Siang yang panas, tapi tak lebih panas dari kata-kata dosen hukum
perjanjian, Pak Tomang.
“Jadi, kalau
Anda tidak dapat membeli diktat saya ya pinjamlah kepada kakak-kakak kelas
kalian. Tentunya yang tidak sedang mengulang mata kuliah ini.” Sebagian kelas
tertawa. “Tapi kalau ada yang sampai ketahuan memfotokopi diktat saya, saya
tidak akan marah. Saya hanya memberinya nilai E.”
Kelas menjadi
ramai.
“Lho? Ini hak
saya. Hak atas kekayaan intelektual saya,” katanya dengan dahi mengerut.
“Paham?”
Pak Tomang
rupanya benar-benar serius dengan ucapannya.
Sepertinya ia paham benar kelakuan mahasiswa yang lebih suka memfotokopi
buku daripada membeli buku aslinya. Memfotokopi buku memang lebih murah
daripada membeli buku aslinya. Apalagi jika difotokopi di kertas buram,
diperkecil, bolak-balik, dan tanpa
dijilid, hanya di stapless saja. Harganya bisa hanya sepertiga dari buku asli.
Kuliah
selesai, aku segera menuju parkiran motor.
“Hei, Naf!
Habis kuliah apa?” Kiky yang baru tiba di kampus menyapaku.
“Eh, Ky...
Kuliah Pak Tomang. Kamu udah beli diktat perjanjian?”
“Udah, donk!”
“Berapa
harganya?”
“Empat puluh
dua ribu. Padahal bukunya tipis...,” keluh Kiky.
“Hehehe...
Memang yah, jer basuki mawa bea,” kataku sok bijak.
“Iya..,” Kiky tersenyum kecut. “Ya udah, aku mau masuk
ke kelas dulu. Kamu hati-hati di jalan.”
“Yoo...,”
jawabku beriringan dengan mesin motor yang mulai menyala.
Ah, Kiky,
Teman baikku, mahasiswi paling cerdas, rajin, dan penurut seantero kampus.
Sayangnya, dia berasal dari keluarga kurang mampu. Uang yang didapat dari
beasiswa bidikmisinya tak jarang ia kirimkan kepada kedua orang tuanya di
kampung. Dan untuk memenuhi biaya tugas-tugas kuliah dan uang makannya ia mengajar
di sebuah bimbingan belajar di kotaku.
Di pertigaan
tak jauh dari kampus pusat, kuhentikan motorku. Sebuah toko buku berukuran
mungil, namun berisi buku kuliah paling lengkap, aku hampiri. Jejeran rak penuh
buku berkualitas membuat hasratku meninggi, ingin memiliki semuanya. Aku sangat
menyukai buku. Apalagi jika buku itu harganya terjangkau uang saku. Biasanya
aku langsung membelinya. Namun, kali ini tidak. Bulan ini banyak sekali
pengeluaran untuk buku yang harus dibeli. Memang aku bisa saja meminta uang
kepada orangtuaku untuk membeli semuanya, tetapi aku enggan. Walau bagaimana
pun, keluargaku bukanlah keluarga yang sangat berada. Aku punya empat adik dan
semuanya sekolah. Tentu jika aku tidak menyisihkan uang sakuku untuk membeli
buku kuliahku sendiri akan memberatkan orangtuaku. Belum lagi aku tipe orang
yang menghargai hak orang lain. “Kasihan penulisnya jika aku fotokopi bukunya,”
kataku pada suatu saat. Idealis? Mungkin.
Di rak paling
pojok toko itu Pengantar Hukum Internasional I, J.G Starke, terpampang
jelas. Ku ambil buku itu dan memberikannya ke kasir sebelum aku tergoda membeli
yang lain lagi hingga menguras dompetku.
“Sembilan
puluh ribu,” kata gadis cantik yang duduk di kursi kasir itu. Aku pun
menyerahkan uang pas kepadanya. “Terima kasih”.
***
Pagi itu, jam
tanganku menunjukkan pukul 6.25. Kunyalakan mesin motor dan kupanaskan
sebentar. Hari ini aku berangkat sedikit lebih pagi dari biasanya. Jarak
rumahku ke kampus dekat, tapi aku harus mampir ke warung fotokopi mengambil kopian formulir pendaftaran unit
kegiatan mahasiswa yang aku ikuti.
Kreatif FC tidak terlalu jauh, hanya
agak sedikit ngumpet karena letaknya yang berada di gang kecil. Di petak
berukuran tiga kali lima meter inilah aku biasa fotokopi berkas-berkas dan
catatan-catatan penting serta menjilid kliping dan makalah yang menjadi
tugasku. Yang aku suka dari Kreatif FC ini tarifnya relatif lebih murah, pengerjaannya
juga lebih cepat, di samping pelayannya yang lumayan tampan.
“Uda, mau ambil yang kemarin,”
kataku kepada salah satu penjaga warung yang sedang membereskan kertas-kertas
hasil fotokopi.
“Oh, yang formulir itu ya? Sebentar.”
Sambil menunggu uda menyiapkan
hasil fotokopiku, aku melihat-lihat hasil fotokopi pelanggan lain yang
tergeletak di atas etalase kaca. J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1.
Tunggu! Ini fotokopi dengan
menggunakan teknik cover’s scanning? Persis betul dengan buku aslinya yang baru
saja kubeli kemarin.
“Empat ribu tujuh ratus.”
Aku segera mengeluarkan uang, membayar
kepada uda tampan itu. “Ini fotokopi buku, Da?”
“Iya,
betul!”
“Kalo
sampulnya begini, berapa?”
“Ya,
nambah dikit lah. Tapi, gak sampai seperti buku aslinya,” jawabnya. Ia
melanjutkan dengan nada berbisik, “Lebih hemat!”
Kemudian
ia tertawa. Kedua saudaranya yang sama-sama menjaga warung itu ikut tertawa.
Aku hanya
nyengir kuda. Di dalam hati aku menerka-nerka, siapa orang yang suka
memfotokopi dengan sampul persis seperti buku aslinya. Pasti dia mahasiswa
perantauan yang berasal dari keluarga seadanya. Menghemat biaya kuliah
sehemat-hematnya. Aku merasa beruntung karena meski aku dari keluarga sederhana
tapi sampai saat ini aku tidak pernah melakukan hal itu. Aku merasa beruntung
telah diberi rezeki oleh Tuhan-ku sehingga aku tidak merugikan para penyebar
ilmu dengan melanggar haknya dalam berkarya.
Hasil
fotokopi formulirku aku masukkan ke dalam map agar tidak lusuh dan ada yang
sobek.
“Berapa,
Mas?” sebuah suara laki-laki paruh baya datang dari sebelah kiriku.
“Buku ini,
ya, Pak? Empat puluh dua ribu.”
Rupanya
orang yang memfotokopi buku itu. Tapi, kenapa aku merasa ada yang aneh.
Sepertinya suara itu tak asing bagiku. Aku pun menoleh ke arah laki-laki itu.
Pak
Tomang?! Serasa menjerit karena terkejut di dalam hati.
“Terima kasih, Mas. Pas, ya uangnya!”
Dengan
tergesa-gesa, Pak Tomang segera meninggalkan warung fotokopi. Aku menatapnya
dari belakang. Mataku mengerjap-ngerjap.
Dalam hati
aku pun menirukan artis sensasional Syahrini, “Seperti itu...”.