Sabtu, 14 Maret 2015

Perkemahan Greenmount (bagian 1)

Musim panas kali ini terasa sangat membosankan. Aku hanya bisa berdiam diri di rumah. Ayah menghukumku karena aku memecahkan guci kesayangannya ketika aku tersandung kaki Jack. Sebenarnya aku tidak bersalah, sama sekali tidak. Jack yang sengaja menyandung kakiku. Padahal aku sudah meminta maaf kepada ayah dan menjelaskan bahwa itu adalah kesalahan Jack, bukan kesalahanku. Tetapi, tetap saja, ayah menghukumku dan menyalahkan aku karena ayah pikir kalau Jack masih terlalu kecil untuk dihukum dan disalahkan.
            Ini sungguh tidak adil, gerutuku dalam hati.
            Aku melihat Jack bermain di luar, di sebuah lapangan kecil yang gersang di samping rumah kami. Ia bermain bola bersama Edwin, tetangga kami. Edwin adalah seorang laki-laki yang tampan dan sangat menarik. Tingkah lakunya sangat santun dan ia juga ramah. Walaupun terkadang, entah mengapa, aku merasa ada keanehan dalam diri Edwin yang aku pun tak tahu apa itu. Tetapi, aku tetap menyukainya.
            Sesekali Jack menoleh ke arahku. Matanya menatapku menerobos jendela kamar yang sengaja ku buka lebar-lebar untuk menarik perhatian Edwin, meskipun usahaku ini tidak berhasil. Jack melirik ke arahku dengan tatapan mengejek. Aku jengkel melihat tingkahnya. Ini semua kan gara-gara dia. Kalau saja waktu itu dia tidak menjahiliku dengan sengaja menyandungkan kakinya ke kakiku hingga aku terjatuh menabrak guci kesayangan ayah hingga jatuh dan pecah, pasti aku yang berada di sana bersama Edwin.
            “Hhh...,” aku menghela napas dan merebahkan separuh badanku di atas ranjang dengan kedua kakiku masih menggantung di pinggirannya.
            Aku menatap ke langit-langit membayangkan Edwin, sosok cowok termanis yang pernah aku temui. Aku membayangkan jika saja dia datang ke rumah untuk mengunjungiku.
            “Ah, senangnya...,” kataku lirih sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Maaf, apa aku mengganggumu?” tanya seseorang dari jendela kamarku.
Suaranya bagus, aku memuji dalam hati.
Aku langsung bangun dari tempat tidurku yang mengahdap ke jendela, dan...
“E...Edwin? Kau bertanya padaku?” tanyaku sedikit tergagap dan malu. Jantungku langsung berdebar-debar keras sekali.
“Ya, tentu. Bukankah di kamar ini hanya ada kau?”
Ia tersenyum. Senyumannya manis sekali. Bahkan jauh lebih manis dari madu, gula, atau pemanis apa pun.
“Aku mengganggumu, ya?” ia mengulang pertanyaannya.
“Uh, eh, oh, tidak. Tidak sama sekali,” jawabku gugup. Aku berjalan menuju jendela mendekatinya. Ini pertama kalinya aku salah tingkah di hadapan cowok yang aku sukai.
“Kenapa kau tidak bermain-main di luar? Ini kan liburan musim panas. Atau kau memang lebih senang menghabiskan waktu liburan di dalam rumah?”tanya Edwin ramah.
“Aku...aku...”
Tiba-tiba Jack datang dari belakang Edwin dan menyela perkataanku, “Dia kan sedang mendapat hukuman dari ayah! Hahaha.......”
Jack tertawa terbahak-bahak. Dia terlihat sangat puas dengan hukuman yang ayah berikan kepadaku.
“Diam, bodoh! Ini semua gara-gara kau! Kau yang sengaja menyandung kakiku. Kau kira aku tidak tahu, hah?”
Jack cepat-cepat berbalik dan memukul-mukul pantatnya yang ia hadapkan ke arahku. Kemudian ia berlari, pergi entah ke mana.
Brengsek, kurangajar, aku mengumpat dalam hati.
Edwin tergeleng-geleng melihat ulah Jack yang konyol dan yang membuatku kesal, ia tertawa kecil melihat pertengkaranku dengan Jack. Sebenarnya memang tak pantas gadis berumur tujuh belas tahun sepertiku bertengkar dengan anak lak-laki berumur delapan tahun seperti Jack. Tetapi, ini semua tidak akan terjadi kalu dia tidak menjahiliku lebih dulu.
Aku yang malu setengah mati jadi serba salah tingkah. wajahku pun memerah. Edwin menghadapku lagi dan aku hanya bisa meringis malu.
“Benarkah yang dikatakan Jack? Kalau begitu, bagaimana jika aku meminta izin kepada orang tuamu agar kau menemaniku pada acara perkemahan musim panas di Greenmount? Kau mau kan pergi denganku?”
Apa? Edwin mengajakku pergi berkemah? Mimpi apa aku semalam. Ini bagaikan tertimpa rembulan jatuh. Benar-benar tak dapat dipercaya.
“Su..sungguh?” tanyaku terbata-bata.
“Tapi kalau kau tidak keberatan,” jawabnya sambil tersenyum.
“Oke. Tapi kau saja ya, yang bicara pada orang tuaku,” ujarku menyetujuinya.
Dia hanya mengangguk pasti. Masih sambil tersenyum dia meminta izin memohon diri. Katanya, sebentar lagi ia ada kepentingan. Kemudian ia berjalan menjauh menuju ke rumahnya sambil melambaikan tangan kanannya kepadaku.
Aku masih di depan jendela mengamati rumah Edwin yang lebih besar dan tentunya lebih megah dari rumah kami. Rumah Edwin yang bercat merah itu mengingatkanku pada seseorang, yaitu Joe, teman kecilku sekaligus teman terbaikku. Tapi, aku tak tahu di mana ia sekarang.
Beberapa saat kemudian  seperti biasanya, Edwin dan keluarganya pergi menuju ke arah barat. Dan ini sudah ke beberapa kalinya aku menyaksikannya. Jadi sudah tidak heran dengan kebiasaan keluarganya. Mereka bilang, mereka itu hanya sekedar hobi mereka berjalan-jalan di petang hari.


Siang ini sangat panas, gerutuku dalam hati.
Aku baru saja membeli buah-buahan dan sayuran di supermarket. Hari ini ibu tidak bisa berbelanja karena sakit, jadi aku yang menggantikannya berbelanja. Meskipun harus berpanas-panas dengan terik matahari yang menyengat, tetapi aku senang karena akhirnya aku bisa keluar dari rumah walau hanya untuk sekedar berbelanja.
Aku berbelok ke arah kiri dari supermarket tempat ibu biasa berbelanja menuju halte bus. Aku berharap aku tidak ketinggalan bus sehingga aku harus menunggu lebih lama di halte.
“Hai Sonia, apa kabar?” seseorang menyapaku dari arah belakang.
Aku menoleh ke belakang dan tersenyum padanya. Rupanya Edwin yang menyapaku.
“Hai Edwin! Kabarku baik. Kau sendiri bagaimana?”
“Yeah...lumayan baik. Aku hanya merasa kesepian harus ditinggal orang tuaku untuk sementara waktu. Mereka harus ke Alpenwilly karena tuntutan pekerjaan.”
“Ooo... ,” balasku singkat.
            “Oya, bagaimana dengan tawaranku yang waktu itu? Kau mau?” Edwin bertanya padaku sambil sedikit mendekatkan wajahnya ke arahku.
            “Tawaran yang mana?” tanyaku sedikit bingung.
            “Katanya kau ingin pergi berlibur di musim panas ini, tapi karena....”
            “Oh...iya,” aku langsung memotong kata-katanya. Aku tahu dia akan meneruskan perkataannya bahwa aku tidak bisa pergi berlibur di liburan musim panas ini karena mendapat hukuman dari Ayah dan aku benci bila harus mendengarnya.
            “Lalu?”
            “Ya. Aku mau. Tapi kau kan yang berjanji akan memintakan izin kepada orang tuaku.”
            Bus yang kami nanti akhirnya tiba juga. Pintu bus yang tepat sekali di hadapan kami berdua terbuka dan kami segera masuk kemudian mencari bangku yang kosong. Kebetulan ada dua bangku kosong yang sejajar, sehingga kami bisa melanjutkan pembicaraan kami di bus.
            “Aku sudah bilang,” lanjut Edwin.
            “Lalu?”
            “Mereka mengizinkan,” jawab Edwin sambil tersenyum dan aku pun membalas senyuman itu.
            Oh, Tuhan, terima kasih! Ucapku bersyukur dalam hati. Akhirnya, sisa liburan musim panas ini akan ku lalui tidak dengan kebosanan lagi. Tapi...
            “Apa Jack boleh ikut?” tanyaku penasaran.
            Aku bertanya kepada Edwin dan mengharapkan dia akan mengatakan tidak. Jika ia mengatakan ya, maka lebih baik aku tidak pergi berlibur bersamanya daripada aku harus melihat ulah-ulah konyolnya. Belum lagi sudah pasti aku harus menanggung malu karenanya.
            “Aku tidak tahu.”
            Edwin kemudian mengeluarkan dua buah kartu tanda peserta perkemahan itu dari tasnya kemudian memberikannya kepadaku satu buah. 
“Terima kasih,” ucapku.
Di kartu itu tertera beberapa persyaratan menjadi peserta perkemahan. Ternyata cukup banyak juga syarat-syarat yang harus aku jalani selama menjadi peserta perkemahan itu. Yah, salah satunya adalah para peserta dilarang hanya pergi berdua dengan lawan jenis.
Ah, kita lihat saja siapa yang akan lebih cerdik dalam hal ini. Peserta atau panitia, pikirku konyol.
            “Ah, ini. Sepertinya tidak,” kata Edwin sambil menunjuk satu dari sekian poin persyaratan itu. “Jack baru berusia tujuh tahun kan?”
            “Delapan tahun,” jawabku.
            Aku membaca poin persyaratan yang ditunjuknya. Aku merasa lega karena batas minimum usia peserta perkemahan itu adalah dua belas tahun.
            “Hei, bukankah ini kesempatan yang bagus?” bisik Edwin sembari sedikit menyeringai ke arahku. Ia memberikan sebuah senyuman dengan sebuah ekspresi senang namun sedikit licik.
            “Apa?” aku membalas dengan tanya dan sedikit heran. Aku tak mengerti apa maksud perkataan dan senyuman itu.
            “Tidak,” jawab Edwin singkat. Senyuman di bibirnya langsung menghilang.
            Dia kemudian bersender di kursinya dan langsung diam tak bersuara. Selama sisa perjalanan itu ia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Beberapa kali aku mencoba memulai pembicaraan lagi, namun ia hanya membalasnya dengan senyuman dan sesekali hanya menjawab ya dan tidak. Aku bingung menghadapi sikap Edwin yang seperti ini. Mungkinkah ada yang salah denganku?
            Oh, Edwin, kumohon kau jangan bersikap cuek kepadaku seperti ini.


            “Sonia, ku harap kau dapat menjaga dirimu baik-baik. Jangan sampai kau merepotkan Edwin. Kau ini sudah besar, bukan anak kecil lagi,” ibu berpesan kepadaku sebelum aku pergi.
            “Oke. Tenang saja, Bu. Aku akan baik-baik saja.”
            Ibu mendekapku erat sekali. Baru kali ini rasanya aku merasakan kehangatan pelukan seorang ibu. Seingatku, belum pernah ibu memelukku seperti ini.
            Sambil menghapus air matanya, ibu memberiku sebuah kalung berbandul hati kecil yang di dalamnya terdapat fotoku dan juga foto ibu.
            “Ini, simpan baik-baik. Aku tahu kau akan selalu merindukan rumah karena kau tidak pernah pergi jauh dari rumah dalam waktu lebih dari satu minggu tanpa ada keluarga yang menemanimu. Jadi, aku memberimu kalung kesayanganku.”
            Aneh. Bukankah dulu aku sering kabur dari rumah selama berhari-hari karena Ayah sering sekali memarahiku? Atau Ibu sudah lupa?
            Tiba-tiba Ayah memelukku dari belakang.
            “Aku yakin Tuhan akan melindungimu,” kata Ayah lirih.
            “Iya, Sonia. Walaupun kau sering menyebalkan, jarang mandi, galak, dan cengeng, tetapi aku pun turut bersedih dengan kepergianmu,” Jack berkata kepadaku dengan raut wajah yang sedih.
            Oh, Tuhan. Sebenarnya apa yang telah dan akan terjadi? Mengapa mereka semua begitu sedih melihat kepergianku dari rumah ini. Aku kan hanya akan pergi selama dua minggu, itu pun untuk bersenang-senang berkemah bersama Edwin dan teman-teman baru yang akan kutemui nanti.
            Tiba-tiba sebuah pikiran konyol muncul di benakku. Mungkin mereka semua sebenarnya tak bisa tanpa aku. Walaupun mereka sering memarahiku dan pilih kasih, mereka tetap saja akan merasa kehilangan aku jika aku tak berada di dekat mereka. Meski hanya dalam waktu dua minggu saja.
            “Hai Sonia! Kau sudah siap?” tanya Edwin berlari-lari ke arah kami sambil membawa-bawa sebuah tas jinjing. Rupanya dia membawa dua tas, sama sepertiku. Tas ransel yang digendongnya lebih besar daripada tas ransel yang kubawa. Edwin memakai kemeja hitam putih kotak-kotak dengan kaos putih di dalamnya, celana jeans biru bermodel pipa dan sepatu putih bertali. Rambutnya yang cokelat, sama seperti matanya,  tergerai lembut  tertiup angin ketika ia berlari, membuatnya semakin terlihat tampan dan keren.
            “Hai! Oh, tentu. Aku sudah siap,” jawabku.
            “Sebentar lagi busnya datang menjemput kita. Pastikan tidak ada satu pun barang penting yang tertinggal,” katanya sambil menatapku dalam-dalam.
            Spontan aku langsung gugup dan salah tingkah. Jantungku berdebar-debar keras sekali. Aku kemudian sesegera mungkin membuang pandanganku dari matanya yang tajam.
            “Paman, Bibi, Jack, kami berangkat dulu,” pamit Edwin kepada Ayah, Ibu, dan Jack ketika sebuah bus mini berwarna kuning berhenti di depan rumah.
            Bus itu bertuliskan Greenmount Camping. Tulisannya dibentuk seperti darah yang menetes dari sebuah luka yang parah, namun justru itu yang membuat keren dari bus ini. Dalam dan luarnya pun terlihat bersih.
Sepertinya ini bus baru, pikirku.
            Sekali lagi, ayah dan ibu memelukku. Begitu pula Jack. Aku merasa hal seperti ini sangat janggal. Namun aku senang, akhirnya mereka merasa sedih juga dengan kepergianku.
            Aku dan Edwin pun berangkat ke Perkemahan Greenmount dengan bus itu.


            Kira-kira satu jam kemudian bus berhenti di bawah sebuah pohon besar. Akhirnya, tiba juga kami di Greenmount. Aku melihat beberapa peserta perkemahan yang umurnya sebaya denganku sudah tiba lebih awal di tempat itu. Ternyata ada peserta lain juga selain peserta dari bus ini.
            Edwin menggandeng tanganku keluar dari bus. Terlihat beberapa peserta lain melakukan hal yang sama. Sepertinya banyak di antara sesama peserta perkemahan ini mempunyai hubungan pribadi dengan lawan jenisnya. Aku bersyukur karena aku yakin poin peraturan yang mengatakan bahwa para peserta tidak diizinkan pergi hanya berdua dengan lawan jenis akan gugur. Karena sudah pasti peserta perkemahan ini akan banyak yang melanggarnya.
            “Hai! Kau ikut perkemahan ini juga?” tanya seorang gadis yang usianya sebaya dengan Edwin kepadaku. Rambutnya pirang dan ikal, mata birunya besar seperti melotot kepadaku.
            “Ya,” jawabku singkat karena masih terpesona melihat mata biru jernihnya itu.
            Kemudian ia menyibakkan rambutnya yang sebahu lalu mendekatkan mulutnya ke kupingku dan berbisik, “Hei, apa kau sudah tahu bahwa pada perkemahan musim ini akan ada yang mati?”
            Aku terkejut. Apa maksudnya?
            Aku menoleh kanan dan kiri dan berbisik padanya, “Maksudmu?”
            Gadis itu memegang dahinya dan menghela napas kemudian berkata dengan suara yang agak keras, “Huuh.., kau ini kuper sekali sih? Masa kau tidak tahu bahwa hampir setiap tahunnya perkemahan Greenmount ini akan memakan...”
            “Sonia! Apa kabarmu? Lama kita tidak bertemu,” tanya seseorang yang menepuk pundak dari belakangku.
            Aku membalikkan badan dan langsung memeluknya.
            “Oh, Joe! Senang sekali bertemu denganmu di sini. Sudah berapa tahun ya, kita tidak pernah bertemu?” kataku senang.
            Edwin yang mulanya asik mendengarkan musik lewat mp4-nya, kini sedikit menghindar dariku. Aku melihat ketidaksukaannya dengan Joe. Apalagi ketika aku memeluk Joe di hadapannya.
            Mungkinkah Edwin cemburu?
            “Hei! Kau tidak tahu sopan santun ya? Aku kan sedang berbicara dengannya, kenapa kau memotong pembicaraanku?” gerutu gadis berambut pirang itu kesal.
            “Maaf, aku tidak tahu. Tapi, bolehkah aku berkenalan denganmu, nona manis?” kata Joe kepadanya.
            Dasar playboy. Ternyata dia masih sama seperti dulu. Masih saja hobi berkenalan dengan gadis-gadis berambut pirang.
            “Alice.”
            Oh, rupanya nama gadis itu adalah Alice.
            “Joe! Cepat ke sini! Kami butuh bantuanmu!” teriak seorang panitia yang kira-kira usianya hampir sama dengan ayahku.
            Joe berjalan setengah berlari mundur ke arah kumpulan panitia sambil berkata sedikit berteriak kepada gadis itu, “Aku Joe. Jonathan Marcus.”
            “Para peserta diharap segera berkumpul di sini. Ayo, cepat! Cepat! “ teriak seorang panitia kepada para peserta.
            Aku, Edwin, dan Alice segera menuju ke tempat yang ditunjuk oleh panitia itu. Edwin membawakan tas jinjingku, sementara Alice sibuk merapikan rambutnya.
            Semua peserta berkumpul di tempat itu tetapi ternyata tak sebanyak yang ku kira sebelumnya. Padahal ada dua bus yang menjemput peserta, tetapi kenapa pesertanya hanya sebanyak ini?
            Kemudian aku mencoba menghitung jumlahnya. Hanya ada dua puluh, kurang lebih. Perasaan tak enak mengganjal di hatiku. Ini sungguh aneh, kalau dipikir-pikir. Tadi bus yang aku tumpangi jumlah pesertanya sembilan belas padahal bus itu maksimal mengangkut tiga puluh penumpang. Lalu, jika pihak panitia perkemahan tidak mau rugi, seharusnya hanya satu ada satu bus saja yang menjemput peserta.
            “...kemudian pembagian pondok, Aline Rosemarie, Hanna...”
            Rupanya pembagian pondok sudah dimulai. Aku tidak memperhatikan panitia berbicara tadi. Aku sibuk menghitung dan memperhatikan satu per satu hampir dari seluruh peserta perkemahan ini. Kemudian aku mencoba mendengarkan lagi panitia yang di depan itu.
            “...di pondok B. Sedangkan Alice McBrown, Lindsay  dan Christine Hannah, serta Sonia Johnson di pondok C. Paul Mc Carter,  Jonathan Marcus,  Geovannie Gevina, dan Edwin Hubbert di pondok D. Kemudian di pondok E.....”
            Edwin sempat menoleh kepadaku dan tersenyum, aku pun membalasnya. Lalu dia menghadap ke depan lagi untuk mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh panitia sebelum acara perkemahan resmi dimulai. Sementara itu, aku memperhatikan beberapa peserta yang dandanannya menurutku aneh dan norak sambil sesekali aku memandang Joe yang berdiri di samping Pak Caldwell.


            Malam hari, setelah acara perkenalan dan makan malam selesai, para peserta dipersilahkan untuk jalan-jalan di sekitar pondok sambil saling bersenda gurau untuk lebih mengakrabkan antara peserta satu dengan peserta lainnya.
            Aku, Alice, Lindsay dan Aline duduk-duduk di dekat api unggun yang kami buat sendiri. Api unggun itu menyala redup, menambah suasana semakin mengasyikkan. Belum pernah aku merasakan suasana seasyik ini, yah, karena aku memang baru kali ini mengikuti acara perkemahan musim panas tahunan.
            “Sonia, siapa sih, cowok yang kau peluk tadi itu? Pacarmu?” tanya Alice tiba-tiba. Ia bertanya kepadaku tanpa melihat ke arahku karena ia sedang sibuk memperhatikan sejimpit ujung-ujung rambutnya yang tergerai itu.
            “Maksudmu Joe? Bukan, dia hanya teman kecilku. Sekitar lima atau enam tahun yang lalu ia pindah ke California. Tapi aku masih hafal benar wajahnya karena lesung di pipi kirinya dan aku juga sangat mengenali suaranya.”
            “Oooh..,” balas Alice singkat.
            “Hei Alice, Sonia, Lindsay, kalian tahu tentang cerita yang mengatakan bahwa ini perkemahan berhantu?” tanya Aline tiba-tiba.
            “Semua sudah tahu. Kecuali...,” Alice menjawab pertanyaan Lindsay dengan nada yang setengah mengejek. Kemudian ia melirik ke arahku, memperhatikan aku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku tahu, dia memang sedang mengejekku karena aku kuper. Tapi ini sama sekali tak jadi masalah, karena aku memang merasa kuper dan aku memang ingin mengetahui lebih banyak lagi berita, atau hanya sekedar gosip miring, tentang perkemahan ini.
            “Ya, setiap tahun, hampir setiap tahun, ada korban jiwa dalam acara perkemahan ini. Mereka yang jadi korban menghilang secara tiba-tiba atau mati secara misterius dengan kondisi yang sangat mengenaskan,” Aline menjelaskan. Matanya yang hitam menatapku dalam-dalam.
            Aku sedikit bergidik. Percaya atau tidak aku bukan anak yang penakut. Tapi entah mengapa cerita hantu kali ini benar-benar membuatku berulang kali mengingat Tuhan dan berdoa kepada-Nya.
            Aline melanjutkan ceritanya,” Mereka yang hilang tak pernah ditemukan hingga detik ini. Sedangkan mereka yang mati..”
            Aline menatap mata kami semua dalam-dalam dan berlagak seperti menakut-nakuti kami. Lindsay nampak ketakutan, Alice kelihatan cuek saja tanpa ekspresi, dan aku sepertinya terlihat penasaran sekali akan kelanjutan cerita Aline.
            “...mereka mati dalam kondisi tak wajar. Misterius. Mengerikan. Tubuh mereka seperti dikoyak-koyak oleh binatang buas, seluruh tubunhya berlumur darah, matanya melotot seperti orang yang mati karena gantung diri, wajah mereka sudah hampir tak berwujud seperti manusia lagi, tetapi seperti hantu muka rusak.”
            Bulu kudukku mulai berdiri, begitu pun Lindsay.
            “Dan kau tahu siapa pembunuhnya?” tanya Aline kepadaku dan kepada Lindsay.
            Aku saling bertatapan dengan Lindsay. Terlihat jelas dari air mukanya bahwa ketakutan besar sedang menghinggapinya. Bahkan ia hampir saja menangis, matanya sudah berkaca-kaca.
            “Pembunuhnya adalah manusia serigala,” jawab Alice datar.
            “Ya, manusia serigala...,” jawab Aline.
            “....berbulu domba,” Alice menambahkan.
            Aline dan Alice tertawa kecil. Sementara aku dan Lindsay masih dalam ketakutan dan rasa ingin tahu kami semakin besar.
            Aku melihat Joe dari kejauhan yang sepertinya sedang mencari-cari aku. Ia mendekati setiap kerumunan peserta yang sedang asyik bercengkerama. Sampai akhirnya ia melihat aku dan tersenyum lega.
            Ia mendekat ke arah kerumunan kami dan berkata kepadaku, “Sonia, maukah kau berjalan-jalan denganku? Sebentar saja.”
            “Joe, kau benar-benar tidak punya sopan santun ya? Kau tidak melihat kami ada di sini? Seharusnya kau meminta izin, yah..., paling tidak kau basa-basi dulu kepada kami atau...,” kata Alice sambil memainkan rambutnya. “...juga mengajak kami pergi bersama kalian.”
            “Oh, maaf. Maafkan aku. Sonia, bagaimana?”
            Aku memandang teman-teman baru di sekelilingku. Lindsay dan Aline mengisyaratkan kalau mereka tak keberatan aku pergi jalan-jalan dengan Joe.
            “Oke. Maaf, ya, teman-teman. Aku akan pergi berjalan-jalan dengan Joe. Semoga obrolan kalian semakin bertambah asyik,” kataku kepada mereka.
            Aku berdiri dan mulai meninggalkan mereka. Namun tiba-tiba Aline mengejarku dan menyeretku sedikit menjauh dari Joe.
            “Hati-hati terhadap semua orang di perkemahan ini. Tak terkecuali orang yang sudah kau kenal dekat,” bisiknya dengan nada mengancam. “Kau tentu paham dengan istilah serigala berbulu domba kan?”
            Aku kebingungan. Bingung dengan kata-kata Aline yang baru saja ia ucapkan. Apa maksudnya? Tetapi aku berusaha untuk tetap bersikap biasa-biasa saja dan melanjutkan berjalan-jalan dengan Joe.
            Aku dan Joe berjalan-jalan melewati tepian hutan. Hutan itu tampak angker dan menakutkan. Dan seperti biasa, setiap kali aku menemui hal-hal yang baru pernah aku temui, imajinasiku langsung membumbung ke dunia khayalan.
            Ini seperti hutan terlarang yang ada di kisah Harry Potter. Aku jadi membayangkan seandainya aku bertemu dengan labah-labah raksasa dan aku mempunyai tongkat sihir, akan aku sihir labah-labah itu menjadi seekor katak. Kemudian katak itu akan kutaruh di tempat makan Jack agar ia menjerit dan menangis ketakutan.
            “Sonia? Sonia?” suara Joe membuyarkan pikiranku. “Apa yang sedang kau pikirkan? Pasti Edwin si Pencari Muka itu ya?”
            “Joe? Kamu ngomong apa sih? Edwin tidak seperti itu. Di memang baik, kok”
            Joe menghentikan langkahnya dan menghadapkan badannya ke arahku. Ia menatapku dengan tatapan yang sangat dalam. Beberapa saat kemudian dia berkata, “Sonia, jangan pernah kau katakan kau mencintainya dan akan melakukan apa pun demi dia. Aku mohon.”
             “Eh..uh..oh.., aku..aku...kau bilang apa barusan?” tanyaku tergagap.
            “Aku mencintaimu jauh lebih dulu darinya. Apa kau akan sampai hati melakukan semua ini?” kata Joe. Ia berbicara dengan suara yang agak serak dan lirih. Ia membelai rambutku dan merapikan poniku.
            Aku hanya menunduk terdiam. Aku tak sanggup berkata apa-apa.
            “Aku tak peduli kau berpacaran dengan siapa pun, asalkan bukan dengannya. Sumpah mati aku tak akan sampai hati merelakanmu dengannya.”
            “Jadi, kau mengancamku?” tanyaku. Aku mulai terbawa emosi. Entah mengapa ada perasaan tak terima karena Joe telah menjelek-jelekkan  Edwin di depanku.
            “Jika aku tak mengancammu, maka kau akan celaka!”
            Plak! Aku menampar pipi Joe.
            “Apa maksud kata-katamu? Apa kau sudah gila? Edwin tak mungkin mencelakaiku! Kau yang berusaha mencelakaiku!” aku membentak Joe dan berlari pulang ke arah pondok sambil menangis.
            Rupa-rupanya Edwin telah menungguku di depan pondokku. Aku sempat berhenti menghadapnya namun akhirnya aku tetap masuk ke pondok. Aku tak kuasa menahan air mataku membasahi pipiku. Aku langsung masuk ke kamarku dan naik ke tempat tidur dengan posisi telungkup.
            Alice dan Lindsay saling bertatap mata keheranan. Kemudian mereka pun ikut tidur setelah lampu kamar kami dimatikan.


            Udara pagi ini sangat sejuk. Matahari yang bersinar terasa hangat namun tidak terik seperti di siang hari nanti. Burung-burung berkicauan, mereka saling bersahutan, menambah keindahan di pagi hari ini.
            Aku, Alice, Lindsay, dan si Kembar Hannah pergi ke danau mencari air dan memancing. Kami berlima pergi secara sembunyi-sembunyi dari panitia perkemahan. Kami merasa bosan setelah harus tinggal di pondok selama beberapa hari tanpa ada satu acara pun yang menantang kami. Oleh karena itu, kami pergi ke danau di pinggiran hutan yang letaknya cukup jauh dari perkemahan kami.
            “Wow..! Air danau ini kelihatannya jernih sekali. Aku jadi ingin mandi dan berenang di sini,” ujar Alice.
            “Iya, kami juga sudah lama tidak berenang di danau,” tambah si Kembar Hannah.
            “Apa kalian sudah gila? Kalau ada apa-apa bagaimana? Siapa yang akan bertanggung jawab? Kita kan sedang berada di luar pengawasan panitia?” kataku ragu.
            “Ah.., sudahlah. Ini kan cuma sekali saja. Hanya sekali....saja,” balas Lindsay.
            Kemudian mereka bertiga mulai melepas sepatu dan pakaian mereka lalu berenang di danau itu.
            “Hei anak kuper dan penakut, kau tidak bisa berenang ya? Ayo, berenanglah bersama kami!” teriak Alice dari danau. Aku menjawabnya hanya dengan menggelengkan kepala.
            Sebenarnya bukan karena aku tidak bisa berenang ataupun aku takut dihukum oleh panitia, namun aku lebih tertarik untuk menikmati keindahan danau itu sambil melihat mereka berenang.
            Setengah jam kemudian, aku mengusulkan kepada mereka untuk segera kembali ke pondok, tetapi mereka menolak dan menghalangi jalanku ke pondok. Bahkan mereka sempat mengeroyok aku dan berusaha menceburkan aku ke danau.
            “Aku tidak akan membiarkanmu kembali ke pondok sekarang!” kata Alice.
            “Kenapa? Kenapa aku tak boleh kembali? Memangnya apa hak kalian untuk melarangku kembali ke sana?” gerutu kesal.
            “Edwin. Edwin pasti sedang mencarimu dan aku tidak suka dengan hal ini,” kata Lindsay. Ia memelototiku, begitu pula yang lainnya. Mereka semua berjalan ke arahku dengan sorot mata tajam dan dingin, sedingin es di kutub selatan.
            Aku jadi serba salah. Tiba-tiba aku bergidik, bulu kudukku berdiri. Aku berpikir bahwa jangan-jangan mereka adalah sekawanan manusia serigala yang mereka ceritakan sendiri pada malam-malam sebelumnya.
            Aku teringat pesan Aline, “Hati-hati terhadap semua orang di perkemahan ini. Tak terkecuali orang yang sudah kau kenal dekat.”
            Ya, merekalah manusia serigala itu!
            Aku langsung membalikkan badanku dan berlari secepat dan selincah mungkin. Aku baru berhenti ketika napasku tersengal-sengal dan kakiku mulai lemas. Akhirnya, aku berhasil lolos dari manusia-manusia serigala itu juga.
            Namun, beberapa saat kemudian langkahku yang semakin melambat pun berhenti. Aku melihat sekelilingku. Pohon-pohon besar berdaun rindang dengan batang-batang besar yang menjulang tinggi menutupi matahari siang itu. Bayangannya membuat dalam hutan ini lebih gelap dari pinggiran danau tadi. Tiba-tiba aku merasa ketakutan menyelubungi diriku ketika aku tersadar bahwa aku telah memasuki hutan dan tersesat di dalamnya.
            Hari semakin sore, tak satu orang pun yang mencariku. Aku yang sendirian di hutan ini, hanya bisa menangis, dan menangis. Sudah ku coba berjalan berbalik arah dari jalan aku masuk ke hutan ini. Tetapi semuanya sia-sia. Bahkan danau yang tadi aku lewati pun tak kunjung kutemukan.
            Semakin lama, tubuhku semakin lemas. Pantas saja karena dari semalam aku memang belum mengisi perutku sama sekali. Aku juga tidak sempat menikmati sarapan tadi pagi karena Alice, Lindsay, dan si kembar Hannah membujukku untuk pergi meninggalkan perkemahan secara diam-diam. Aku menyesalinya karena ternyata merekalah manusia serigala itu.
            Dari kejauhan aku melihat seperti ada seseorang di balik pohon beringin yang besar. Dia sedang mengamatiku. Kemudian aku mencoba berlari mengejarnya. Tetapi, sesampainya aku di pohon itu, aku tak menemukannya.
            Kemana dia? Siapa orang itu? Apa dia juga tersesat di hutan ini seperti aku? Kenapa dia tak mau menemui aku?
            Aku terduduk di bawah pohon itu. Saat ini aku hanya bisa berdoa dan berdoa saja. Berharap nanti ada orang yang mencariku dan berhasil menemukanku sehingga aku cepat kembali ke perkemahan.
            Srek.
            Aku menoleh ke belakang. Berdiri kemudian mencari-cari suara yang mencurigakan itu. Sedari tadi aku memang merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikan aku.
            Ya! Aku melihatnya sekilas. Ia memakai jaket berwarna merah. Tapi, bukankah warna merah adalah warna kesukaan manusia serigala?
            Aku langsung teringat cerita Aline dan Alice tentang manusia serigala. Kata-kata Aline tentang korban mereka pun terngiang-ngiang di telingaku. Aku semakin cemas dan ketakutan. Lalu aku jongkok di bawah pohon itu dan menangis. Wajahku kubenamkan di atas lututku dengan kedua tangan menutupi kedua telingaku.
            Tidak!!! Dia berada di hadapanku. Ya, di berhenti di hadapanku. Oh, Tuhan, selamatkanlah aku.
            Cengkeraman kuat di bahuku membuatku semakin ketakutan. Sebentar lagi aku akan dilahap habis olehnya. Atau akan dijadikan tumbal untuk musim panas tahun ini. Aku akan mati dengan keadaan yang mengenaskan. Atau aku tidak akan kembali ke sini lagi. Aku akan diambil olehnya, dijadikan manusia serigala yang berikutnya.
            Cengkeraman itu semakin kuat dan mengoncang-goncangkan tubuhku.
            “Sonia! Sadar, Sonia! Ini aku, Edwin! Kami telah mencarimu ke mana-mana, ternyata kau...,” kata Edwin sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.
            Aku langsung menatap wajahnya dan memeluknya. Aku menangis di pelukkannya. Aku bersyukur, akhirnya ada juga yang menemukan aku di sini. Saat itu, aku benar-benar sangat ketakutan. Pikiranku kacau.

            Lalu aku digendong oleh Edwin. Aku melihat ke arah belakang Edwin. Setengah sadar, aku melihat samar-samar hutan itu. Di bawah pohon beringin itu, aku melihat sosok seseorang berjaket merah memperhatikanku dan Edwin. Sepertinya orang itu tidak asing bagiku. Namun karena tubuhku lemas tak berdaya, aku memejamkan mataku mencoba untuk tidur di pelukan Edwin. (bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar