Jumat, 29 Juli 2016

Mending Muhasabah


Disaksikan sejuta pasang mata perubahan penampilannya yang kini tak lagi glamor. Atribut keagamaan; baju koko dengan kopiahnya, atau kain kerudung yang menutupi rambut dengan gamis lebar. Sesaat tertunduk, namun selepas itu tersenyum lebar menyeringai.

“Halah, kalo udah ketangkep aja langsung tobat!”

“Itu ngapain sih, pake kerudung-kerudung segala? Bikin jelek citra Islam saja!”

“Entar kalo kasusnya udah mulai beres juga balik lagi kayak dulu!”

Bla.. bla.. bla..

Bla.. bla.. bla...

Berbagai macam prasangka menyeruak. Mungkin dia benar tobat, mungkin dia tomat (tobat lalu kumat), mungkin dia pencitraan, mungkin dia sedang merayu Tuhannya, mungkin dia..... cerminan saya!

Begitu pandai diri ini membuat hipotesis atas orang lain, begitu tajam pikir ini menganalisis kesalahan orang lain, dan begitu licin lidah ini mengomentari hidup orang lain. Padahal mungkin diri ini yang pernah tobat (kemudian kembali maksiat), mungkin diri ini yang selalu mendahulukan pencitraan demi mendapat simpati orang, mungkin diri ini yang selalu merayu Tuhan hanya bila sedang terpepet keadaan.

Kemudian teringat dengan satu pesan kehidupan bahwa hijrah bukan sekadar berganti penampilan. Di situ ada hati yang harus senantiasa dibersihkan dari kotoran-kotoran akibat kemaksiatan, ada pikiran yang harus dibersihkan dari prasangka-prasangka buruk, dan ada tindakan yang harus mencerminkan perbaikan-perbaikan dari kesalahan di masa lalu.


Daripada ghibah nanti fitnah, mending muhasabah! #selfreminder 

Kamis, 07 Juli 2016

Mari Saling Mengingatkan, Tanpa Celaan

__Ceritanya malam ini hampir saja berdebat dengan seorang ukhti bercadar di bbm. Saya mengenal dia dari dua komunitas Islam. Meski sekarang kami tak lagi satu grup, tetapi silaturahmi via bbm masih cukup terjaga. Terlepas dari hal itu, ada sesuatu yang menarik dan bikin greget saya membara malam ini. Mungkin ini yang jadi penyebab kenapa banyak orang yang sebel sama wanita bercadar.__

Ukhti, hidayah itu mahal harganya. Tak setiap orang seberuntung engkau yang dapat mengenakan pakaian syar'i dan no unggah selfie lagi. Bukankah kau mencapai titik ini juga dari sebuah proses? Lantas mengapa mulut dan jarimu nyinyir kepada mereka yang belum dapat mengenakan pakaian syar'i dan masih suka selfie? Silakan saling mengingatkan, tapi dimohon dengan sangat pakailah kata-kata yang baik. Bukankah kau sudah mengaji, "Berkatalah yang baik atau diam"?


Lalu, bagaimana responmu, wahai ukhti, ketika saya yang masih awam ini mengingatkan untuk mengimbangi sindiran-sindiranmu dengan berintrospeksi? "Terserah," katamu. "Silakan berkomentar. Capek."

Apakah tak terbayang pula jika itu adalah respon yang diberikan mereka terhadap sindiran-sindiranmu yang terlalu nyinyir itu? Yang ada, bukannya sindiran itu mengena dalam hati dan jadi bahan muhasabah diri, namun justru mengenai alam bawah sadar mereka untuk menolaknya, meski mereka tau itu tak sesuai syariat.

So, ukhti, mari saling menjaga hati dan perasaan. Kau tau wanita adalah makhluk yang begitu halus perasaannya. Mari saling mengingatkan, tanpa celaan.