Disaksikan sejuta pasang mata perubahan penampilannya yang
kini tak lagi glamor. Atribut keagamaan; baju koko dengan kopiahnya, atau kain
kerudung yang menutupi rambut dengan gamis lebar. Sesaat tertunduk, namun
selepas itu tersenyum lebar menyeringai.
“Halah, kalo udah ketangkep aja langsung tobat!”
“Itu ngapain sih, pake kerudung-kerudung segala? Bikin jelek
citra Islam saja!”
“Entar kalo kasusnya udah mulai beres juga balik lagi kayak
dulu!”
Bla.. bla.. bla..
Bla.. bla.. bla...
Berbagai macam prasangka menyeruak. Mungkin dia benar tobat,
mungkin dia tomat (tobat lalu kumat), mungkin dia pencitraan, mungkin dia
sedang merayu Tuhannya, mungkin dia..... cerminan saya!
Begitu pandai diri ini membuat hipotesis atas orang lain,
begitu tajam pikir ini menganalisis kesalahan orang lain, dan begitu licin
lidah ini mengomentari hidup orang lain. Padahal mungkin diri ini yang pernah
tobat (kemudian kembali maksiat), mungkin diri ini yang selalu mendahulukan
pencitraan demi mendapat simpati orang, mungkin diri ini yang selalu merayu
Tuhan hanya bila sedang terpepet keadaan.
Kemudian teringat dengan satu pesan kehidupan bahwa hijrah bukan
sekadar berganti penampilan. Di situ ada hati yang harus senantiasa dibersihkan
dari kotoran-kotoran akibat kemaksiatan, ada pikiran yang harus dibersihkan
dari prasangka-prasangka buruk, dan ada tindakan yang harus mencerminkan
perbaikan-perbaikan dari kesalahan di masa lalu.
Daripada ghibah nanti fitnah, mending muhasabah! #selfreminder