Teka.
Begitulah ia dipanggil. Entah berapa usianya sekarang, yang jelas kini ia
seharusnya sudah mulai mendewasa. Tak lagi pantas bermain tanah, apalagi
bermain pasir, lebih pantas memiliki seritifikat tanah atau mengerit pasir. Tak
lagi pantas bermain barbie dengan berbagai gaun, apalagi belajar membaca aiueo,
lebih pantas mendesain gaun atau mengajar membaca aiueo. Dan sampai saat ini
tak ada satupun dari kegiatan-kegiatan itu yang ia lakukan.
Teka. Begitu singkat
namanya. Tetapi, di balik nama yang singkat itu ia memiliki jalan persahabatan
yang panjang dengan dia yang bernama Teki. Persahabatan yang sering bermusuhan.
Persahabatan yang sesungguhnya tak pernah mereka sadari. Persahabatan yang
hampir selalu mempertemukan mereka di satu waktu, satu peristiwa. Teki tak
pernah mengharapkan pertemuan dengan Teka. Pula Teka tak pernah berharap
kehadiran Teki. Mereka ingin sendiri. Setidaknya berhadapan dan berpasang
dengan yang lain adalah lebih mereka inginkan. Namun, sudah jalinan takdir.
Mungkin mereka berjodoh atau semacamnya.
Berbeda
dengan Teka, Teki lebih ceria, bebas, dan terkadang usil. Ia pun memiliki
pekerjaan tetap di bidang jasa. Meski jasanya sering tidak dibayar dan jauh
lebih sering tidak dibayar daripada dibayarnya. Namun, Teki tetap mencintai
pekerjaannya. Baginya jasa adalah suatu ungkapan syukur dari alam untuk Tuhan
melalui tangan yang berbeda.
Meski
Teka dan Teki lahir berbarengan, jalan hidup Teka dan Teki memiliki perbedaan.
Awalnya, Teki memiliki lebih banyak pembenci, lebih banyak orang-orang yang
tidak menyukai kehadirannya. Selama itu pulalah Teki mencoba untuk tidak
menghiraukan para pembenci. Ia terus hidup sebagai dirinya sendiri. Dengan
penuh senyum keikhlasan bertahan hidup meski dikelilingi kepahitan. Tetapi,
Maha Adil Tuhan, di balik kebencian orang-orang terhadapnya itu ternyata ada
juga golongan orang-orang yang mencintainya. Setidaknya mulai mengaguminya,
menyukainya, dan selalu mengharapkan kehadirannya. Orang-orang ini senang merayunya,
memanjakannya. Dan dengan sikapnya yang sedikit tengil Teki berkata, “merekalah
orang-orang yang berpikir”. Teka hanya dapat mengerutkan alis ketika Teki
berkata seperti itu. Dan Teka membalasnya dengan satu kata, “pencitraan!”.
Teka,
di awal hidupnya ia merupakan sosok yang selalu ditunggu-tunggu keberadaannya,
kehadirannya. Siapa pun mencintai Teka. Terutama pada saat hari raya, hari-hari
besar yang penuh dengan kemeriahan seperti ketika undangan telah banyak
disebar. Hedonis? Tidak. Dia hanya realistis karena orang-orang pada saat itu
selalu tersenyum ramah kepadanya. Hingga seiring waktu yang bergulir kesenangan
orang-orang terhadapnya membuat Teka menjadi pribadi yang sombong, bahkan
culas. Entah Teka menyadari perubahan itu atau tidak, tetapi begitulah realita
yang ada. Prinsip Teka yang semula realistis kini mengalami percampuran dengan
hitung-menghitung, sehingga tersebutlah prinsip mat(h)realistis. Orang-orang
mulai tak simpatik lagi terhadapnya. Tak ada tegur sapa yang hangat, tak ada
senyum yang ikhlas, apalagi keberkahan dari orang-orang yang menjumpainya. Teka
bukan lagi sosok yang dipuja. Dan kini gradasinya berubah menjadi sosok yang
selalu dibayangi praduga.
Seperti
yang dikatakan sebelumnya, mereka sesungguhnya tidak pernah akur, tidak pernah
saling mengharapkan, tidak pernah ingin bekerja sama. Namun, sekali lagi,
takdir hampir selalu mempertemukan mereka. Teka dan Teki seperti sepasang
sandal jepit kanan-dan kiri. Begitulah persahabatan mereka yang tak mereka
sadari.
Seperti
pada malam ini, di salah satu ajang penghargaan musim ini. Nama mereka berdua
selalu menjuarai setiap kategori. Kategori pasangan terpopuler, mereka dianggap
pasangan yang paling terkenal dan paling digandrungi oleh masyarakat. Kategori
pasangan terdahsyat, mereka dianggap pasangan paling hebat karena menyabet berbagai
prestasi berkat kerja sama yang kompak, meski sesungguhnya mereka sendiri tak merasa
pernah bekerja sama. Dan yang paling mencengangkan mereka juara pula dalam
kategori pasangan paling syar’i. Penilaian untuk kategori ini didasarkan dari
betapa mereka bisa saling melengkapi, menutup cela satu sama lain, tak pernah
bertengkar apalagi ribut-ribut, dan juga atas
prinsip kesederhanaan tanpa sensasi.
Seulas
senyum menyungging di bibir Teki ketika bersama Teka menaiki panggung dan
menerima tiga piala sekaligus. Sorak-sorai penonton terhadap pasangan Teka dan
Teki, baik yang di studio maupun yang di rumah, lengkingnya membaur, menggema
hingga sudut-sudut tersempit kota.
“Terima
kasih atas kepercayaan masyarakat yang telah memilih kami sebagai pasangan
terpopuler, pasangan paling mesra, dan paling syar’i dekade ini. Kami berharap
kami dapat menjaga kepercayaan ini dan hubungan kami langgeng abadi. Amin.”
Sorak-sorai
semakin lepas, semakin keras.
Teka terdiam, menghela
nafas. Tak tahu harus berkata apa di panggung itu. Dengan berat ia memaksa matanya
sedikit disipitkan dan bibirnya sedikit dilebarkan untuk berpura-pura bahagia.
Dan hanya ada satu kata yang terlintas di benaknya untuk menebar sapaan, yang
lebih mirip dengan bualan, kepada masyarakat pendukung pasangan Teka dan Teki,
“I love you!”.
Tepuk tangan terdengar
jarang. Penonton mulai tenang. Tenang.
Riuh yang meneriaki
Teka tak seramai riuh dukungan kepada Teki. Mereka memang berpasangan, tapi tak
satu suratan. Sama seperti sepasang sandal jepit, di kala salah satu talinya
putus kemungkinan tali pada pasangannya masih utuh.
Lambat
laun, Teka menyadari hanya dengan Teki-lah ia bisa digandrungi oleh orang-orang
lagi. Teka menyadari bahwa dirinya semakin hilang arti ketika ia berdiri
sendiri tanpa Teki. Namun, walau bagaimanapun individu seperti Teka ingin
memiliki jati dirinya sendiri tanpa terganggu apalagi berdompleng-domplengan
dengan lainnya. Ia tahu ia hanya harus memilih. Selalu bergandengan setiap
waktu dengan Teki, tetapi ia disukai. Atau ia menjadi dirinya sendiri yang
mandiri, tapi tak diingini.
Dalam
sunyi ia renungi. Hingga muncul satu tanya yang menyesaki, “Apakah ini sebuah
takdir alami?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar