Tuhan tidak mengizinkanku nostalgia. Aku salah
memesan parfum. Parfum yang judulnya sama dengan parfummu. Ternyata penjual
parfum memberikanku varian yang wanita, bukan pria. Semenit setelah kutahu
aromanya jauh berbeda dengan aroma tubuhmu kala itu, rasa kecewa menghinggap di
dada. Dua menit setelahnya, bahagia terasa. Inilah jalannya, Tuhan tidak
mengizinkanku bernostalgia. Apapun tentangmu, aku semakin sulit mengingatnya. Meski
kuingin sekali. Aku ingin mengenang keindahanmu, tawamu, dan perasaan bahagia
itu. Tapi, lagi-lagi Tuhan tak mengizinkanku mengingat seluk-seluk wajahmu,
terngiang suaramu, dan yang datang justru hanyalah perasaan hampa. Seperti tak
pernah terjadi apa-apa di antara kita. Kamu seperti mimpi yang begitu nyata sebelum
akhirnya menghilang, tak perlahan. Aku bahkan mulai lupa kata-katamu, apa yang
pernah kau sampaikan, kau ucapkan, semakin memudar dalam gendang telinga.
Tuhan tidak mengizinkanku mengingat apa-apa
saja yang pernah ada di antara kita. Bahkan aku lupa bagaimana pertemuan
terakhirku denganmu, apalagi pertemuan pertama, apalagi pertemuan-pertemuan di
tengah-tengah pertemuan yang terakhir dan pertama. Aku ingat aku pernah
berhasrat menyentuh keningmu, mengusap rambutmu dan wajahmu. Namun, aku gagal
mengingat bagaimana persisnya belahan rambutmu atau selebar apa dahimu. Bentuk alismu
pun sama sekali tak tergambar di benakku. Di pipimu, dekat matamu, aku ingat
betul ada gurat-gurat kerut usia yang selalu muncul saat kau tertawa. Tapi, aku
tak ingat bagaimana tawamu yang lepas. Bahkan bagaimana senyummu pun aku tak
dapat terbayang.
Tuhan tidak mengizinkanku menoreh cerita
bersamamu yang lebih lama dari ini. Seberapa kuatnya pun aku menahan dan
bertahan atas segala kezalimanmu, seberapa sabarnya aku menunggu kau untuk
berubah agar kelak semuanya menjadi indah seperti yang ada dalam pikirku,
perpisahan itu kau yang mau. Kau mengajukan penolakan untuk tetap bersama
melalui sikap yang tak kukenal sebagai sikapmu sebelumnya. Lalu, apa yang dapat
kuperbuat jika kau tak ingin tetap tinggal. Tak ada janjimu untuk tetap
tinggal, memang. Dan aku hargai keputusanmu itu.
Yang Tuhan izinkan adalah aku perbaiki diri
sembari menanti. Seseorang yang kuingini suatu hari nanti akan kembali. Ya,
kembali. Bukankah pada hakikatnya belahan jiwa itu bukan datang, tetapi
kembali? Puluhan ribu tahun lalu sudah dicatatkan, tinggal menunggu kapan
catatan itu menggariskan waktu bertemu. Tuhan mengizinkanku menunggu yang lebih
pasti dalam ketidaktahuanku, ketidaktahuan manusia. Berlaku sabar, belajar
ikhlas, dan menjadi lebih tidak rapuh. Apapun itu, izin Tuhan adalah sebuah
keutamaan yang seharusnya menjadi tujuan, bukan inginku, bukan inginmu, atau
inginnya siapapun itu.
Depok, 21.04.18
Depok, 21.04.18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar