Sabtu, 21 April 2018

Kau, Aku, dan Izin Tuhan


Tuhan tidak mengizinkanku nostalgia. Aku salah memesan parfum. Parfum yang judulnya sama dengan parfummu. Ternyata penjual parfum memberikanku varian yang wanita, bukan pria. Semenit setelah kutahu aromanya jauh berbeda dengan aroma tubuhmu kala itu, rasa kecewa menghinggap di dada. Dua menit setelahnya, bahagia terasa. Inilah jalannya, Tuhan tidak mengizinkanku bernostalgia. Apapun tentangmu, aku semakin sulit mengingatnya. Meski kuingin sekali. Aku ingin mengenang keindahanmu, tawamu, dan perasaan bahagia itu. Tapi, lagi-lagi Tuhan tak mengizinkanku mengingat seluk-seluk wajahmu, terngiang suaramu, dan yang datang justru hanyalah perasaan hampa. Seperti tak pernah terjadi apa-apa di antara kita. Kamu seperti mimpi yang begitu nyata sebelum akhirnya menghilang, tak perlahan. Aku bahkan mulai lupa kata-katamu, apa yang pernah kau sampaikan, kau ucapkan, semakin memudar dalam gendang telinga.

Tuhan tidak mengizinkanku mengingat apa-apa saja yang pernah ada di antara kita. Bahkan aku lupa bagaimana pertemuan terakhirku denganmu, apalagi pertemuan pertama, apalagi pertemuan-pertemuan di tengah-tengah pertemuan yang terakhir dan pertama. Aku ingat aku pernah berhasrat menyentuh keningmu, mengusap rambutmu dan wajahmu. Namun, aku gagal mengingat bagaimana persisnya belahan rambutmu atau selebar apa dahimu. Bentuk alismu pun sama sekali tak tergambar di benakku. Di pipimu, dekat matamu, aku ingat betul ada gurat-gurat kerut usia yang selalu muncul saat kau tertawa. Tapi, aku tak ingat bagaimana tawamu yang lepas. Bahkan bagaimana senyummu pun aku tak dapat terbayang.

Tuhan tidak mengizinkanku menoreh cerita bersamamu yang lebih lama dari ini. Seberapa kuatnya pun aku menahan dan bertahan atas segala kezalimanmu, seberapa sabarnya aku menunggu kau untuk berubah agar kelak semuanya menjadi indah seperti yang ada dalam pikirku, perpisahan itu kau yang mau. Kau mengajukan penolakan untuk tetap bersama melalui sikap yang tak kukenal sebagai sikapmu sebelumnya. Lalu, apa yang dapat kuperbuat jika kau tak ingin tetap tinggal. Tak ada janjimu untuk tetap tinggal, memang. Dan aku hargai keputusanmu itu.

Yang Tuhan izinkan adalah aku perbaiki diri sembari menanti. Seseorang yang kuingini suatu hari nanti akan kembali. Ya, kembali. Bukankah pada hakikatnya belahan jiwa itu bukan datang, tetapi kembali? Puluhan ribu tahun lalu sudah dicatatkan, tinggal menunggu kapan catatan itu menggariskan waktu bertemu. Tuhan mengizinkanku menunggu yang lebih pasti dalam ketidaktahuanku, ketidaktahuan manusia. Berlaku sabar, belajar ikhlas, dan menjadi lebih tidak rapuh. Apapun itu, izin Tuhan adalah sebuah keutamaan yang seharusnya menjadi tujuan, bukan inginku, bukan inginmu, atau inginnya siapapun itu.



Depok, 21.04.18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar