Minggu, 31 Mei 2015

Ibu Baru


Ibu bergegas. Aku memperhatikannya dengan penuh tanda tanya. Ia mengemasi seluruh barang-barangnya setelah semalam bertengkar hebat dengan ayah.

Di gigir pintu ibu menatapku. Berurai air mata. “Tidak apa-apa, Nak, kamu sudah punya ibu baru.” Kemudian ia mempercepat langkahnya pergi meninggalkan rumah.


Di belakangku ada suara yang terisak pahit, “Kemari, sayang...”.
Wanita berjakun itu memelukku erat.





Cinta

       Dulu sewaktu masih remaja, aku sangat penasaran dengan yang namanya cinta. Apa itu cinta dan bagaimana rasanya jatuh cinta? Ketika teman-teman sibuk bercerita tentang cinta monyetnya, yang mereka lebih senang menyebutnya dengan cinta pertama, aku hanya dapat mendengarkan. Sesekali ikut tersenyum dan bersedih sambil menepuk lembut pundak teman yang bercerita. Sesekali pula menasihati teman tentang masalah percintaan setelah dimohon-mohon.
       Waktu terus bergulir membuatku menua. Meski aku sudah menikah dan memiliki dua anak, tak ada beda dengan masa remaja dulu. Aku pun belum tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya jatuh cinta. Dengan suami pilihan orang tuaku, meski aku tak mencintainya, rumah tangga kami aman sentosa. Semua berjalan baik-baik saja.
       Aku masih saja tak tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya jatuh cinta. Hingga aku memasukkan seluruh pakaianku dan pakaian anak-anakku ke dalam dua buah kopor besar. Membawanya ke dalam taxi, bersama kedua anakku pergi menuju rumah kakek mereka.
       Kulakukan ini setelah kemarin aku mendapatkan pakaian suamiku yang wangi parfum wanita dan pesan singkat bernada mesra dari seseorang yang bernama Cinta.



Sabtu, 30 Mei 2015

Teka dan Teki


            Teka. Begitulah ia dipanggil. Entah berapa usianya sekarang, yang jelas kini ia seharusnya sudah mulai mendewasa. Tak lagi pantas bermain tanah, apalagi bermain pasir, lebih pantas memiliki seritifikat tanah atau mengerit pasir. Tak lagi pantas bermain barbie dengan berbagai gaun, apalagi belajar membaca aiueo, lebih pantas mendesain gaun atau mengajar membaca aiueo. Dan sampai saat ini tak ada satupun dari kegiatan-kegiatan itu yang ia lakukan.
Teka. Begitu singkat namanya. Tetapi, di balik nama yang singkat itu ia memiliki jalan persahabatan yang panjang dengan dia yang bernama Teki. Persahabatan yang sering bermusuhan. Persahabatan yang sesungguhnya tak pernah mereka sadari. Persahabatan yang hampir selalu mempertemukan mereka di satu waktu, satu peristiwa. Teki tak pernah mengharapkan pertemuan dengan Teka. Pula Teka tak pernah berharap kehadiran Teki. Mereka ingin sendiri. Setidaknya berhadapan dan berpasang dengan yang lain adalah lebih mereka inginkan. Namun, sudah jalinan takdir. Mungkin mereka berjodoh atau semacamnya.
            Berbeda dengan Teka, Teki lebih ceria, bebas, dan terkadang usil. Ia pun memiliki pekerjaan tetap di bidang jasa. Meski jasanya sering tidak dibayar dan jauh lebih sering tidak dibayar daripada dibayarnya. Namun, Teki tetap mencintai pekerjaannya. Baginya jasa adalah suatu ungkapan syukur dari alam untuk Tuhan melalui tangan yang berbeda.
            Meski Teka dan Teki lahir berbarengan, jalan hidup Teka dan Teki memiliki perbedaan. Awalnya, Teki memiliki lebih banyak pembenci, lebih banyak orang-orang yang tidak menyukai kehadirannya. Selama itu pulalah Teki mencoba untuk tidak menghiraukan para pembenci. Ia terus hidup sebagai dirinya sendiri. Dengan penuh senyum keikhlasan bertahan hidup meski dikelilingi kepahitan. Tetapi, Maha Adil Tuhan, di balik kebencian orang-orang terhadapnya itu ternyata ada juga golongan orang-orang yang mencintainya. Setidaknya mulai mengaguminya, menyukainya, dan selalu mengharapkan kehadirannya. Orang-orang ini senang merayunya, memanjakannya. Dan dengan sikapnya yang sedikit tengil Teki berkata, “merekalah orang-orang yang berpikir”. Teka hanya dapat mengerutkan alis ketika Teki berkata seperti itu. Dan Teka membalasnya dengan satu kata, “pencitraan!”.
            Teka, di awal hidupnya ia merupakan sosok yang selalu ditunggu-tunggu keberadaannya, kehadirannya. Siapa pun mencintai Teka. Terutama pada saat hari raya, hari-hari besar yang penuh dengan kemeriahan seperti ketika undangan telah banyak disebar. Hedonis? Tidak. Dia hanya realistis karena orang-orang pada saat itu selalu tersenyum ramah kepadanya. Hingga seiring waktu yang bergulir kesenangan orang-orang terhadapnya membuat Teka menjadi pribadi yang sombong, bahkan culas. Entah Teka menyadari perubahan itu atau tidak, tetapi begitulah realita yang ada. Prinsip Teka yang semula realistis kini mengalami percampuran dengan hitung-menghitung, sehingga tersebutlah prinsip mat(h)realistis. Orang-orang mulai tak simpatik lagi terhadapnya. Tak ada tegur sapa yang hangat, tak ada senyum yang ikhlas, apalagi keberkahan dari orang-orang yang menjumpainya. Teka bukan lagi sosok yang dipuja. Dan kini gradasinya berubah menjadi sosok yang selalu dibayangi praduga.
            Seperti yang dikatakan sebelumnya, mereka sesungguhnya tidak pernah akur, tidak pernah saling mengharapkan, tidak pernah ingin bekerja sama. Namun, sekali lagi, takdir hampir selalu mempertemukan mereka. Teka dan Teki seperti sepasang sandal jepit kanan-dan kiri. Begitulah persahabatan mereka yang tak mereka sadari.
            Seperti pada malam ini, di salah satu ajang penghargaan musim ini. Nama mereka berdua selalu menjuarai setiap kategori. Kategori pasangan terpopuler, mereka dianggap pasangan yang paling terkenal dan paling digandrungi oleh masyarakat. Kategori pasangan terdahsyat, mereka dianggap pasangan paling hebat karena menyabet berbagai prestasi berkat kerja sama yang kompak, meski sesungguhnya mereka sendiri tak merasa pernah bekerja sama. Dan yang paling mencengangkan mereka juara pula dalam kategori pasangan paling syar’i. Penilaian untuk kategori ini didasarkan dari betapa mereka bisa saling melengkapi, menutup cela satu sama lain, tak pernah bertengkar apalagi ribut-ribut, dan juga atas  prinsip kesederhanaan tanpa sensasi.
            Seulas senyum menyungging di bibir Teki ketika bersama Teka menaiki panggung dan menerima tiga piala sekaligus. Sorak-sorai penonton terhadap pasangan Teka dan Teki, baik yang di studio maupun yang di rumah, lengkingnya membaur, menggema hingga sudut-sudut tersempit kota.
            “Terima kasih atas kepercayaan masyarakat yang telah memilih kami sebagai pasangan terpopuler, pasangan paling mesra, dan paling syar’i dekade ini. Kami berharap kami dapat menjaga kepercayaan ini dan hubungan kami langgeng abadi. Amin.”
            Sorak-sorai semakin lepas, semakin keras.
Teka terdiam, menghela nafas. Tak tahu harus berkata apa di panggung itu. Dengan berat ia memaksa matanya sedikit disipitkan dan bibirnya sedikit dilebarkan untuk berpura-pura bahagia. Dan hanya ada satu kata yang terlintas di benaknya untuk menebar sapaan, yang lebih mirip dengan bualan, kepada masyarakat pendukung pasangan Teka dan Teki, “I love you!”.
Tepuk tangan terdengar jarang. Penonton mulai tenang. Tenang.
Riuh yang meneriaki Teka tak seramai riuh dukungan kepada Teki. Mereka memang berpasangan, tapi tak satu suratan. Sama seperti sepasang sandal jepit, di kala salah satu talinya putus kemungkinan tali pada pasangannya masih utuh.
            Lambat laun, Teka menyadari hanya dengan Teki-lah ia bisa digandrungi oleh orang-orang lagi. Teka menyadari bahwa dirinya semakin hilang arti ketika ia berdiri sendiri tanpa Teki. Namun, walau bagaimanapun individu seperti Teka ingin memiliki jati dirinya sendiri tanpa terganggu apalagi berdompleng-domplengan dengan lainnya. Ia tahu ia hanya harus memilih. Selalu bergandengan setiap waktu dengan Teki, tetapi ia disukai. Atau ia menjadi dirinya sendiri yang mandiri, tapi tak diingini.

            Dalam sunyi ia renungi. Hingga muncul satu tanya yang menyesaki, “Apakah ini sebuah takdir alami?”




Seperti Itu...



Siang yang panas, tapi tak lebih panas dari kata-kata dosen hukum perjanjian, Pak Tomang.
                “Jadi, kalau Anda tidak dapat membeli diktat saya ya pinjamlah kepada kakak-kakak kelas kalian. Tentunya yang tidak sedang mengulang mata kuliah ini.” Sebagian kelas tertawa. “Tapi kalau ada yang sampai ketahuan memfotokopi diktat saya, saya tidak akan marah. Saya hanya memberinya nilai E.”
                Kelas menjadi ramai.
                “Lho? Ini hak saya. Hak atas kekayaan intelektual saya,” katanya dengan dahi mengerut. “Paham?”
                Pak Tomang rupanya benar-benar serius dengan ucapannya.  Sepertinya ia paham benar kelakuan mahasiswa yang lebih suka memfotokopi buku daripada membeli buku aslinya. Memfotokopi buku memang lebih murah daripada membeli buku aslinya. Apalagi jika difotokopi di kertas buram, diperkecil, bolak-balik,  dan tanpa dijilid, hanya di stapless saja. Harganya bisa hanya sepertiga dari buku asli.
                Kuliah selesai, aku segera menuju parkiran motor.
                “Hei, Naf! Habis kuliah apa?” Kiky yang baru tiba di kampus menyapaku.
                “Eh, Ky... Kuliah Pak Tomang. Kamu udah beli diktat perjanjian?”
                “Udah, donk!”
                “Berapa harganya?”
                “Empat puluh dua ribu. Padahal bukunya tipis...,” keluh Kiky.
                “Hehehe... Memang yah, jer basuki mawa bea,” kataku sok bijak.
                “Iya..,”  Kiky tersenyum kecut. “Ya udah, aku mau masuk ke kelas dulu. Kamu hati-hati di jalan.”
                “Yoo...,” jawabku beriringan dengan mesin motor yang mulai menyala.
                Ah, Kiky, Teman baikku, mahasiswi paling cerdas, rajin, dan penurut seantero kampus. Sayangnya, dia berasal dari keluarga kurang mampu. Uang yang didapat dari beasiswa bidikmisinya tak jarang ia kirimkan kepada kedua orang tuanya di kampung. Dan untuk memenuhi biaya tugas-tugas kuliah dan uang makannya ia mengajar di sebuah bimbingan belajar di kotaku.
                Di pertigaan tak jauh dari kampus pusat, kuhentikan motorku. Sebuah toko buku berukuran mungil, namun berisi buku kuliah paling lengkap, aku hampiri. Jejeran rak penuh buku berkualitas membuat hasratku meninggi, ingin memiliki semuanya. Aku sangat menyukai buku. Apalagi jika buku itu harganya terjangkau uang saku. Biasanya aku langsung membelinya. Namun, kali ini tidak. Bulan ini banyak sekali pengeluaran untuk buku yang harus dibeli. Memang aku bisa saja meminta uang kepada orangtuaku untuk membeli semuanya, tetapi aku enggan. Walau bagaimana pun, keluargaku bukanlah keluarga yang sangat berada. Aku punya empat adik dan semuanya sekolah. Tentu jika aku tidak menyisihkan uang sakuku untuk membeli buku kuliahku sendiri akan memberatkan orangtuaku. Belum lagi aku tipe orang yang menghargai hak orang lain. “Kasihan penulisnya jika aku fotokopi bukunya,” kataku pada suatu saat. Idealis? Mungkin.
                Di rak paling pojok toko itu Pengantar Hukum Internasional I, J.G Starke, terpampang jelas. Ku ambil buku itu dan memberikannya ke kasir sebelum aku tergoda membeli yang lain lagi hingga menguras dompetku.
                “Sembilan puluh ribu,” kata gadis cantik yang duduk di kursi kasir itu. Aku pun menyerahkan uang pas kepadanya. “Terima kasih”.
***
                Pagi itu, jam tanganku menunjukkan pukul 6.25. Kunyalakan mesin motor dan kupanaskan sebentar. Hari ini aku berangkat sedikit lebih pagi dari biasanya. Jarak rumahku ke kampus dekat, tapi aku harus mampir ke warung fotokopi  mengambil kopian formulir pendaftaran unit kegiatan mahasiswa yang aku ikuti.
Kreatif FC tidak terlalu jauh, hanya agak sedikit ngumpet karena letaknya yang berada di gang kecil. Di petak berukuran tiga kali lima meter inilah aku biasa fotokopi berkas-berkas dan catatan-catatan penting serta menjilid kliping dan makalah yang menjadi tugasku. Yang aku suka dari Kreatif FC ini tarifnya relatif lebih murah, pengerjaannya juga lebih cepat, di samping pelayannya yang lumayan tampan.
Uda, mau ambil yang kemarin,” kataku kepada salah satu penjaga warung yang sedang membereskan kertas-kertas hasil fotokopi.
“Oh, yang formulir itu ya? Sebentar.”
Sambil menunggu uda menyiapkan hasil fotokopiku, aku melihat-lihat hasil fotokopi pelanggan lain yang tergeletak di atas etalase kaca. J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1.
Tunggu! Ini fotokopi dengan menggunakan teknik cover’s scanning? Persis betul dengan buku aslinya yang baru saja kubeli kemarin.
“Empat ribu tujuh ratus.”
Aku segera mengeluarkan uang, membayar kepada uda tampan itu. “Ini fotokopi buku, Da?”
“Iya, betul!”
“Kalo sampulnya begini, berapa?”
“Ya, nambah dikit lah. Tapi, gak sampai seperti buku aslinya,” jawabnya. Ia melanjutkan dengan nada berbisik, “Lebih hemat!”
Kemudian ia tertawa. Kedua saudaranya yang sama-sama menjaga warung itu ikut tertawa.
Aku hanya nyengir kuda. Di dalam hati aku menerka-nerka, siapa orang yang suka memfotokopi dengan sampul persis seperti buku aslinya. Pasti dia mahasiswa perantauan yang berasal dari keluarga seadanya. Menghemat biaya kuliah sehemat-hematnya. Aku merasa beruntung karena meski aku dari keluarga sederhana tapi sampai saat ini aku tidak pernah melakukan hal itu. Aku merasa beruntung telah diberi rezeki oleh Tuhan-ku sehingga aku tidak merugikan para penyebar ilmu dengan melanggar haknya dalam berkarya.
Hasil fotokopi formulirku aku masukkan ke dalam map agar tidak lusuh dan ada yang sobek.
“Berapa, Mas?” sebuah suara laki-laki paruh baya datang dari sebelah kiriku.
“Buku ini, ya, Pak? Empat puluh dua ribu.”
Rupanya orang yang memfotokopi buku itu. Tapi, kenapa aku merasa ada yang aneh. Sepertinya suara itu tak asing bagiku. Aku pun menoleh ke arah laki-laki itu.
Pak Tomang?! Serasa menjerit karena terkejut di dalam hati.
 “Terima kasih, Mas. Pas, ya uangnya!”
Dengan tergesa-gesa, Pak Tomang segera meninggalkan warung fotokopi. Aku menatapnya dari belakang. Mataku mengerjap-ngerjap.
Dalam hati aku pun menirukan artis sensasional Syahrini, “Seperti itu...”.






Ibu Sudah Pergi

"Nak, nanti kalau ada yang mencari ibu, bilang saja ibu sudah pergi."
"Tapi, Bu, kita kan gak boleh berbohong".
"Sudah, Nak, untuk kali ini saja."
Aku mengangguk pada ibu.
Di halaman rumah aku bergabung dengan teman-teman sebaya bermain lompat karet.
Seorang tetangga mendekat kepadaku, "Ibunya ada?"
"Ibu sudah pergi". Ia pun berlalu.
Aku segera berlari ke dalam rumah menemui ibuku.
"Bu, barusan ada yang cari ibu. Aku bilang ibu sudah pergi."
Tak ada jawaban. Kupegang tangannya perlahan, mencoba membangunkan. Dingin. Dan ibu juga tak bangun-bangun.