Musim panas kali ini terasa sangat
membosankan. Aku hanya bisa berdiam diri di rumah. Ayah menghukumku karena aku
memecahkan guci kesayangannya ketika aku tersandung kaki Jack. Sebenarnya aku
tidak bersalah, sama sekali tidak. Jack yang sengaja menyandung kakiku. Padahal
aku sudah meminta maaf kepada ayah dan menjelaskan bahwa itu adalah kesalahan
Jack, bukan kesalahanku. Tetapi, tetap saja, ayah menghukumku dan menyalahkan
aku karena ayah pikir kalau Jack masih terlalu kecil untuk dihukum dan disalahkan.
Ini
sungguh tidak adil, gerutuku dalam hati.
Aku
melihat Jack bermain di luar, di sebuah lapangan kecil yang gersang di samping
rumah kami. Ia bermain bola bersama Edwin, tetangga kami. Edwin adalah seorang
laki-laki yang tampan dan sangat menarik. Tingkah lakunya sangat santun dan ia
juga ramah. Walaupun terkadang, entah mengapa, aku merasa ada keanehan dalam
diri Edwin yang aku pun tak tahu apa itu. Tetapi, aku tetap menyukainya.
Sesekali
Jack menoleh ke arahku. Matanya menatapku menerobos jendela kamar yang sengaja
ku buka lebar-lebar untuk menarik perhatian Edwin, meskipun usahaku ini tidak
berhasil. Jack melirik ke arahku dengan tatapan mengejek. Aku jengkel melihat
tingkahnya. Ini semua kan gara-gara dia. Kalau saja waktu itu dia tidak menjahiliku
dengan sengaja menyandungkan kakinya ke kakiku hingga aku terjatuh menabrak
guci kesayangan ayah hingga jatuh dan pecah, pasti aku yang berada di sana
bersama Edwin.
“Hhh...,”
aku menghela napas dan merebahkan separuh badanku di atas ranjang dengan kedua kakiku
masih menggantung di pinggirannya.
Aku
menatap ke langit-langit membayangkan Edwin, sosok cowok termanis yang pernah
aku temui. Aku membayangkan jika saja dia datang ke rumah untuk mengunjungiku.
“Ah,
senangnya...,” kataku lirih sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Maaf, apa aku mengganggumu?” tanya
seseorang dari jendela kamarku.
Suaranya bagus, aku memuji dalam hati.
Aku langsung bangun dari tempat
tidurku yang mengahdap ke jendela, dan...
“E...Edwin? Kau bertanya padaku?”
tanyaku sedikit tergagap dan malu. Jantungku langsung berdebar-debar keras
sekali.
“Ya, tentu. Bukankah di kamar ini
hanya ada kau?”
Ia tersenyum. Senyumannya manis
sekali. Bahkan jauh lebih manis dari madu, gula, atau pemanis apa pun.
“Aku mengganggumu, ya?” ia mengulang
pertanyaannya.
“Uh, eh, oh, tidak. Tidak sama
sekali,” jawabku gugup. Aku berjalan menuju jendela mendekatinya. Ini pertama
kalinya aku salah tingkah di hadapan cowok yang aku sukai.
“Kenapa kau tidak bermain-main di
luar? Ini kan liburan musim panas. Atau kau memang lebih senang menghabiskan
waktu liburan di dalam rumah?”tanya Edwin ramah.
“Aku...aku...”
Tiba-tiba Jack datang dari belakang
Edwin dan menyela perkataanku, “Dia kan sedang mendapat hukuman dari ayah!
Hahaha.......”
Jack tertawa terbahak-bahak. Dia terlihat
sangat puas dengan hukuman yang ayah berikan kepadaku.
“Diam, bodoh! Ini semua gara-gara kau!
Kau yang sengaja menyandung kakiku. Kau kira aku tidak tahu, hah?”
Jack cepat-cepat berbalik dan
memukul-mukul pantatnya yang ia hadapkan ke arahku. Kemudian ia berlari, pergi
entah ke mana.
Brengsek, kurangajar, aku mengumpat
dalam hati.
Edwin tergeleng-geleng melihat ulah
Jack yang konyol dan yang membuatku kesal, ia tertawa kecil melihat
pertengkaranku dengan Jack. Sebenarnya memang tak pantas gadis berumur tujuh
belas tahun sepertiku bertengkar dengan anak lak-laki berumur delapan tahun
seperti Jack. Tetapi, ini semua tidak akan terjadi kalu dia tidak menjahiliku
lebih dulu.
Aku yang malu setengah mati jadi serba
salah tingkah. wajahku pun memerah. Edwin menghadapku lagi dan aku hanya bisa
meringis malu.
“Benarkah yang dikatakan Jack? Kalau
begitu, bagaimana jika aku meminta izin kepada orang tuamu agar kau menemaniku
pada acara perkemahan musim panas di Greenmount? Kau mau kan pergi denganku?”
Apa? Edwin mengajakku pergi berkemah?
Mimpi apa aku semalam. Ini bagaikan tertimpa rembulan jatuh. Benar-benar tak
dapat dipercaya.
“Su..sungguh?” tanyaku terbata-bata.
“Tapi kalau kau tidak keberatan,”
jawabnya sambil tersenyum.
“Oke. Tapi kau saja ya, yang bicara pada
orang tuaku,” ujarku menyetujuinya.
Dia hanya mengangguk pasti. Masih
sambil tersenyum dia meminta izin memohon diri. Katanya, sebentar lagi ia ada
kepentingan. Kemudian ia berjalan menjauh menuju ke rumahnya sambil melambaikan
tangan kanannya kepadaku.
Aku masih di depan jendela mengamati
rumah Edwin yang lebih besar dan tentunya lebih megah dari rumah kami. Rumah
Edwin yang bercat merah itu mengingatkanku pada seseorang, yaitu Joe, teman
kecilku sekaligus teman terbaikku. Tapi, aku tak tahu di mana ia sekarang.
Beberapa saat kemudian seperti biasanya, Edwin dan keluarganya pergi
menuju ke arah barat. Dan ini sudah ke beberapa kalinya aku menyaksikannya.
Jadi sudah tidak heran dengan kebiasaan keluarganya. Mereka bilang, mereka itu
hanya sekedar hobi mereka berjalan-jalan di petang hari.
Siang ini sangat panas, gerutuku dalam
hati.
Aku baru saja membeli buah-buahan dan
sayuran di supermarket. Hari ini ibu tidak bisa berbelanja karena sakit, jadi
aku yang menggantikannya berbelanja. Meskipun harus berpanas-panas dengan terik
matahari yang menyengat, tetapi aku senang karena akhirnya aku bisa keluar dari
rumah walau hanya untuk sekedar berbelanja.
Aku berbelok ke arah kiri dari
supermarket tempat ibu biasa berbelanja menuju halte bus. Aku berharap aku tidak
ketinggalan bus sehingga aku harus menunggu lebih lama di halte.
“Hai Sonia, apa kabar?” seseorang
menyapaku dari arah belakang.
Aku menoleh ke belakang dan tersenyum padanya.
Rupanya Edwin yang menyapaku.
“Hai Edwin! Kabarku baik. Kau sendiri
bagaimana?”
“Yeah...lumayan baik. Aku hanya merasa
kesepian harus ditinggal orang tuaku untuk sementara waktu. Mereka harus ke
Alpenwilly karena tuntutan pekerjaan.”
“Ooo... ,” balasku singkat.
“Oya,
bagaimana dengan tawaranku yang waktu itu? Kau mau?” Edwin bertanya padaku
sambil sedikit mendekatkan wajahnya ke arahku.
“Tawaran
yang mana?” tanyaku sedikit bingung.
“Katanya
kau ingin pergi berlibur di musim panas ini, tapi karena....”
“Oh...iya,”
aku langsung memotong kata-katanya. Aku tahu dia akan meneruskan perkataannya
bahwa aku tidak bisa pergi berlibur di liburan musim panas ini karena mendapat
hukuman dari Ayah dan aku benci bila harus mendengarnya.
“Lalu?”
“Ya.
Aku mau. Tapi kau kan yang berjanji akan memintakan izin kepada orang tuaku.”
Bus
yang kami nanti akhirnya tiba juga. Pintu bus yang tepat sekali di hadapan kami
berdua terbuka dan kami segera masuk kemudian mencari bangku yang kosong.
Kebetulan ada dua bangku kosong yang sejajar, sehingga kami bisa melanjutkan
pembicaraan kami di bus.
“Aku
sudah bilang,” lanjut Edwin.
“Lalu?”
“Mereka
mengizinkan,” jawab Edwin sambil tersenyum dan aku pun membalas senyuman itu.
Oh,
Tuhan, terima kasih! Ucapku bersyukur dalam hati. Akhirnya, sisa liburan musim
panas ini akan ku lalui tidak dengan kebosanan lagi. Tapi...
“Apa
Jack boleh ikut?” tanyaku penasaran.
Aku
bertanya kepada Edwin dan mengharapkan dia akan mengatakan tidak. Jika ia
mengatakan ya, maka lebih baik aku tidak pergi berlibur bersamanya daripada aku
harus melihat ulah-ulah konyolnya. Belum lagi sudah pasti aku harus menanggung
malu karenanya.
“Aku
tidak tahu.”
Edwin
kemudian mengeluarkan dua buah kartu tanda peserta perkemahan itu dari tasnya
kemudian memberikannya kepadaku satu buah.
“Terima kasih,” ucapku.
Di kartu itu tertera beberapa
persyaratan menjadi peserta perkemahan. Ternyata cukup banyak juga
syarat-syarat yang harus aku jalani selama menjadi peserta perkemahan itu. Yah,
salah satunya adalah para peserta dilarang hanya pergi berdua dengan lawan
jenis.
Ah, kita lihat saja siapa yang akan
lebih cerdik dalam hal ini. Peserta atau panitia, pikirku konyol.
“Ah,
ini. Sepertinya tidak,” kata Edwin sambil menunjuk satu dari sekian poin
persyaratan itu. “Jack baru berusia tujuh tahun kan?”
“Delapan
tahun,” jawabku.
Aku
membaca poin persyaratan yang ditunjuknya. Aku merasa lega karena batas minimum
usia peserta perkemahan itu adalah dua belas tahun.
“Hei,
bukankah ini kesempatan yang bagus?” bisik Edwin sembari sedikit menyeringai ke
arahku. Ia memberikan sebuah senyuman dengan sebuah ekspresi senang namun sedikit
licik.
“Apa?”
aku membalas dengan tanya dan sedikit heran. Aku tak mengerti apa maksud
perkataan dan senyuman itu.
“Tidak,”
jawab Edwin singkat. Senyuman di bibirnya langsung menghilang.
Dia
kemudian bersender di kursinya dan langsung diam tak bersuara. Selama sisa
perjalanan itu ia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Beberapa kali aku mencoba
memulai pembicaraan lagi, namun ia hanya membalasnya dengan senyuman dan
sesekali hanya menjawab ya dan tidak. Aku bingung menghadapi sikap Edwin yang
seperti ini. Mungkinkah ada yang salah denganku?
Oh,
Edwin, kumohon kau jangan bersikap cuek kepadaku seperti ini.
“Sonia,
ku harap kau dapat menjaga dirimu baik-baik. Jangan sampai kau merepotkan
Edwin. Kau ini sudah besar, bukan anak kecil lagi,” ibu berpesan kepadaku
sebelum aku pergi.
“Oke.
Tenang saja, Bu. Aku akan baik-baik saja.”
Ibu
mendekapku erat sekali. Baru kali ini rasanya aku merasakan kehangatan pelukan
seorang ibu. Seingatku, belum pernah ibu memelukku seperti ini.
Sambil
menghapus air matanya, ibu memberiku sebuah kalung berbandul hati kecil yang di
dalamnya terdapat fotoku dan juga foto ibu.
“Ini,
simpan baik-baik. Aku tahu kau akan selalu merindukan rumah karena kau tidak
pernah pergi jauh dari rumah dalam waktu lebih dari satu minggu tanpa ada
keluarga yang menemanimu. Jadi, aku memberimu kalung kesayanganku.”
Aneh.
Bukankah dulu aku sering kabur dari rumah selama berhari-hari karena Ayah
sering sekali memarahiku? Atau Ibu sudah lupa?
Tiba-tiba
Ayah memelukku dari belakang.
“Aku
yakin Tuhan akan melindungimu,” kata Ayah lirih.
“Iya,
Sonia. Walaupun kau sering menyebalkan, jarang mandi, galak, dan cengeng,
tetapi aku pun turut bersedih dengan kepergianmu,” Jack berkata kepadaku dengan
raut wajah yang sedih.
Oh,
Tuhan. Sebenarnya apa yang telah dan akan terjadi? Mengapa mereka semua begitu
sedih melihat kepergianku dari rumah ini. Aku kan hanya akan pergi selama dua
minggu, itu pun untuk bersenang-senang berkemah bersama Edwin dan teman-teman
baru yang akan kutemui nanti.
Tiba-tiba
sebuah pikiran konyol muncul di benakku. Mungkin mereka semua sebenarnya tak
bisa tanpa aku. Walaupun mereka sering memarahiku dan pilih kasih, mereka tetap
saja akan merasa kehilangan aku jika aku tak berada di dekat mereka. Meski hanya
dalam waktu dua minggu saja.
“Hai
Sonia! Kau sudah siap?” tanya Edwin berlari-lari ke arah kami sambil
membawa-bawa sebuah tas jinjing. Rupanya dia membawa dua tas, sama sepertiku.
Tas ransel yang digendongnya lebih besar daripada tas ransel yang kubawa. Edwin
memakai kemeja hitam putih kotak-kotak dengan kaos putih di dalamnya, celana
jeans biru bermodel pipa dan sepatu putih bertali. Rambutnya yang cokelat, sama
seperti matanya, tergerai lembut tertiup angin ketika ia berlari, membuatnya
semakin terlihat tampan dan keren.
“Hai!
Oh, tentu. Aku sudah siap,” jawabku.
“Sebentar
lagi busnya datang menjemput kita. Pastikan tidak ada satu pun barang penting
yang tertinggal,” katanya sambil menatapku dalam-dalam.
Spontan
aku langsung gugup dan salah tingkah. Jantungku berdebar-debar keras sekali.
Aku kemudian sesegera mungkin membuang pandanganku dari matanya yang tajam.
“Paman,
Bibi, Jack, kami berangkat dulu,” pamit Edwin kepada Ayah, Ibu, dan Jack ketika
sebuah bus mini berwarna kuning berhenti di depan rumah.
Bus
itu bertuliskan Greenmount Camping. Tulisannya dibentuk seperti darah yang
menetes dari sebuah luka yang parah, namun justru itu yang membuat keren dari
bus ini. Dalam dan luarnya pun terlihat bersih.
Sepertinya ini bus baru, pikirku.
Sekali
lagi, ayah dan ibu memelukku. Begitu pula Jack. Aku merasa hal seperti ini
sangat janggal. Namun aku senang, akhirnya mereka merasa sedih juga dengan
kepergianku.
Aku
dan Edwin pun berangkat ke Perkemahan Greenmount dengan bus itu.
Kira-kira
satu jam kemudian bus berhenti di bawah sebuah pohon besar. Akhirnya, tiba juga
kami di Greenmount. Aku melihat beberapa peserta perkemahan yang umurnya sebaya
denganku sudah tiba lebih awal di tempat itu. Ternyata ada peserta lain juga
selain peserta dari bus ini.
Edwin
menggandeng tanganku keluar dari bus. Terlihat beberapa peserta lain melakukan
hal yang sama. Sepertinya banyak di antara sesama peserta perkemahan ini
mempunyai hubungan pribadi dengan lawan jenisnya. Aku bersyukur karena aku
yakin poin peraturan yang mengatakan bahwa para peserta tidak diizinkan pergi
hanya berdua dengan lawan jenis akan gugur. Karena sudah pasti peserta
perkemahan ini akan banyak yang melanggarnya.
“Hai!
Kau ikut perkemahan ini juga?” tanya seorang gadis yang usianya sebaya dengan
Edwin kepadaku. Rambutnya pirang dan ikal, mata birunya besar seperti melotot
kepadaku.
“Ya,”
jawabku singkat karena masih terpesona melihat mata biru jernihnya itu.
Kemudian
ia menyibakkan rambutnya yang sebahu lalu mendekatkan mulutnya ke kupingku dan
berbisik, “Hei, apa kau sudah tahu bahwa pada perkemahan musim ini akan ada
yang mati?”
Aku
terkejut. Apa maksudnya?
Aku
menoleh kanan dan kiri dan berbisik padanya, “Maksudmu?”
Gadis
itu memegang dahinya dan menghela napas kemudian berkata dengan suara yang agak
keras, “Huuh.., kau ini kuper sekali sih? Masa kau tidak tahu bahwa hampir
setiap tahunnya perkemahan Greenmount ini akan memakan...”
“Sonia!
Apa kabarmu? Lama kita tidak bertemu,” tanya seseorang yang menepuk pundak dari
belakangku.
Aku
membalikkan badan dan langsung memeluknya.
“Oh,
Joe! Senang sekali bertemu denganmu di sini. Sudah berapa tahun ya, kita tidak
pernah bertemu?” kataku senang.
Edwin
yang mulanya asik mendengarkan musik lewat mp4-nya, kini sedikit menghindar
dariku. Aku melihat ketidaksukaannya dengan Joe. Apalagi ketika aku memeluk Joe
di hadapannya.
Mungkinkah
Edwin cemburu?
“Hei!
Kau tidak tahu sopan santun ya? Aku kan sedang berbicara dengannya, kenapa kau
memotong pembicaraanku?” gerutu gadis berambut pirang itu kesal.
“Maaf,
aku tidak tahu. Tapi, bolehkah aku berkenalan denganmu, nona manis?” kata Joe
kepadanya.
Dasar
playboy. Ternyata dia masih sama seperti dulu. Masih saja hobi berkenalan
dengan gadis-gadis berambut pirang.
“Alice.”
Oh,
rupanya nama gadis itu adalah Alice.
“Joe!
Cepat ke sini! Kami butuh bantuanmu!” teriak seorang panitia yang kira-kira
usianya hampir sama dengan ayahku.
Joe
berjalan setengah berlari mundur ke arah kumpulan panitia sambil berkata
sedikit berteriak kepada gadis itu, “Aku Joe. Jonathan Marcus.”
“Para
peserta diharap segera berkumpul di sini. Ayo, cepat! Cepat! “ teriak seorang
panitia kepada para peserta.
Aku,
Edwin, dan Alice segera menuju ke tempat yang ditunjuk oleh panitia itu. Edwin
membawakan tas jinjingku, sementara Alice sibuk merapikan rambutnya.
Semua
peserta berkumpul di tempat itu tetapi ternyata tak sebanyak yang ku kira sebelumnya.
Padahal ada dua bus yang menjemput peserta, tetapi kenapa pesertanya hanya
sebanyak ini?
Kemudian
aku mencoba menghitung jumlahnya. Hanya ada dua puluh, kurang lebih. Perasaan
tak enak mengganjal di hatiku. Ini sungguh aneh, kalau dipikir-pikir. Tadi bus
yang aku tumpangi jumlah pesertanya sembilan belas padahal bus itu maksimal
mengangkut tiga puluh penumpang. Lalu, jika pihak panitia perkemahan tidak mau
rugi, seharusnya hanya satu ada satu bus saja yang menjemput peserta.
“...kemudian
pembagian pondok, Aline Rosemarie, Hanna...”
Rupanya
pembagian pondok sudah dimulai. Aku tidak memperhatikan panitia berbicara tadi.
Aku sibuk menghitung dan memperhatikan satu per satu hampir dari seluruh
peserta perkemahan ini. Kemudian aku mencoba mendengarkan lagi panitia yang di
depan itu.
“...di
pondok B. Sedangkan Alice McBrown, Lindsay
dan Christine Hannah, serta Sonia Johnson di pondok C. Paul Mc
Carter, Jonathan Marcus, Geovannie Gevina, dan Edwin Hubbert di pondok
D. Kemudian di pondok E.....”
Edwin
sempat menoleh kepadaku dan tersenyum, aku pun membalasnya. Lalu dia menghadap
ke depan lagi untuk mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh panitia sebelum
acara perkemahan resmi dimulai. Sementara itu, aku memperhatikan beberapa
peserta yang dandanannya menurutku aneh dan norak sambil sesekali aku memandang
Joe yang berdiri di samping Pak Caldwell.
Malam
hari, setelah acara perkenalan dan makan malam selesai, para peserta dipersilahkan
untuk jalan-jalan di sekitar pondok sambil saling bersenda gurau untuk lebih
mengakrabkan antara peserta satu dengan peserta lainnya.
Aku,
Alice, Lindsay dan Aline duduk-duduk di dekat api unggun yang kami buat
sendiri. Api unggun itu menyala redup, menambah suasana semakin mengasyikkan.
Belum pernah aku merasakan suasana seasyik ini, yah, karena aku memang baru
kali ini mengikuti acara perkemahan musim panas tahunan.
“Sonia,
siapa sih, cowok yang kau peluk tadi itu? Pacarmu?” tanya Alice tiba-tiba. Ia
bertanya kepadaku tanpa melihat ke arahku karena ia sedang sibuk memperhatikan
sejimpit ujung-ujung rambutnya yang tergerai itu.
“Maksudmu
Joe? Bukan, dia hanya teman kecilku. Sekitar lima atau enam tahun yang lalu ia
pindah ke California. Tapi aku masih hafal benar wajahnya karena lesung di pipi
kirinya dan aku juga sangat mengenali suaranya.”
“Oooh..,”
balas Alice singkat.
“Hei
Alice, Sonia, Lindsay, kalian tahu tentang cerita yang mengatakan bahwa ini
perkemahan berhantu?” tanya Aline tiba-tiba.
“Semua
sudah tahu. Kecuali...,” Alice menjawab pertanyaan Lindsay dengan nada yang
setengah mengejek. Kemudian ia melirik ke arahku, memperhatikan aku dari ujung
kepala hingga ujung kaki. Aku tahu, dia memang sedang mengejekku karena aku
kuper. Tapi ini sama sekali tak jadi masalah, karena aku memang merasa kuper
dan aku memang ingin mengetahui lebih banyak lagi berita, atau hanya sekedar
gosip miring, tentang perkemahan ini.
“Ya,
setiap tahun, hampir setiap tahun, ada korban jiwa dalam acara perkemahan ini.
Mereka yang jadi korban menghilang secara tiba-tiba atau mati secara misterius
dengan kondisi yang sangat mengenaskan,” Aline menjelaskan. Matanya yang hitam
menatapku dalam-dalam.
Aku
sedikit bergidik. Percaya atau tidak aku bukan anak yang penakut. Tapi entah
mengapa cerita hantu kali ini benar-benar membuatku berulang kali mengingat
Tuhan dan berdoa kepada-Nya.
Aline
melanjutkan ceritanya,” Mereka yang hilang tak pernah ditemukan hingga detik
ini. Sedangkan mereka yang mati..”
Aline
menatap mata kami semua dalam-dalam dan berlagak seperti menakut-nakuti kami.
Lindsay nampak ketakutan, Alice kelihatan cuek saja tanpa ekspresi, dan aku
sepertinya terlihat penasaran sekali akan kelanjutan cerita Aline.
“...mereka
mati dalam kondisi tak wajar. Misterius. Mengerikan. Tubuh mereka seperti
dikoyak-koyak oleh binatang buas, seluruh tubunhya berlumur darah, matanya
melotot seperti orang yang mati karena gantung diri, wajah mereka sudah hampir
tak berwujud seperti manusia lagi, tetapi seperti hantu muka rusak.”
Bulu
kudukku mulai berdiri, begitu pun Lindsay.
“Dan
kau tahu siapa pembunuhnya?” tanya Aline kepadaku dan kepada Lindsay.
Aku
saling bertatapan dengan Lindsay. Terlihat jelas dari air mukanya bahwa ketakutan
besar sedang menghinggapinya. Bahkan ia hampir saja menangis, matanya sudah
berkaca-kaca.
“Pembunuhnya
adalah manusia serigala,” jawab Alice datar.
“Ya,
manusia serigala...,” jawab Aline.
“....berbulu
domba,” Alice menambahkan.
Aline
dan Alice tertawa kecil. Sementara aku dan Lindsay masih dalam ketakutan dan
rasa ingin tahu kami semakin besar.
Aku
melihat Joe dari kejauhan yang sepertinya sedang mencari-cari aku. Ia mendekati
setiap kerumunan peserta yang sedang asyik bercengkerama. Sampai akhirnya ia
melihat aku dan tersenyum lega.
Ia
mendekat ke arah kerumunan kami dan berkata kepadaku, “Sonia, maukah kau
berjalan-jalan denganku? Sebentar saja.”
“Joe,
kau benar-benar tidak punya sopan santun ya? Kau tidak melihat kami ada di sini?
Seharusnya kau meminta izin, yah..., paling tidak kau basa-basi dulu kepada
kami atau...,” kata Alice sambil memainkan rambutnya. “...juga mengajak kami
pergi bersama kalian.”
“Oh,
maaf. Maafkan aku. Sonia, bagaimana?”
Aku
memandang teman-teman baru di sekelilingku. Lindsay dan Aline mengisyaratkan
kalau mereka tak keberatan aku pergi jalan-jalan dengan Joe.
“Oke.
Maaf, ya, teman-teman. Aku akan pergi berjalan-jalan dengan Joe. Semoga obrolan
kalian semakin bertambah asyik,” kataku kepada mereka.
Aku
berdiri dan mulai meninggalkan mereka. Namun tiba-tiba Aline mengejarku dan
menyeretku sedikit menjauh dari Joe.
“Hati-hati
terhadap semua orang di perkemahan ini. Tak terkecuali orang yang sudah kau
kenal dekat,” bisiknya dengan nada mengancam. “Kau tentu paham dengan istilah
serigala berbulu domba kan?”
Aku
kebingungan. Bingung dengan kata-kata Aline yang baru saja ia ucapkan. Apa
maksudnya? Tetapi aku berusaha untuk tetap bersikap biasa-biasa saja dan
melanjutkan berjalan-jalan dengan Joe.
Aku
dan Joe berjalan-jalan melewati tepian hutan. Hutan itu tampak angker dan
menakutkan. Dan seperti biasa, setiap kali aku menemui hal-hal yang baru pernah
aku temui, imajinasiku langsung membumbung ke dunia khayalan.
Ini
seperti hutan terlarang yang ada di kisah Harry Potter. Aku jadi membayangkan
seandainya aku bertemu dengan labah-labah raksasa dan aku mempunyai tongkat
sihir, akan aku sihir labah-labah itu menjadi seekor katak. Kemudian katak itu
akan kutaruh di tempat makan Jack agar ia menjerit dan menangis ketakutan.
“Sonia?
Sonia?” suara Joe membuyarkan pikiranku. “Apa yang sedang kau pikirkan? Pasti
Edwin si Pencari Muka itu ya?”
“Joe?
Kamu ngomong apa sih? Edwin tidak seperti itu. Di memang baik, kok”
Joe
menghentikan langkahnya dan menghadapkan badannya ke arahku. Ia menatapku
dengan tatapan yang sangat dalam. Beberapa saat kemudian dia berkata, “Sonia,
jangan pernah kau katakan kau mencintainya dan akan melakukan apa pun demi dia.
Aku mohon.”
“Eh..uh..oh.., aku..aku...kau bilang apa
barusan?” tanyaku tergagap.
“Aku
mencintaimu jauh lebih dulu darinya. Apa kau akan sampai hati melakukan semua
ini?” kata Joe. Ia berbicara dengan suara yang agak serak dan lirih. Ia
membelai rambutku dan merapikan poniku.
Aku
hanya menunduk terdiam. Aku tak sanggup berkata apa-apa.
“Aku
tak peduli kau berpacaran dengan siapa pun, asalkan bukan dengannya. Sumpah
mati aku tak akan sampai hati merelakanmu dengannya.”
“Jadi,
kau mengancamku?” tanyaku. Aku mulai terbawa emosi. Entah mengapa ada perasaan
tak terima karena Joe telah menjelek-jelekkan
Edwin di depanku.
“Jika
aku tak mengancammu, maka kau akan celaka!”
Plak!
Aku menampar pipi Joe.
“Apa
maksud kata-katamu? Apa kau sudah gila? Edwin tak mungkin mencelakaiku! Kau
yang berusaha mencelakaiku!” aku membentak Joe dan berlari pulang ke arah
pondok sambil menangis.
Rupa-rupanya
Edwin telah menungguku di depan pondokku. Aku sempat berhenti menghadapnya
namun akhirnya aku tetap masuk ke pondok. Aku tak kuasa menahan air mataku
membasahi pipiku. Aku langsung masuk ke kamarku dan naik ke tempat tidur dengan
posisi telungkup.
Alice
dan Lindsay saling bertatap mata keheranan. Kemudian mereka pun ikut tidur
setelah lampu kamar kami dimatikan.
Udara
pagi ini sangat sejuk. Matahari yang bersinar terasa hangat namun tidak terik
seperti di siang hari nanti. Burung-burung berkicauan, mereka saling
bersahutan, menambah keindahan di pagi hari ini.
Aku,
Alice, Lindsay, dan si Kembar Hannah pergi ke danau mencari air dan memancing.
Kami berlima pergi secara sembunyi-sembunyi dari panitia perkemahan. Kami
merasa bosan setelah harus tinggal di pondok selama beberapa hari tanpa ada
satu acara pun yang menantang kami. Oleh karena itu, kami pergi ke danau di
pinggiran hutan yang letaknya cukup jauh dari perkemahan kami.
“Wow..!
Air danau ini kelihatannya jernih sekali. Aku jadi ingin mandi dan berenang di
sini,” ujar Alice.
“Iya,
kami juga sudah lama tidak berenang di danau,” tambah si Kembar Hannah.
“Apa
kalian sudah gila? Kalau ada apa-apa bagaimana? Siapa yang akan bertanggung
jawab? Kita kan sedang berada di luar pengawasan panitia?” kataku ragu.
“Ah..,
sudahlah. Ini kan cuma sekali saja. Hanya sekali....saja,” balas Lindsay.
Kemudian
mereka bertiga mulai melepas sepatu dan pakaian mereka lalu berenang di danau
itu.
“Hei
anak kuper dan penakut, kau tidak bisa berenang ya? Ayo, berenanglah bersama
kami!” teriak Alice dari danau. Aku menjawabnya hanya dengan menggelengkan
kepala.
Sebenarnya
bukan karena aku tidak bisa berenang ataupun aku takut dihukum oleh panitia,
namun aku lebih tertarik untuk menikmati keindahan danau itu sambil melihat
mereka berenang.
Setengah
jam kemudian, aku mengusulkan kepada mereka untuk segera kembali ke pondok,
tetapi mereka menolak dan menghalangi jalanku ke pondok. Bahkan mereka sempat
mengeroyok aku dan berusaha menceburkan aku ke danau.
“Aku
tidak akan membiarkanmu kembali ke pondok sekarang!” kata Alice.
“Kenapa?
Kenapa aku tak boleh kembali? Memangnya apa hak kalian untuk melarangku kembali
ke sana?” gerutu kesal.
“Edwin.
Edwin pasti sedang mencarimu dan aku tidak suka dengan hal ini,” kata Lindsay.
Ia memelototiku, begitu pula yang lainnya. Mereka semua berjalan ke arahku
dengan sorot mata tajam dan dingin, sedingin es di kutub selatan.
Aku
jadi serba salah. Tiba-tiba aku bergidik, bulu kudukku berdiri. Aku berpikir
bahwa jangan-jangan mereka adalah sekawanan manusia serigala yang mereka
ceritakan sendiri pada malam-malam sebelumnya.
Aku
teringat pesan Aline, “Hati-hati terhadap semua orang di perkemahan ini. Tak
terkecuali orang yang sudah kau kenal dekat.”
Ya,
merekalah manusia serigala itu!
Aku langsung membalikkan badanku dan
berlari secepat dan selincah mungkin. Aku baru berhenti ketika napasku
tersengal-sengal dan kakiku mulai lemas. Akhirnya, aku berhasil lolos dari
manusia-manusia serigala itu juga.
Namun,
beberapa saat kemudian langkahku yang semakin melambat pun berhenti. Aku
melihat sekelilingku. Pohon-pohon besar berdaun rindang dengan batang-batang
besar yang menjulang tinggi menutupi matahari siang itu. Bayangannya membuat dalam
hutan ini lebih gelap dari pinggiran danau tadi. Tiba-tiba aku merasa ketakutan
menyelubungi diriku ketika aku tersadar bahwa aku telah memasuki hutan dan
tersesat di dalamnya.
Hari
semakin sore, tak satu orang pun yang mencariku. Aku yang sendirian di hutan ini,
hanya bisa menangis, dan menangis. Sudah ku coba berjalan berbalik arah dari
jalan aku masuk ke hutan ini. Tetapi semuanya sia-sia. Bahkan danau yang tadi
aku lewati pun tak kunjung kutemukan.
Semakin
lama, tubuhku semakin lemas. Pantas saja karena dari semalam aku memang belum
mengisi perutku sama sekali. Aku juga tidak sempat menikmati sarapan tadi pagi
karena Alice, Lindsay, dan si kembar Hannah membujukku untuk pergi meninggalkan
perkemahan secara diam-diam. Aku menyesalinya karena ternyata merekalah manusia
serigala itu.
Dari
kejauhan aku melihat seperti ada seseorang di balik pohon beringin yang besar.
Dia sedang mengamatiku. Kemudian aku mencoba berlari mengejarnya. Tetapi,
sesampainya aku di pohon itu, aku tak menemukannya.
Kemana
dia? Siapa orang itu? Apa dia juga tersesat di hutan ini seperti aku? Kenapa
dia tak mau menemui aku?
Aku
terduduk di bawah pohon itu. Saat ini aku hanya bisa berdoa dan berdoa saja.
Berharap nanti ada orang yang mencariku dan berhasil menemukanku sehingga aku
cepat kembali ke perkemahan.
Srek.
Aku
menoleh ke belakang. Berdiri kemudian mencari-cari suara yang mencurigakan itu.
Sedari tadi aku memang merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikan
aku.
Ya!
Aku melihatnya sekilas. Ia memakai jaket berwarna merah. Tapi, bukankah warna
merah adalah warna kesukaan manusia serigala?
Aku
langsung teringat cerita Aline dan Alice tentang manusia serigala. Kata-kata
Aline tentang korban mereka pun terngiang-ngiang di telingaku. Aku semakin
cemas dan ketakutan. Lalu aku jongkok di bawah pohon itu dan menangis. Wajahku
kubenamkan di atas lututku dengan kedua tangan menutupi kedua telingaku.
Tidak!!!
Dia berada di hadapanku. Ya, di berhenti di hadapanku. Oh, Tuhan, selamatkanlah
aku.
Cengkeraman
kuat di bahuku membuatku semakin ketakutan. Sebentar lagi aku akan dilahap
habis olehnya. Atau akan dijadikan tumbal untuk musim panas tahun ini. Aku akan
mati dengan keadaan yang mengenaskan. Atau aku tidak akan kembali ke sini lagi.
Aku akan diambil olehnya, dijadikan manusia serigala yang berikutnya.
Cengkeraman
itu semakin kuat dan mengoncang-goncangkan tubuhku.
“Sonia!
Sadar, Sonia! Ini aku, Edwin! Kami telah mencarimu ke mana-mana, ternyata
kau...,” kata Edwin sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.
Aku
langsung menatap wajahnya dan memeluknya. Aku menangis di pelukkannya. Aku
bersyukur, akhirnya ada juga yang menemukan aku di sini. Saat itu, aku
benar-benar sangat ketakutan. Pikiranku kacau.
Lalu
aku digendong oleh Edwin. Aku melihat ke arah belakang Edwin. Setengah sadar,
aku melihat samar-samar hutan itu. Di bawah pohon beringin itu, aku melihat
sosok seseorang berjaket merah memperhatikanku dan Edwin. Sepertinya orang itu
tidak asing bagiku. Namun karena tubuhku lemas tak berdaya, aku memejamkan
mataku mencoba untuk tidur di pelukan Edwin. (bersambung...)