Sabtu, 30 Mei 2015

Seperti Itu...



Siang yang panas, tapi tak lebih panas dari kata-kata dosen hukum perjanjian, Pak Tomang.
                “Jadi, kalau Anda tidak dapat membeli diktat saya ya pinjamlah kepada kakak-kakak kelas kalian. Tentunya yang tidak sedang mengulang mata kuliah ini.” Sebagian kelas tertawa. “Tapi kalau ada yang sampai ketahuan memfotokopi diktat saya, saya tidak akan marah. Saya hanya memberinya nilai E.”
                Kelas menjadi ramai.
                “Lho? Ini hak saya. Hak atas kekayaan intelektual saya,” katanya dengan dahi mengerut. “Paham?”
                Pak Tomang rupanya benar-benar serius dengan ucapannya.  Sepertinya ia paham benar kelakuan mahasiswa yang lebih suka memfotokopi buku daripada membeli buku aslinya. Memfotokopi buku memang lebih murah daripada membeli buku aslinya. Apalagi jika difotokopi di kertas buram, diperkecil, bolak-balik,  dan tanpa dijilid, hanya di stapless saja. Harganya bisa hanya sepertiga dari buku asli.
                Kuliah selesai, aku segera menuju parkiran motor.
                “Hei, Naf! Habis kuliah apa?” Kiky yang baru tiba di kampus menyapaku.
                “Eh, Ky... Kuliah Pak Tomang. Kamu udah beli diktat perjanjian?”
                “Udah, donk!”
                “Berapa harganya?”
                “Empat puluh dua ribu. Padahal bukunya tipis...,” keluh Kiky.
                “Hehehe... Memang yah, jer basuki mawa bea,” kataku sok bijak.
                “Iya..,”  Kiky tersenyum kecut. “Ya udah, aku mau masuk ke kelas dulu. Kamu hati-hati di jalan.”
                “Yoo...,” jawabku beriringan dengan mesin motor yang mulai menyala.
                Ah, Kiky, Teman baikku, mahasiswi paling cerdas, rajin, dan penurut seantero kampus. Sayangnya, dia berasal dari keluarga kurang mampu. Uang yang didapat dari beasiswa bidikmisinya tak jarang ia kirimkan kepada kedua orang tuanya di kampung. Dan untuk memenuhi biaya tugas-tugas kuliah dan uang makannya ia mengajar di sebuah bimbingan belajar di kotaku.
                Di pertigaan tak jauh dari kampus pusat, kuhentikan motorku. Sebuah toko buku berukuran mungil, namun berisi buku kuliah paling lengkap, aku hampiri. Jejeran rak penuh buku berkualitas membuat hasratku meninggi, ingin memiliki semuanya. Aku sangat menyukai buku. Apalagi jika buku itu harganya terjangkau uang saku. Biasanya aku langsung membelinya. Namun, kali ini tidak. Bulan ini banyak sekali pengeluaran untuk buku yang harus dibeli. Memang aku bisa saja meminta uang kepada orangtuaku untuk membeli semuanya, tetapi aku enggan. Walau bagaimana pun, keluargaku bukanlah keluarga yang sangat berada. Aku punya empat adik dan semuanya sekolah. Tentu jika aku tidak menyisihkan uang sakuku untuk membeli buku kuliahku sendiri akan memberatkan orangtuaku. Belum lagi aku tipe orang yang menghargai hak orang lain. “Kasihan penulisnya jika aku fotokopi bukunya,” kataku pada suatu saat. Idealis? Mungkin.
                Di rak paling pojok toko itu Pengantar Hukum Internasional I, J.G Starke, terpampang jelas. Ku ambil buku itu dan memberikannya ke kasir sebelum aku tergoda membeli yang lain lagi hingga menguras dompetku.
                “Sembilan puluh ribu,” kata gadis cantik yang duduk di kursi kasir itu. Aku pun menyerahkan uang pas kepadanya. “Terima kasih”.
***
                Pagi itu, jam tanganku menunjukkan pukul 6.25. Kunyalakan mesin motor dan kupanaskan sebentar. Hari ini aku berangkat sedikit lebih pagi dari biasanya. Jarak rumahku ke kampus dekat, tapi aku harus mampir ke warung fotokopi  mengambil kopian formulir pendaftaran unit kegiatan mahasiswa yang aku ikuti.
Kreatif FC tidak terlalu jauh, hanya agak sedikit ngumpet karena letaknya yang berada di gang kecil. Di petak berukuran tiga kali lima meter inilah aku biasa fotokopi berkas-berkas dan catatan-catatan penting serta menjilid kliping dan makalah yang menjadi tugasku. Yang aku suka dari Kreatif FC ini tarifnya relatif lebih murah, pengerjaannya juga lebih cepat, di samping pelayannya yang lumayan tampan.
Uda, mau ambil yang kemarin,” kataku kepada salah satu penjaga warung yang sedang membereskan kertas-kertas hasil fotokopi.
“Oh, yang formulir itu ya? Sebentar.”
Sambil menunggu uda menyiapkan hasil fotokopiku, aku melihat-lihat hasil fotokopi pelanggan lain yang tergeletak di atas etalase kaca. J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1.
Tunggu! Ini fotokopi dengan menggunakan teknik cover’s scanning? Persis betul dengan buku aslinya yang baru saja kubeli kemarin.
“Empat ribu tujuh ratus.”
Aku segera mengeluarkan uang, membayar kepada uda tampan itu. “Ini fotokopi buku, Da?”
“Iya, betul!”
“Kalo sampulnya begini, berapa?”
“Ya, nambah dikit lah. Tapi, gak sampai seperti buku aslinya,” jawabnya. Ia melanjutkan dengan nada berbisik, “Lebih hemat!”
Kemudian ia tertawa. Kedua saudaranya yang sama-sama menjaga warung itu ikut tertawa.
Aku hanya nyengir kuda. Di dalam hati aku menerka-nerka, siapa orang yang suka memfotokopi dengan sampul persis seperti buku aslinya. Pasti dia mahasiswa perantauan yang berasal dari keluarga seadanya. Menghemat biaya kuliah sehemat-hematnya. Aku merasa beruntung karena meski aku dari keluarga sederhana tapi sampai saat ini aku tidak pernah melakukan hal itu. Aku merasa beruntung telah diberi rezeki oleh Tuhan-ku sehingga aku tidak merugikan para penyebar ilmu dengan melanggar haknya dalam berkarya.
Hasil fotokopi formulirku aku masukkan ke dalam map agar tidak lusuh dan ada yang sobek.
“Berapa, Mas?” sebuah suara laki-laki paruh baya datang dari sebelah kiriku.
“Buku ini, ya, Pak? Empat puluh dua ribu.”
Rupanya orang yang memfotokopi buku itu. Tapi, kenapa aku merasa ada yang aneh. Sepertinya suara itu tak asing bagiku. Aku pun menoleh ke arah laki-laki itu.
Pak Tomang?! Serasa menjerit karena terkejut di dalam hati.
 “Terima kasih, Mas. Pas, ya uangnya!”
Dengan tergesa-gesa, Pak Tomang segera meninggalkan warung fotokopi. Aku menatapnya dari belakang. Mataku mengerjap-ngerjap.
Dalam hati aku pun menirukan artis sensasional Syahrini, “Seperti itu...”.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar