,” aku
berkata kepadanya sambil menangis.
“Tidak!”
“Jika kau menyayangiku, mengapa kau
tidak melepaskan saja aku ini?” tanyaku mencari-cari alasan dan mengulur-ulur
waktu untuk aku mengatur siasat mengambil langkah seribu.
“Karena aku menyayangimu, aku tak akan
membiarkanmu pergi dariku. Percaya atau tidak, kaulah penyelamatku dan akulah
penyelamatmu,” kata Joe menatapku tajam.
Ia terus mendekatiku. Aku pun terus
mundur dan mundur. Aku hampir terjebak di antara lekukan batang pohon itu. Namun,
tiba-tiba ada sebuah tangan yang menarik lenganku dan menyeretku untuk berlari
mengikutinya.
“Edwin? Terima kasih kau sudah
menolongku lagi,” kataku tersengal-sengal.
“Ini bukan saatnya untuk berterima
kasih. Ayo cepat pergi dari sini, kalau kau tidak ingin dicelakai olehnya!”
“Sonia, berhenti! Dialah manusia
serigalanya. Aku, Aline, Alice, Lindsay, dan Christine hanyalah arwah-arwah
malang yang bergentayangan yang ingin membalas dendam kepadanya. Kami semua tak
akan membiarkanmu terperangkap olehnya!” teriak Joe.
“Sonia, jangan hiraukan kata-katanya!
Dialah yang ingin mencelakaimu!” teriak Edwin.
Aku langsung menghentikan langkahku
dan melepaskan tangan Edwin. Aku berharap akal sehatku dapat berpikir jernih
dalam keadaan seperti ini. Aku berusaha berpikir mana perkataan yang harus aku
percaya. Apakah Edwin atau hantu Joe.
Di satu sisi, Edwin telah selalu
bersikap baik kepadaku. Tapi di sisi lain, Joe adalah teman kecilku. Di tak
mungkin mencelakaiku. Begitu pula dengan Alice, Aline, Lindsay, dan Christine.
Aku teringat mereka semua ingin aku menjauhi Edwin, mungkin karena mereka tahu
Edwin adalah seorang manusia serigala. Tapi, mereka juga pernah berkata
kepadaku agar aku menjauhi Joe.
Akal sehatku tak mampu berpikir
jernih. Tiba-tiba aku merasa pening yang luar biasa di kepalaku. Sedangkan
mereka terus dan terus mencoba membujukku supaya aku mengikuti mereka. Bahkan
mereka saling bertengkar dan adu mulut. Lalu aku putuskan untuk berlari ke arah
yang berbeda dengan arah yang mereka katakan. Aku akan mencari jalan pulang
sendiri.
Aku berlari secepat mungkin ke arah
yang entah menuju ke mana, aku pun tak tahu. Sementara itu, mereka masih
mengikutiku dari belakang. Tiba-tiba...
Bruk! Sepertinya aku terjatuh.
Kepalaku pusing sekali. Sekelilingku
kulihat gelap. Kakiku terasa sakit sekali. Setelah beberapa saat kemudian, aku
mulai membuka mataku. Melihat sekelilingku yang gelap dengan hawa yang sangat
lembap.
Aku menyeka cairan agak kental yang
mengalir di dahi, melewati pelipis. Ternyata darah segar keluar dari luka di
dahiku karena terbentur dinding batu saat aku terperosok tadi. Aku mencoba
untuk segera berdiri, tetapi kaki kiriku hampir tak bisa aku gerakkan. Rasanya
sakit sekali. Lalu aku mencoba berdiri lagi dengan bertumpu pada kaki kanan.
Ini lebih baik, walaupun sikut tangan kiriku terasa nyeri sekali.
Aku perlahan berjalan menyusuri lorong
yang gelap itu dengan tertatih-tertatih. Nafasku tersengal-sengal sesak karena
kelembapan udara di sini yang cukup tinggi. Dinding-dinding lorong ini basah
dan berlumut. Bau bangkai yang menyengat membuatku semakin sulit untuk
bernapas.
“Tuk..tuk..,” terdengar suara langkah
kaki dari arah depanku.
Jantungku berdegup kencang sekali.
Keringat dingin langsung mengucur deras, membasahi seluruh tubuhku. Napasku pun
semakin tersengal-sengal. Langkah itu semakin dekat dan semakin dekat.
“Edwin?”
Aku melongo melihat Edwin di
hadapanku. Sesaat aku merasa agak lebih lega, namun wajahnya yang biasa
tersenyum ramah kini berubah menjadi dingin. Sorot matanya yang tajam kini
menjadi lebih tajam dan menakutkan membuat jantungku kambali berdegup kencang. Kemudian
ia tersenyum padaku. Senyuman yang membuat aku gila dalam ketakutan yang
teramat sangat. Ia mulai tertawa. Semakin lama, tawanya semakin keras dan
melengking. Dan ia pun berubah menjadi manusia serigala.
Tubuhku gemetar melihatnya berubah
menjadi makhluk paling mengerikan yang pernah kulihat. Matanya yang cokelat
berubah menjadi merah menyala. Tubuhnya yang kurus berubah menjadi tubuh
manusia setengah serigala yang dipenuhi oleh bulu-bulu berwarna perak. Cakar
dan taringnya yang tajam membuat ia kelihatan sangat menakutkan. Suaranya yang
merdu kini berubah menjadi lengkingan yang mengerikan.
Kali ini aku tak mungkin lolos
darinya. Aku sudah tak punya sisa tenaga untuk berlari, apalagi dengan kondisi
kakiku yang terkilir ini. Sudah tak mungkin lagi.
Tiba-tiba aku merasa seperti
melayang-layang, terbang menjauhi manusia serigala itu. Aku terbang menjauh
cepat sekali. Dan akhirnya aku tersadar bahwa hantu Joe menggendongku terbang
menjauhinya, menuju sebuah tempat yang sebelumnya belum pernah aku kenali. Ia
menggendongku menuju sebuah sungai. Manusia serigala itu masih mengikutiku.
Lolongannya yang melengking memekakkan telinga membuat bulu kudukku berdiri.
Aku bergidik mendengarnya.
Hantu Joe menurunkan aku di tepian
sungai itu dan kemudia berkata, “Cepat kau seberangi sungai itu! Tidak ada
waktu lagi! Dia juga akan membunuhmu jika kau tak bisa lolos darinya!”
“Bagaimana caranya? Sungai ini terlalu
deras! Mengapa kau tak menggendongku lagi saja?” tanyaku sambil berteriak.
Derasnya air sungai itu hampir membuat suaraku tak terdengar.
“Tidak bisa! Sungai ini telah dikutuk
untuk para hantu. Kau dan aku tak akan bisa bersentuhan saat berada di atas
sungai ini. Apa kau mau kau terjatuh di tengah-tengah sungai ini?” kata Joe
kepadaku kesal.
Aku memandangi arus air sungai yang
begitu deras. Kalau aku terjatuh ke sini, maka aku akan hilang dan tak akan
pernah ditemukan. Lalu aku melihat manusia serigala yang meraung dan melolong
marah itu sedang berlari dengan jarak sekitar sepuluh atau dua belas meter saja
dariku.
Tanpa pikir panjang lagi, aku
mencari-cari akal bagaimana supaya aku bisa sampai di ujung sana tanpa dibantu
oleh hantu Joe. Untungnya di atas sungai itu ada dua batang pohon yang tumbuhnya
berseberangan saling berdekatan. Aku langsung memanjat salah satu dari pohon
itu yang letaknya dekat denganku dan mulai merambat melewati sungi itu. Air
sungai itu tiba-tiba berubah menjadi bergelembung, berwarna merah seperti
darah. Terdengar pula jeritan-jeritan dan tangisan dari sungai di bawahku.
Manusia serigala itu pun masih terus
mengikutiku dari belakang. Ia merambati batang pohon yang ku rambati juga. Saat
berada tepat di tengah sungai aku tergelincir dan hampir jatuh. Untungnya
tanganku masih tergelantung di batang pohon itu. Aku bergelantungan perlahan
mendekati pangkal pohon di seberangku. Manusia serigala di balakangku pun ikut
tergelincir tetapi ia masih berhasil menggantungkan tangannya seperti aku.
Sesampainya di pinggir sungai itu, aku
merasakan kesakitan yang luar biasa di lengan kiriku. Dan aku pun berhenti
menggelantung.
“Joe, aku tak sanggup lagi. Tanganku
sakit sekali,” aku merintih.
“Ayo, Sonia! Kau pasti bisa! Maju dua
langkah lagi, baru aku bisa menggendongmu!”
Dengan hati yang amat pasrah, aku
mengikuti kata-kata Joe. Meskipun tanganku sakit sekali, aku berusaha sekuat
tenagaku untuk melakukannya. Namun baru saja aku maju selangkah, batang pohon
yang tepat di tengah-tengah sungai itu patah. Secepat mungkin aku meneruskan
maju hingga selangkah lagi dan menjatuhkan badanku dekat pohon di tepian
sungai. Manusia serigala itu pun terjatuh ke sungai sambil melolong panjang.
Hantu Joe menggendongku dan merebahkan tubuhku di tepian sungai. Air sungai itu
pun kembali berubah menjadi air sungai biasa. Tetapi arusnya sedikit lebih
deras.
Aku lega, akhirnya aku berhasil lolos
juga dari manusia serigala itu. Aku melihat Joe yang tersenyum kepadaku. Aku
membalas senyuman itu dengan napas yang masih tersengal-sengal.
“Terima kasih, Sonia. Akhirnya kami,
para arwah korban manusia serigala itu, bisa beristirahat dengan tenang. Kami
tak akan melupakan jasamu ini,” kata Joe kepadaku.
“Ya, sama-sama, Joe. Terima kasih atas
bantuanmu. Kalau tidak ada kau, aku pasti sudah mati di tangannya.”
Kemudian Joe mengucapkan selamat
tinggal dan terbang ke atas menuju langit sambil melambaikan tangannya
kepadaku. Dia juga berkata bahwa cepat atau lambat, kita pasti akan bertemu
lagi.
Beberapa saat kemudian sebuah
pertanyaan muncul di benakku. Bagaimana aku bisa kembali ke perkemahan?
Oh, Tuhan! Apa yang aku lakukan?
Aku bergegas bangkit dan memperhatikan
sekelilingku. Ada sebuah papan kayu kecil yang terpaku di sebatang pohon besar
yang letaknya agak dekat dengan tepian sungai itu. Aku berharap itu adalah
tulisan penunjuk jalan atau perkemahan di seberang sungai ini.
Dalam keremangan malam dan hanya
bercahayakan bulan, aku berusaha keras untuk dapat membaca tulisan itu. Bentuk
tulisan itu seperti bentuk tulisan yang tertera di bus Greenmount Camping.
Aku perhatikan dengan seksama dan
mulai membacanya pelan-pelan, “Selamat, Anda telah bergabung dengan kami....”
Lalu aku membaca tulisan yang ukurannya lebih kecil di bawahnya, “Aline
Rosemarie, Alice McBrown, Lindsay
Hannah, Christine Hannah, Jonathan Marcus.”
TAMAT
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar