Sabtu, 30 Mei 2015

Teka dan Teki


            Teka. Begitulah ia dipanggil. Entah berapa usianya sekarang, yang jelas kini ia seharusnya sudah mulai mendewasa. Tak lagi pantas bermain tanah, apalagi bermain pasir, lebih pantas memiliki seritifikat tanah atau mengerit pasir. Tak lagi pantas bermain barbie dengan berbagai gaun, apalagi belajar membaca aiueo, lebih pantas mendesain gaun atau mengajar membaca aiueo. Dan sampai saat ini tak ada satupun dari kegiatan-kegiatan itu yang ia lakukan.
Teka. Begitu singkat namanya. Tetapi, di balik nama yang singkat itu ia memiliki jalan persahabatan yang panjang dengan dia yang bernama Teki. Persahabatan yang sering bermusuhan. Persahabatan yang sesungguhnya tak pernah mereka sadari. Persahabatan yang hampir selalu mempertemukan mereka di satu waktu, satu peristiwa. Teki tak pernah mengharapkan pertemuan dengan Teka. Pula Teka tak pernah berharap kehadiran Teki. Mereka ingin sendiri. Setidaknya berhadapan dan berpasang dengan yang lain adalah lebih mereka inginkan. Namun, sudah jalinan takdir. Mungkin mereka berjodoh atau semacamnya.
            Berbeda dengan Teka, Teki lebih ceria, bebas, dan terkadang usil. Ia pun memiliki pekerjaan tetap di bidang jasa. Meski jasanya sering tidak dibayar dan jauh lebih sering tidak dibayar daripada dibayarnya. Namun, Teki tetap mencintai pekerjaannya. Baginya jasa adalah suatu ungkapan syukur dari alam untuk Tuhan melalui tangan yang berbeda.
            Meski Teka dan Teki lahir berbarengan, jalan hidup Teka dan Teki memiliki perbedaan. Awalnya, Teki memiliki lebih banyak pembenci, lebih banyak orang-orang yang tidak menyukai kehadirannya. Selama itu pulalah Teki mencoba untuk tidak menghiraukan para pembenci. Ia terus hidup sebagai dirinya sendiri. Dengan penuh senyum keikhlasan bertahan hidup meski dikelilingi kepahitan. Tetapi, Maha Adil Tuhan, di balik kebencian orang-orang terhadapnya itu ternyata ada juga golongan orang-orang yang mencintainya. Setidaknya mulai mengaguminya, menyukainya, dan selalu mengharapkan kehadirannya. Orang-orang ini senang merayunya, memanjakannya. Dan dengan sikapnya yang sedikit tengil Teki berkata, “merekalah orang-orang yang berpikir”. Teka hanya dapat mengerutkan alis ketika Teki berkata seperti itu. Dan Teka membalasnya dengan satu kata, “pencitraan!”.
            Teka, di awal hidupnya ia merupakan sosok yang selalu ditunggu-tunggu keberadaannya, kehadirannya. Siapa pun mencintai Teka. Terutama pada saat hari raya, hari-hari besar yang penuh dengan kemeriahan seperti ketika undangan telah banyak disebar. Hedonis? Tidak. Dia hanya realistis karena orang-orang pada saat itu selalu tersenyum ramah kepadanya. Hingga seiring waktu yang bergulir kesenangan orang-orang terhadapnya membuat Teka menjadi pribadi yang sombong, bahkan culas. Entah Teka menyadari perubahan itu atau tidak, tetapi begitulah realita yang ada. Prinsip Teka yang semula realistis kini mengalami percampuran dengan hitung-menghitung, sehingga tersebutlah prinsip mat(h)realistis. Orang-orang mulai tak simpatik lagi terhadapnya. Tak ada tegur sapa yang hangat, tak ada senyum yang ikhlas, apalagi keberkahan dari orang-orang yang menjumpainya. Teka bukan lagi sosok yang dipuja. Dan kini gradasinya berubah menjadi sosok yang selalu dibayangi praduga.
            Seperti yang dikatakan sebelumnya, mereka sesungguhnya tidak pernah akur, tidak pernah saling mengharapkan, tidak pernah ingin bekerja sama. Namun, sekali lagi, takdir hampir selalu mempertemukan mereka. Teka dan Teki seperti sepasang sandal jepit kanan-dan kiri. Begitulah persahabatan mereka yang tak mereka sadari.
            Seperti pada malam ini, di salah satu ajang penghargaan musim ini. Nama mereka berdua selalu menjuarai setiap kategori. Kategori pasangan terpopuler, mereka dianggap pasangan yang paling terkenal dan paling digandrungi oleh masyarakat. Kategori pasangan terdahsyat, mereka dianggap pasangan paling hebat karena menyabet berbagai prestasi berkat kerja sama yang kompak, meski sesungguhnya mereka sendiri tak merasa pernah bekerja sama. Dan yang paling mencengangkan mereka juara pula dalam kategori pasangan paling syar’i. Penilaian untuk kategori ini didasarkan dari betapa mereka bisa saling melengkapi, menutup cela satu sama lain, tak pernah bertengkar apalagi ribut-ribut, dan juga atas  prinsip kesederhanaan tanpa sensasi.
            Seulas senyum menyungging di bibir Teki ketika bersama Teka menaiki panggung dan menerima tiga piala sekaligus. Sorak-sorai penonton terhadap pasangan Teka dan Teki, baik yang di studio maupun yang di rumah, lengkingnya membaur, menggema hingga sudut-sudut tersempit kota.
            “Terima kasih atas kepercayaan masyarakat yang telah memilih kami sebagai pasangan terpopuler, pasangan paling mesra, dan paling syar’i dekade ini. Kami berharap kami dapat menjaga kepercayaan ini dan hubungan kami langgeng abadi. Amin.”
            Sorak-sorai semakin lepas, semakin keras.
Teka terdiam, menghela nafas. Tak tahu harus berkata apa di panggung itu. Dengan berat ia memaksa matanya sedikit disipitkan dan bibirnya sedikit dilebarkan untuk berpura-pura bahagia. Dan hanya ada satu kata yang terlintas di benaknya untuk menebar sapaan, yang lebih mirip dengan bualan, kepada masyarakat pendukung pasangan Teka dan Teki, “I love you!”.
Tepuk tangan terdengar jarang. Penonton mulai tenang. Tenang.
Riuh yang meneriaki Teka tak seramai riuh dukungan kepada Teki. Mereka memang berpasangan, tapi tak satu suratan. Sama seperti sepasang sandal jepit, di kala salah satu talinya putus kemungkinan tali pada pasangannya masih utuh.
            Lambat laun, Teka menyadari hanya dengan Teki-lah ia bisa digandrungi oleh orang-orang lagi. Teka menyadari bahwa dirinya semakin hilang arti ketika ia berdiri sendiri tanpa Teki. Namun, walau bagaimanapun individu seperti Teka ingin memiliki jati dirinya sendiri tanpa terganggu apalagi berdompleng-domplengan dengan lainnya. Ia tahu ia hanya harus memilih. Selalu bergandengan setiap waktu dengan Teki, tetapi ia disukai. Atau ia menjadi dirinya sendiri yang mandiri, tapi tak diingini.

            Dalam sunyi ia renungi. Hingga muncul satu tanya yang menyesaki, “Apakah ini sebuah takdir alami?”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar