Sabtu, 14 Maret 2015

Perkemahan Greenmount (bagian 2-habis)

Malam itu, acara api unggun perkemahan Greenmount dipenuhi celoteh para peserta tentang manusia serigala. Mereka saling berbicara hal-hal yang mengerikan mengenai peristiwa-peristiwa pembantaian manusia serigala dan hilangnya peserta perkemahan Greenmount setiap tahunnya.
            “Kau tahu, manusia serigala itu menyukai warna merah. Jadi menurutku, kaulah yang akan disantap terlebih dahulu oleh mereka,” kata seorang anak laki-laki bertubuh kurus dan berpipi tirus di sampingku. Ia sedang menakut-nakuti anak laki-laki yang bertubuh gendut berjaket merah di sebelahnya lagi, yang kalau tidak salah bernama Willy. Lalu mereka pergi ke tempat agak jauh dari tempat dudukku.
            Willy nampaknya sangat ketakutan. Ia sempat berhenti sesaat memakan cokelatnya. Namun kemudian melanjutkan lagi dengan wajah merah menahan tangis. Ia memang cengeng. Di sini bisa dikatakan ia paling terkenal cengeng dan senang sekali dengan warna merah.
            Semenjak kejadian itu, aku dan Edwin seperti dua insan yang hampir tak pernah terpisahkan. Ia selalu menjagaku, menemaniku ke mana pun aku pergi, dan ia selalu menghiburku agar aku lekas bisa melupakan kejadian itu. Ia pernah berkata kepadaku bahwa ia tak akan pernah bisa memaafkan dirinya jika sampai ada hal yang tidak diinginkan menimpaku, karena dialah yang mengajakku mengikuti perkemahan ini. Dalam hati aku memujinya, dia benar-benar seorang laki-laki yang bertanggung jawab.
            Di seberangku, aku melihat Alice, Aline, Lindsay, dan si Kembar Hannah sedang asyik bercanda tanpa aku. Sesekali mereka melihatku dengan pandangan benci. Aku tak tahu mengapa mereka seperti itu. Aku memang pernah mengira bahwa merekalah manusia serigala itu, tetapi Edwin yang bicara sendiri padaku bahwa mereka yang memberi tahu para panitia untuk mencariku dan mereka juga mendapat hukuman karena ulahku itu. Ada perasaan bersalah yang sangat besar di hatiku. Aku sudah berusaha untuk meminta maaf kepada mereka, tetapi mereka hanya diam tak mengacuhkanku lagi.
            Aku melihat para peserta dan panitia yang berkumpul mengelilingi api unggun. Aku melihat ada kejanggalan. Ada seseorang yang biasa kulihat, namun dalam acara kali ini tak kulihat.
            Ke mana Joe? Apa dia sakit? Atau dia sudah pulang karena ada kepentingan lain? Atau dia sedang menyiapkan sesuatu di tenda dengan beberapa peserta lainnya? Atau dia sudah tidur karena kelelahan dan mengantuk?
            Seribu pertanyaan muncul di benakku. Entah mengapa beberapa hari ini aku jarang melihat Joe. Sekalipun aku bertemu dengannya, kami tak sempat untuk berbicara dan bercerita panjang lebar, mungkin hanya sebuah senyuman atau sapaan.
            Edwin rupanya sedang asyik mendengarkan lagu-lagu kesayangannya dari mp4-nya. Sedangkan aku asyik memperhatikan peserta-peserta yang lain sambil menguping pembicaraan mereka. Walaupun di tengah kami sang ketua panitia sedang berbicara.
            “Teman, aku baru saja mendapat informasi tentang peristiwa berdarah itu,” kata Louise, panitia baru yang duduk di sebelah Shally.
            “Apa? Kenapa sih kalian senang sekali membicarakan itu? Memangnya tidak ada topik pembicaraan yang lebih menarik?” gerutu Shally.
            “Mereka, para korban yang hilang, sebenarnya tidak hilang. Tetapi mereka telah dikuburkan oleh manusia serigala itu sendiri,” lanjut Louise dengan nada bicara yang misterius.
            “Masa sih?” tanya seorang peserta cowok yang ternyata ikut menguping pembicaraan itu.
            “Iya, aku tidak bohong. Aku melihat kuburan mereka sendiri di hutan.”
            Bergidik aku mendengarnya. Buat apa korban-korban itu dibunuh dan dikuburkan? Mengapa mereka tak memakannya saja? Bukankah para tubuh para koraban cukup mengganjal perut mereka bila mereka santap?
            “Di mana letak kuburan itu?” tanya Shally penasaran.
            “Di bawah pohon beringin tua, tempat Sonia ditemukan.”
            “Sssstt...jangan keras-keras, nanti Sonia dengar. Dia kan sedang duduk di dekat kita. Nanti kalau dia dengar, di pasti melaporkannya kepada Edwin. Dia kan anak tukang mengadu,” kata Shally menjelek-jelekkan aku.
            “Di situ ada beberapa kuburan yang sudah tua. Satu dari beberapa nisannya telah patah, tetapi ada pula yang masih jelas tulisannya.”
            “Siapa? Siapa yang dikubur di situ?” tanya Shally lagi.
            “Aku tidak tahu. Kemarin aku belum sempat membacanya karena Sonia dan Edwin telah meninggalkan aku sebelum aku sempat membaca nisan itu. Aku kan juga takut bila ditinggal di hutan itu sendirian. Hiiii....,” jelas Louise.
            Mereka bertiga kemudian bergegas pergi entah ke mana. Di deretan kami, hanya tinggal aku dan Edwin yang masih duduk-duduk di depan perapian itu. Sebagian peserta yang lain meninggalkan tempat itu. Beberapa ada yang kembali ke pondok, berkumpul di bawah pohon dan membuat api unggun sendiri.
            “Kau tidak kembali ke pondok?” tanya Aline tiba-tiba. Ia menghampiri aku dari arah belakang.
Aku sampat terkejut dengan pertanyaan Aline. Ku kira dia tidak akan pernah mau mengenaliku lagi. Walaupun nada bicaranya masih dingin, tetapi ini sudah lebih dari cukup bagiku karena berarti aku tidak kehilangan satu teman baikku.
“Memangnya sudah boleh?” tanyaku.
“Kau tidak mendengarkan apa disampaikan oleh ketua panitia tadi?” Aline bertanya kepadaku kesal. “Teman-temanmu sudah kembali semua. Apa kau tidak takut bila nanti kau kembali ke pondok sendirian ditemani manusia serigala?” lanjutnya.
            “Eh, iya. Aku akan kembali ke pondok sekarang juga,” kataku sambil bangkit. “Edwin, aku kembali ke pondok dulu, ya.”
            “Perlu aku temani?” Edwin menjawabku sambil melepas salah satu headsetnya.
            “Tidak. Terima kasih.”
            Kemudian aku berjalan menuju pondokku. Sesampainya aku di depan pintu, Aline memanggilku. Rupanya ia membuntutiku dari belakang.
            “Sonia, maafkan aku. Aku tak bermaksud memusuhimu. Aku tahu ini semua memang salahku. Kalau saja aku tidak bercerita tentang manusia serigala itu, kau pasti tidak akan lari ketakutan karena kami mengerjaimu, menakut-nakutimu. Kami cuma bercanda, kok,” kata Aline panjang lebar.
            “Tidak, Aline. Aku yang salah. Aku ini benar-benar penakut, ya. Hal seperti itu saja sudah membuatku lari terbirit-birit,” ucapku sambil tertawa kacil.
            Aku merasa sangat bersalah kepada mereka, terutama kepada Aline karena dia dahulu yang berani menegurku setelah kejadian itu.
            “Sonia, tetapi aku tetap berharap kau bisa menjaga dirimu baik-baik. Perkemahan ini bukan perkemahan yang seharusnya kau ikuti untuk mengisi hari liburmu di musim panas.”
            Aline menatapku serius. Belum pernah aku mendapati Aline yang seserius ini. Matanya menerawang menatapku tajam.
            “Tenang saja, jangan khawatir. Aku akan jaga diriku baik-baik. Kan ada Edwin yang senantiasa menjagaku.”
            “Tidak!!!” balas Aline cepat. “Kau tidak boleh mendekati Edwin! Jangan pernah berdekatan lagi dengannya!”
            “Kenapa?”
            “Pokoknya jangan! Atau aku tak sudi lagi melihatmu?”
            Aline cepat-cepat pergi meninggalkanku. Aku bingung dengan semua ini. Mengapa Aline tiba-tiba menjadi sangat baik dan berusaha untuk menegurku lebih dahulu padahal setahuku dia mempunyai gengsi yang besar, lalu memarahiku dan mengancamku untuk tidak dekat dengan Edwin lagi? Apakah ada yang salah dengan Ewdin? Atau dengan hubungan kami berdua?



 “Apa-apaan kau ini, Lindsay?!” bentakku.
“Apa, katamu? Kau jelas-jelas sudah mengkhianati aku! Kau masih juga bertanya apa maksudku?!” balas Lindsay.
Pagi itu emosiku meluap-luap. Bagaimana tidak, ia telah merebut gelang pemberian Edwin dan membanting ponselku agar aku tidak berhubungan dengan Edwin lagi.
“Mengkhianatimu? Mengkhianati apa?”
“Kau telah merebut Edwin dariku! Kau juga merebut Joe dari Alice! Dasar pengkhianat?”
“Kau tidak pernah berkata apa-apa padaku tentang perasaanmu terhadap Edwin. Dan aku tidak pernah merebut Joe dari siapa pun!”
“Baik, kalau begitu. Sekarang, semuanya dengarkan aku. Aku mencintai Edwin. Aku mencintai Edwin lebih dulu daripada dia! Dia, Sonia Johnson telah merebut Edwin dariku! Dia memang pengkhianat! Sonia pengkhianat!” teriak Lindsay dari atas ranjangnya sambil mengarahkan jari telunjuknya kepadaku.
Alice dan Christine hanya diam. Mereka menunduk dan terpaku diam di ranjangnya masing-masing. Mereka semua tidak ada yang membelaku maupun membela Lindsay. Mereka hanya diam seperti patung dan saling melirik..
Aku cepat-cepat pergi meninggalkan kamar, pergi keluar tanpa arah yang dituju. Air mataku berlinangan membasahi pipiku. Aku sudah menghapusnya berulang kali dengan punggung tanganku, namun mataku rasanya tak ingin berhenti mengalirkannya.
Kenapa mereka, terutama Lindsay jahat sekali padaku? Sebenarnya, apa sih maunya? Kenapa Alice dan Christine diam saja, tidak melerai kami berdua? Begitu pula Aline, dia sama saja menyebalkannya dengan Lindsay. Seribu perasaan kesal bercampur sedih berkecamuk di hatiku.
Tiba-tiba aku teringat dengan pembicaraan antara Shally dan Louise tadi malam. Mungkin ini saatnya aku memastikan bahwa mereka sebenarnya adalah orang baik-baik. Mereka bukan manusia serigala. Mereka hanya iri denganku karena kedekatanku dengan Edwin dan Joe.
Setapak demi setapak aku mencoba mulai memasuki hutan. Walaupun ada rasa takut yang menghinggapiku, namun aku berusaha mengerahkan seluruh keberanianku untuk dapat memasuki hutan itu tanpa seorang teman pun.
Aku berjalan melewati danau, menuju ke arah yang kiranya tempat pohon beringin tua itu tumbuh. Dari kejauhan aku melihat pohon tua itu berdiri kokoh. Akar napasnya yang menjuntai ke bawah, daun-daunnya yang sangat lebat dan batangnya yang besar, semakin menambah kesan angker pada pohon itu. Apalagi bila mengingat cerita Louise bahwa di bawah pohon itu ada kuburan tua.
Aku berjalan mengelilingi pohon itu. Betapa terkejutnya aku ketika melihat lima buah nisan di bawahnya. Luoise tidak bohong. Kuburan itu benar-benar ada.
Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Aku mengumpulkan segenap nyali dan kukerahkan seluruh tenagaku untuk mendekati nisan itu dan membacanya satu per satu. Louise benar, salah satu dari batu nisan itu memang ada yang telah patah dan tak terbaca tulisannya.
Oh, Tuhan! Tidak! Ini tidak mungkin!
Aku menampar pipiku berulang kali untuk memastikan bahwa yang terjadi saat ini hanya sebuah mimpi. Betapa terperanjatnya aku saat membaca keempat nisan lainnya. Bagaimana tidak, semua nama yang tertera di nisan itu adalah nama-nama yang sangat tidak asing bagiku.
Alice McBrown, Lindsay Hannah, Christine Hannah, dan Jonathan Marcus.
Napasku sempat terhenti. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, berharap ini adalah mimpi. Tetapi sayangnya, harapanku sia-sia. Ini adalah nyata.
Aku teringat kembali ketika Edwin menggendongku. Saat itu pandanganku masih ke arah pohon ini dan melihat sesosok laki-laki berdiri di sini. Ternyata perkiraanku benar, aku menngenali laki-laki itu. Dia adalah Joe, Jonathan Marcus. Ya, jaket merah yang dipakainya saat itu adalah jaket pemberianku sebagai kenang-kenangan dariku sebelum ia pindah.
Aku terdiam terpaku di tempat itu. Aku menangis. Tubuhku lunglai. Aku terduduk di depan keempat nisan itu. Aku menyesal atas Joe. Aku merasa sangat kehilangan dia. Aku baru menyadari kalau Joe masih memendam perasaan itu, bahkan saat ia harus kehilangan nyawanya, ia memakai jaket pemberianku.
Berulang kali aku mengucap maaf kepada Joe dan berdoa dalam hati agar arwahnya dapat tenang.
“Maafkan aku, Sonia,” sebuah suara mengucap namaku dari belakang.
Aku menoleh dan ternyata Joe, mungkin lebih tepatnya hantu Joe. Dia nampak pucat. Masih menangis, aku menyeret diriku mundur. Namun Joe terus maju selangkah demi selangkah.
 “Ya, dulu aku pernah sangat manyayangimu. Bahkan sampai aku mati pun aku masih menyayangimu. Namun, jika hari ini aku tak bisa menjagamu, bukan karena aku tak menyayangimu. Aku sengaja membiarkanmu datang ke sini karena kau adalah penyelamat, sekaligus korban berikutnya.”
Tubuhku yang semakin lunglai kupaksa untuk berdiri, berjalan mundur perlahan menjauhi Joe. Tetapi Joe terus mendekatiku berusaha memelukku.
“Tidak, Joe! Aku mohon, jangan,” kataku memohon.
“Tidak, Sonia. Tidak ada pilihan lain, aku harus melakukannya.”
“Maafkan aku, Joe. Aku tak bisa membalas perasaanmu itu. Aku mohon, lepaskanlah aku. Biarkan aku pergi,” aku berkata kepadanya sambil menangis.
“Tidak!”
“Jika kau menyayangiku, mengapa kau tidak melepaskan saja aku ini?” tanyaku mencari-cari alasan dan mengulur-ulur waktu untuk aku mengatur siasat mengambil langkah seribu.
“Karena aku menyayangimu, aku tak akan membiarkanmu pergi dariku. Percaya atau tidak, kaulah penyelamatku dan akulah penyelamatmu,” kata Joe menatapku tajam.
Ia terus mendekatiku. Aku pun terus mundur dan mundur. Aku hampir terjebak di antara lekukan batang pohon itu. Namun, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menarik lenganku dan menyeretku untuk berlari mengikutinya.
“Edwin? Terima kasih kau sudah menolongku lagi,” kataku tersengal-sengal.
“Ini bukan saatnya untuk berterima kasih. Ayo cepat pergi dari sini, kalau kau tidak ingin dicelakai olehnya!”
“Sonia, berhenti! Dialah manusia serigalanya. Aku, Aline, Alice, Lindsay, dan Christine hanyalah arwah-arwah malang yang bergentayangan yang ingin membalas dendam kepadanya. Kami semua tak akan membiarkanmu terperangkap olehnya!” teriak Joe.
“Sonia, jangan hiraukan kata-katanya! Dialah yang ingin mencelakaimu!” teriak Edwin.
Aku langsung menghentikan langkahku dan melepaskan tangan Edwin. Aku berharap akal sehatku dapat berpikir jernih dalam keadaan seperti ini. Aku berusaha berpikir mana perkataan yang harus aku percaya. Apakah Edwin atau hantu Joe.
Di satu sisi, Edwin telah selalu bersikap baik kepadaku. Tapi di sisi lain, Joe adalah teman kecilku. Di tak mungkin mencelakaiku. Begitu pula dengan Alice, Aline, Lindsay, dan Christine. Aku teringat mereka semua ingin aku menjauhi Edwin, mungkin karena mereka tahu Edwin adalah seorang manusia serigala. Tapi, mereka juga pernah berkata kepadaku agar aku menjauhi Joe.
Akal sehatku tak mampu berpikir jernih. Tiba-tiba aku merasa pening yang luar biasa di kepalaku. Sedangkan mereka terus dan terus mencoba membujukku supaya aku mengikuti mereka. Bahkan mereka saling bertengkar dan adu mulut. Lalu aku putuskan untuk berlari ke arah yang berbeda dengan arah yang mereka katakan. Aku akan mencari jalan pulang sendiri.
Aku berlari secepat mungkin ke arah yang entah menuju ke mana, aku pun tak tahu. Sementara itu, mereka masih mengikutiku dari belakang. Tiba-tiba...
Bruk! Sepertinya aku terjatuh.
Kepalaku pusing sekali. Sekelilingku kulihat gelap. Kakiku terasa sakit sekali. Setelah beberapa saat kemudian, aku mulai membuka mataku. Melihat sekelilingku yang gelap dengan hawa yang sangat lembap.
Aku menyeka cairan agak kental yang mengalir di dahi, melewati pelipis. Ternyata darah segar keluar dari luka di dahiku karena terbentur dinding batu saat aku terperosok tadi. Aku mencoba untuk segera berdiri, tetapi kaki kiriku hampir tak bisa aku gerakkan. Rasanya sakit sekali. Lalu aku mencoba berdiri lagi dengan bertumpu pada kaki kanan. Ini lebih baik, walaupun sikut tangan kiriku terasa nyeri sekali.
Aku perlahan berjalan menyusuri lorong yang gelap itu dengan tertatih-tertatih. Nafasku tersengal-sengal sesak karena kelembapan udara di sini yang cukup tinggi. Dinding-dinding lorong ini basah dan berlumut. Bau bangkai yang menyengat membuatku semakin sulit untuk bernapas.
“Tuk..tuk..,” terdengar suara langkah kaki dari arah depanku.
Jantungku berdegup kencang sekali. Keringat dingin langsung mengucur deras, membasahi seluruh tubuhku. Napasku pun semakin tersengal-sengal. Langkah itu semakin dekat dan semakin dekat.
“Edwin?”
Aku melongo melihat Edwin di hadapanku. Sesaat aku merasa agak lebih lega, namun wajahnya yang biasa tersenyum ramah kini berubah menjadi dingin. Sorot matanya yang tajam kini menjadi lebih tajam dan menakutkan membuat jantungku kambali berdegup kencang. Kemudian ia tersenyum padaku. Senyuman yang membuat aku gila dalam ketakutan yang teramat sangat. Ia mulai tertawa. Semakin lama, tawanya semakin keras dan melengking. Dan ia pun berubah menjadi manusia serigala.
Tubuhku gemetar melihatnya berubah menjadi makhluk paling mengerikan yang pernah kulihat. Matanya yang cokelat berubah menjadi merah menyala. Tubuhnya yang kurus berubah menjadi tubuh manusia setengah serigala yang dipenuhi oleh bulu-bulu berwarna perak. Cakar dan taringnya yang tajam membuat ia kelihatan sangat menakutkan. Suaranya yang merdu kini berubah menjadi lengkingan yang mengerikan.
Kali ini aku tak mungkin lolos darinya. Aku sudah tak punya sisa tenaga untuk berlari, apalagi dengan kondisi kakiku yang terkilir ini. Sudah tak mungkin lagi.
Tiba-tiba aku merasa seperti melayang-layang, terbang menjauhi manusia serigala itu. Aku terbang menjauh cepat sekali. Dan akhirnya aku tersadar bahwa hantu Joe menggendongku terbang menjauhinya, menuju sebuah tempat yang sebelumnya belum pernah aku kenali. Ia menggendongku menuju sebuah sungai. Manusia serigala itu masih mengikutiku. Lolongannya yang melengking memekakkan telinga membuat bulu kudukku berdiri. Aku bergidik mendengarnya.
Hantu Joe menurunkan aku di tepian sungai itu dan kemudia berkata, “Cepat kau seberangi sungai itu! Tidak ada waktu lagi! Dia juga akan membunuhmu jika kau tak bisa lolos darinya!”
“Bagaimana caranya? Sungai ini terlalu deras! Mengapa kau tak menggendongku lagi saja?” tanyaku sambil berteriak. Derasnya air sungai itu hampir membuat suaraku tak terdengar.
“Tidak bisa! Sungai ini telah dikutuk untuk para hantu. Kau dan aku tak akan bisa bersentuhan saat berada di atas sungai ini. Apa kau mau kau terjatuh di tengah-tengah sungai ini?” kata Joe kepadaku kesal.
Aku memandangi arus air sungai yang begitu deras. Kalau aku terjatuh ke sini, maka aku akan hilang dan tak akan pernah ditemukan. Lalu aku melihat manusia serigala yang meraung dan melolong marah itu sedang berlari dengan jarak sekitar sepuluh atau dua belas meter saja dariku.
Tanpa pikir panjang lagi, aku mencari-cari akal bagaimana supaya aku bisa sampai di ujung sana tanpa dibantu oleh hantu Joe. Untungnya di atas sungai itu ada dua batang pohon yang tumbuhnya berseberangan saling berdekatan. Aku langsung memanjat salah satu dari pohon itu yang letaknya dekat denganku dan mulai merambat melewati sungi itu. Air sungai itu tiba-tiba berubah menjadi bergelembung, berwarna merah seperti darah. Terdengar pula jeritan-jeritan dan tangisan dari sungai di bawahku.
Manusia serigala itu pun masih terus mengikutiku dari belakang. Ia merambati batang pohon yang ku rambati juga. Saat berada tepat di tengah sungai aku tergelincir dan hampir jatuh. Untungnya tanganku masih tergelantung di batang pohon itu. Aku bergelantungan perlahan mendekati pangkal pohon di seberangku. Manusia serigala di balakangku pun ikut tergelincir tetapi ia masih berhasil menggantungkan tangannya seperti aku.
Sesampainya di pinggir sungai itu, aku merasakan kesakitan yang luar biasa di lengan kiriku. Dan aku pun berhenti menggelantung.
“Joe, aku tak sanggup lagi. Tanganku sakit sekali,” aku merintih.
“Ayo, Sonia! Kau pasti bisa! Maju dua langkah lagi, baru aku bisa menggendongmu!”
Dengan hati yang amat pasrah, aku mengikuti kata-kata Joe. Meskipun tanganku sakit sekali, aku berusaha sekuat tenagaku untuk melakukannya. Namun baru saja aku maju selangkah, batang pohon yang tepat di tengah-tengah sungai itu patah. Secepat mungkin aku meneruskan maju hingga selangkah lagi dan menjatuhkan badanku dekat pohon di tepian sungai. Manusia serigala itu pun terjatuh ke sungai sambil melolong panjang. Hantu Joe menggendongku dan merebahkan tubuhku di tepian sungai. Air sungai itu pun kembali berubah menjadi air sungai biasa. Tetapi arusnya sedikit lebih deras.
Aku lega, akhirnya aku berhasil lolos juga dari manusia serigala itu. Aku melihat Joe yang tersenyum kepadaku. Aku membalas senyuman itu dengan napas yang masih tersengal-sengal.
“Terima kasih, Sonia. Akhirnya kami, para arwah korban manusia serigala itu, bisa beristirahat dengan tenang. Kami tak akan melupakan jasamu ini,” kata Joe kepadaku.
“Ya, sama-sama, Joe. Terima kasih atas bantuanmu. Kalau tidak ada kau, aku pasti sudah mati di tangannya.”
Kemudian Joe mengucapkan selamat tinggal dan terbang ke atas menuju langit sambil melambaikan tangannya kepadaku. Dia juga berkata bahwa cepat atau lambat, kita pasti akan bertemu lagi.
Beberapa saat kemudian sebuah pertanyaan muncul di benakku. Bagaimana aku bisa kembali ke perkemahan?
Oh, Tuhan! Apa yang aku lakukan?
Aku bergegas bangkit dan memperhatikan sekelilingku. Ada sebuah papan kayu kecil yang terpaku di sebatang pohon besar yang letaknya agak dekat dengan tepian sungai itu. Aku berharap itu adalah tulisan penunjuk jalan atau perkemahan di seberang sungai ini.
Dalam keremangan malam dan hanya bercahayakan bulan, aku berusaha keras untuk dapat membaca tulisan itu. Bentuk tulisan itu seperti bentuk tulisan yang tertera di bus Greenmount Camping. 
Aku perhatikan dengan seksama dan mulai membacanya pelan-pelan, “Selamat, Anda telah bergabung dengan kami....” Lalu aku membaca tulisan yang ukurannya lebih kecil di bawahnya, “Aline Rosemarie, Alice McBrown, Lindsay  Hannah, Christine Hannah, Jonathan Marcus.”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar