Selasa, 31 Maret 2015

Senjata Kudhi, Artefak dari Banyumas

Kabupaten Banyumas sebagai salah satu daerah di Jawa Tengah memiliki folklor berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah Yogyakarta dan Surakarta yang selama ini menjadi daerah-daerah pusat kebudayaan di Jawa Tengah. Kekhasan folklor dari daerah ini sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dipahami karena kekhasan tersebut sebenarnya merupakan proyeksi dari masyarakat Banyumas dengan watak cablaka-nya. Filosofi cablaka ini hampir tersimbolkan dari semua folklor yang ada di daerah Banyumas, baik dari folklor lisan, folklor sebagian lisan, maupun folklor bukan lisan. Namun meskipun demikian, pada kenyataannya genearsi muda di daerah Banyumas banyak yang tidak mengetahui folklor-foklor yang menjadi ikon daerah ini. Lalu, apa salah satu folklor yang menjadi ikon Banyumas sekaligus merupakan proyeksi dari watak cablaka orang Banyumas tersebut?
Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia, setiap daerah, kelompok, etnis, suku, bangsa, golongan agama masing-masing telah mengembangkan folklornya sendiri-sendiri sehingga di Indonesia terdapat aneka ragam folklor. Folklor ialah kebudayaan manusia yang secara kolektif diwariskan secara turun-temurun, baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat.
Kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang telah mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu, yang paling penting adalah bahwa mereka memiliki kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Jan Harold Brunvand, membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
a.         Folklor Lisan
Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis; ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran; pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki; sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair; cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; nyanyian rakyat.
b.      Folklor sebagian lisan
Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi kepercayaan dan takhayul; permainan dan hiburan rakyat setempat; teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk; tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng; adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan; upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten; pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.
c.       Folklor bukan lisan
Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi arsitektur bangunan rumah yang tradisional; seni kerajinan tangan tradisional, pakaian tradisional; obat-obatan rakyat; alat-alat musik tradisional; peralatan dan senjata yang khas tradisional; makanan dan minuman khas daerah.
            Senjata kudhi sebagai salah satu ikon Banyumas sekaligus proyeksi watak masyarakat orang Banyumas yang cablaka dapat digolongkan ke dalam folklor bukan lisan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya tugu selamat datang berbentuk kudhi kotak di beberapa daerah di Banyumas, antara lain di Tambak sebagai perbatasan dari arah Kabupaten Kebumen, di Lumbir sebagai perbatasan dengan Kabupaten Cilacap dari arah barat, di Kecamatan Pekuncen sebagai perbatasan dengan Bumiayu, dan di Somagede sebagai perbatasan dengan kabupaten Banjarnegara.
            Menurut mantan Humas Pemkab Ahmad Supartono, bentuk tugu diadopsi dari kudhi karena senjata itu mampu menyimbolkan jati diri khas wong Banyumas. Bentuk kudhi ditransformasikan ke bentuk dasar kotak sebagai simbol kekinian dan modernitas masyarakat Banyumas.
      
Kudhi Senjata Adopsi dari Tlatah Banyumas sebagai Ikon dan Proyeksi dari “Wong Banyumas”
            Kudhi adalah senjata yang sering dipergunakan ma­syarakat Banyumas dalam kehidupan sehari-hari sebagai peralatan yang digunakan untuk membelah atau memotong benda keras seperti kayu atau bambu, sama fungsinya seperti parang atau bendho (golok). Kudhi hanya memiliki satu sisi tajam, berbentuk agak melengkung menyerupai kujang dari Jawa Barat namun lebih panjang dan besar. Bagian pangkalnya meng­gem­bung, bagian atasnya me­lengkung agak kotak dan di pucuknya membentuk seperti paruh burung berbentuk lancip. Di sisi belakang dekat punggung terdapat lubang. Namun pada perkembangannya, lubang itu kini jarang ditemukan. Bentuk yang unik itu di­se­suaikan dengan fungsinya. Bagian gemuk berfungsi untuk memotong dan membelah kayu atau batang bambu. Fungsi lekukan itu untuk menghaluskan kayu atau bambu yang dibelah tadi. Ujungnya yang lancip digunakan untuk mencukil atau membuat lubang.
      
Gambar 1: Kudhi
            Menurut salah satu pengoleksi Kudhi adalah Raden Tumenggung (RT) Noerring W. Doyo Dipuro yang juga pemilik Padepokan Jolo Sutro Banjarnegara. Menurut Noerring, dirinya mendapatkan Kudhi Banyumasan secara kebetulan dari Desa Gumelem, Kecamatan Susukan, Banjarnegara. Kudhi tersebut umurnya cukup tua, karena dibuat pada zaman Kerajaan Mataram. Kudhi memang memiliki karakteristik bentuk tersendiri. Namun kalau dilihat dari bentuknya, kudhi sangat dipengaruhi oleh Kujang atau kudhi Kukilo yang dibuat pada zaman Kerajaan Padjajaran. Namun, kalau kudhi Banyumasan lebih melengkung dan itu dibuat ketika zaman Kerajaan Mataram. Pada zaman itu wilayah Banyumasan atau Jateng bagian barat masih dalam daerah kekuasaan Mataram.
Gambar 2: Kudhi peninggalan zaman Mataram


Dahulu kudhi biasa dipakai oleh warga Banyumas zaman dulu sebagai alat pertanian. Di sisi lain, para kestaria atau pejabat di wilayah Jateng bagian barat menggunakannya sebagai senjata. Bahkan diyakini kalau lubang-lubang yang ada di senjata Kudhi merupakan tanda kepangkatan.
Kudhi merupakan curiga atau senjata pangandel atau senjata pegangan dari tokoh Bawor. Kudhi memiliki beberapa bagian, yaitu bagian ujung, perut, karah serta gagang. Bagian-bagian tersebut tidak hanya berfungsi sebagai alat pemotong semata, namun merupakan cermin dari karakter orang Banyumas yang sesungguhnya. Bagian ujung yang sama dengan senjata-senjata lain pada umumnya memiliki arti nilai egaliterian yang dijunjung oleh masyarakat Banyumas terhadap segala bentuk budaya lainnya. Bagian perut yang menggembung menunjukan bahwa manusia hidup tidak hanya untuk memenuhi nafsu belaka namun ada hal yang lebih penting yaitu berusaha dan bekerja. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan perut kudhi sangat besar untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang berat-berat seperti membelah atau memotong obyek yang besar. Selain itu ada filosofis mengenai makna perut bagi orang Banyumas, yaitu perut dapat sebagai sumber fitnah. Saat perut manusia lapar, maka manusia akan dapat memakan sesamanya. Artinya, manusia dapat melakukan tindak kriminal, tindakan yang tercela demi dapat memenuhi kebutuhannya akan pangan. Namun di saat perut terlalu kenyang pun manusia dapat berbuat maksiat, seperti membuang energi yang dihasilkan makanan yang dimakannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menjurus pada syahwat. Orang Banyumas sangat menuntut agar manusia dapat sebaik-baiknya memanajemen nafsu (yang sering dikaitkan dengan keadaan perut lapar atau kenyang). Karah menyimbolkan bahwa penampilan atau materi tidak bisa dijadikan sebagai acuan baik buruknya sifat seseorang. Hal ini ditunjukkan dari kenyataan bahwa tidak semua karah yang bagus dan berukir akan memiliki perut dan ujung yang tajam atau baik. Sedangkan gagang merupakan simbol bahwa orang Banyumas di dalam menyikapi hidup harus punya keyakinan yang jelas.
Kudhi sebagai cermin masyarakat Banyumas. Hal ini terdapat pada ungkapan kudhi ilang karo karahe. Artinya sesuatu yang hilang pasti akan kembali pada pemiliknya. Ungkapan ini memiliki nilai historis yang berkaitan dengan sejarah pindahnya R. Adipati Mertadireja III dari Purwokerto ke Banyumas. Pada saat itu Kabupaten Purwokerto dan Banyumas masing-masing berdiri sendiri. Kemudian pada tahun 1878 Residen Banyumas C. De Mooenburgh, berselisih dengan Bupati Banyumas R.M.T. Tjakranegara II. Karena perselisihan itulah maka Bupati Banyumas mengundurkan diri. Akhirnya R. Adipati Mertadireja III, Bupati Purwokerto pindah menjadi Bupati Banyumas. Di sini dijelaskan juga bahwa kudhi merupakan simbol dari jabatan residen sedangkan karah adalah jabatan bupati.
Sebagai alat bekerja maka kudhi memerlukan tempat yang tidak menganggu lancarnya pekerjaan seseorang. Oleh karena itu, ada tempat untuk meletakan kudhi secara khusus. Tempat ini biasa disebut dengan kethoprak atau korakan atau thakolak. Kethoprak ini biasanya digantung di belakang pada ikat pinggang. Sehingga jika orang yang memakainya berjalan maka akan terdengar suara yang khas seakan-akan berbunyi "korak-korak". Inilah bentuk kejujuran, keberanian dan sportivitas orang Banyumas sebagai tanda bila ia sedang membawa senjata. Tidak seperti orang membawa senjata lainnya, seperti keris atau belati, yang selalu diselipkan atau disembunyikan dibalik bajunya, untuk kemudian ditikamkan ke orang lain.
Gambar 3: Kudhi beserta korakannya

Kudhi dan Islam
Asal muasal kudhi menurut mitos hampir sama dengan penciptaan wayang kulit oleh para wali. Wayang kulit merupakan kreasi dari para wali penyebar Agama Islam. Karena sepintas lekuk bentuk perut kudhi mirip dengan bentuk Kata Allah, maka kudhi identik dengan perkembangan Islam di Banyumas Hal yang sama juga terdapat pada bentuk muka dan tangan serta kaki wayang-wayang Pandawa (M.Koderi:1991).
Hingga kini, tiada satu pun teks sejarah yang menuturkan ikhwal mula penciptaan kudhi. Kepercayaan paling populer mengaitkannya dengan tempat asal mula pembuatan kudhi, yaitu Desa Pasir. Wilayah yang sebelum tahun 1946 masih berstatus daerah "perdikan" atau daerah yang dimerdekakan itu menjadi pusat penyebaran agama Islam. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kudhi dalam arti lain sebagai lambang, atau simbol-simbol makna religius. Menurut mantan Humas Pemkab Ahmad Supartono, kudhi terbagi menjadi bagian ujung yang lempang, perut membuncit, karah dan gagang. Bentuk itu jika disatukan menyerupai tulisan "Allah". Artinya, ketika memakai senjata itu, masyarakat diminta tetap ingat kepada Allah.
Kudhi juga memiliki filosofi yang lain seperti kudhi pacul sungan landepa. Kudhi dan cangkul adalah alat untuk bekerja. Maksudnya ialah dalam mencapai suatu tujuan atau mencari pekerjaan tidak dengan melakukan hal-hal yang menyimpang.

 Simpulan
            Kudhi merupakan senjata khas Banyumas yang menjadi cerminan atau proyeksi orang Banyumas, meskipun kudhi sendiri bukan senjata yang benar-benar asli Banyumas tetapi sudah terkenal menjadi ikon Banyumas. Salah satu buktinya adalah adanya tokoh Bawor sebagai ikon Banyumas yang memakai kudhi sebagai senjata pangandelnya.
            Filosofi kudhi tidak hanya dikaitkan dengan bentuk kudhi yang diyakini sebagai simbol religius Islami, tetapi juga dikaitkan dengan bagian perut kudhi yang sangat mirip dengan bentuk perut manusia dan suara-suara yang dihasilkan ketika orang membawa kudhi yang bersarung korakannya. Namun, semua perlambang itu meskipun berbeda, keduanya mengandung nilai-nilai kebaikan dan ajaran moral.



 Referensi 
Augustrush15. 2010. Folklor Indonesia. <http://augustrush15.wordpress.com/
2010/08/11/folklor-indonesia>
Koderi, M. 1991. Banyumas, Wisata dan Budaya. Purwokerto: Penerbit Metro.

Poerwasoeprojo, R. 1932. Babad Banyumas. Purwokerto: De Boer. 

Jumat, 27 Maret 2015

Bahasa dan Orba


Bahasa merupakan alat berkomunikasi manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting guna menuangkan ide pokok pikiran, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Namun, dewasa ini bahasa bukan lagi hanya berperan sebagai sarana berkomunikasi, tetapi juga menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Berawal dari abad ke-5 SM, bahasa dipakai seseorang sebagai alat untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok orang demi kepentingan politik, ekonomi, maupun sosial. Pada zaman inilah awal kebangkitan retorika dan sejak itu, kemampuan berbahasa seseorang menjadi sangat penting. Semakin tinggi kemampuan berbahasa seseorang semakin tinggi pula penghargaan dari masyarakat terhadap dirinya.
Bahasa sebagai alat mempertahankan kekuasaan tidak hanya melalui retorika, yakni kemampuan berbahasa secara elegan, tetapi juga dengan ‘penertiban bahasa’ seperti pada masa Orba. Soeharto bukanlah Soekarno yang merupakan seorang orator sejati dengan retorikanya yang mampu menggerakkan rakyat Indonesia pada zamannya. Berbagai penelitian dilakukan terhadap teks-teks pidato Soeharto dan hasilnya menunjukkan bahwa politik bahasa yang dilakukan olehnya semasa Orba adalah strategi yang sangat cerdas dalam mengelola bahasa sehingga mampu mempertahankan kekuasaannya hingga tiga puluh dua tahun. Waktu yang relatif sangat lama untuk kepemimpinan seorang presiden.
Strategi politik bahasa yang dilakukan oleh Soeharto pada masa Orba adalah dengan membentuk makna-makna konotasi dan keteraturan berbahasa. Strategi konotasi dilakukan dengan menggunakan teori kode. Jika menurut para linguis antara tanda (sign), yakni sesuatu (kata) yang mewakili sesuatu yang lain (makna, konsep) bersifat arbitrer atau manasuka, maka konsep ini tidak salah. Namun, dalam hal tertentu sifat ini merupakan hasil rekayasa yang dibuat sedemikian rupa hingga menghasilkan suatu konvensi baru. Misalnya, dalam istilah Bapak Pembangunan yang melekat pada diri Soeharto. Kata pembangunan oleh pemerintah maknanya ditetapkan sebagai ‘suatu proses yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang harus didasari kestabilan politik dan ekonomi’. Lambat laun makna pembangunan akan berkembang menjadi ‘hasil kestabilan yang diberikan oleh Presiden Soeharto dan Orba’. Dari sinilah lahir penanda Bapak Pembangunan yang diberi makna ‘Bapak yang memberikan kestabilan bagi suksesnya pembangunan’.

Proses pemaknaan ini didukung oleh kebijakan ketertiban. Dapat kita lihat bahwa di sini relasi antara kata dan makna tidak lagi didasari oleh konvensi, melainkan konvensi yang direkayasa atau bermotif. Pengembangan relasi ini sebenarnya bukanlah hal baru, melainkan sudah biasa terjadi pada propaganda dan iklan. Yang menarik adalah pengarahan atas rekayasa relasi ini tidak dirasakan oleh masyarakat karena bertolak dari kebijakan ‘ketertiban’ bahasa yang bertumpu pada ‘pembakuan bahasa Indonesia’. Sudah menjadi barang tentu jika masyarakat umumnya tidak akan menolak, bahkan mendukung kebijakan tentang ‘ketertiban’. Jadi, selama lebih dari tiga puluh tahun, pemerintah Orba telah berhasil baik dalam menerapkan strategi politik bahasanya itu.

referensi: Widjojo, Muridan S. dan Mashudi Noorsalim. 2003. Bahasa sebagai Alat Kekuasaan: Catatan Kesimpulan. Jakarta: LIPI Press.

Untuknya Yang Tak Berlalu

Tiada kata samarkan rasa, ini hati yang bicara
Mulut boleh berdusta, mimik tak elak tipu daya

Sama hati, sama jiwa
Masih, masih itu-itu saja
Tak tergoyah raga sukma
Berharap ia di sekelilingnya

Luput dari pandang tak berarti segalanya lekang
Ini bukan sesaat meng-arang

Hanya saja tiap detak nadi terulang

Luka Neraka Dunia

Luka meradang merajam badan
Kait terhemaps lepas bebas
Sunyi merasuk memeluk aku
Tersadar jalan di tapak kaki penuh luka
Nanah dan berdarah luka terbuka
Tiada setetes pun kata penawar rasa
Hampir mampus sepertinya ini si jiwa

Ini neraka dunia
Begitu hebat dahsyatnya yang pernah kurasa
Tapi tak selayaknya aku percaya

Inilah terberatnya siksa

Sabtu, 14 Maret 2015

Perkemahan Greenmount (bagian 2-habis)

Malam itu, acara api unggun perkemahan Greenmount dipenuhi celoteh para peserta tentang manusia serigala. Mereka saling berbicara hal-hal yang mengerikan mengenai peristiwa-peristiwa pembantaian manusia serigala dan hilangnya peserta perkemahan Greenmount setiap tahunnya.
            “Kau tahu, manusia serigala itu menyukai warna merah. Jadi menurutku, kaulah yang akan disantap terlebih dahulu oleh mereka,” kata seorang anak laki-laki bertubuh kurus dan berpipi tirus di sampingku. Ia sedang menakut-nakuti anak laki-laki yang bertubuh gendut berjaket merah di sebelahnya lagi, yang kalau tidak salah bernama Willy. Lalu mereka pergi ke tempat agak jauh dari tempat dudukku.
            Willy nampaknya sangat ketakutan. Ia sempat berhenti sesaat memakan cokelatnya. Namun kemudian melanjutkan lagi dengan wajah merah menahan tangis. Ia memang cengeng. Di sini bisa dikatakan ia paling terkenal cengeng dan senang sekali dengan warna merah.
            Semenjak kejadian itu, aku dan Edwin seperti dua insan yang hampir tak pernah terpisahkan. Ia selalu menjagaku, menemaniku ke mana pun aku pergi, dan ia selalu menghiburku agar aku lekas bisa melupakan kejadian itu. Ia pernah berkata kepadaku bahwa ia tak akan pernah bisa memaafkan dirinya jika sampai ada hal yang tidak diinginkan menimpaku, karena dialah yang mengajakku mengikuti perkemahan ini. Dalam hati aku memujinya, dia benar-benar seorang laki-laki yang bertanggung jawab.
            Di seberangku, aku melihat Alice, Aline, Lindsay, dan si Kembar Hannah sedang asyik bercanda tanpa aku. Sesekali mereka melihatku dengan pandangan benci. Aku tak tahu mengapa mereka seperti itu. Aku memang pernah mengira bahwa merekalah manusia serigala itu, tetapi Edwin yang bicara sendiri padaku bahwa mereka yang memberi tahu para panitia untuk mencariku dan mereka juga mendapat hukuman karena ulahku itu. Ada perasaan bersalah yang sangat besar di hatiku. Aku sudah berusaha untuk meminta maaf kepada mereka, tetapi mereka hanya diam tak mengacuhkanku lagi.
            Aku melihat para peserta dan panitia yang berkumpul mengelilingi api unggun. Aku melihat ada kejanggalan. Ada seseorang yang biasa kulihat, namun dalam acara kali ini tak kulihat.
            Ke mana Joe? Apa dia sakit? Atau dia sudah pulang karena ada kepentingan lain? Atau dia sedang menyiapkan sesuatu di tenda dengan beberapa peserta lainnya? Atau dia sudah tidur karena kelelahan dan mengantuk?
            Seribu pertanyaan muncul di benakku. Entah mengapa beberapa hari ini aku jarang melihat Joe. Sekalipun aku bertemu dengannya, kami tak sempat untuk berbicara dan bercerita panjang lebar, mungkin hanya sebuah senyuman atau sapaan.
            Edwin rupanya sedang asyik mendengarkan lagu-lagu kesayangannya dari mp4-nya. Sedangkan aku asyik memperhatikan peserta-peserta yang lain sambil menguping pembicaraan mereka. Walaupun di tengah kami sang ketua panitia sedang berbicara.
            “Teman, aku baru saja mendapat informasi tentang peristiwa berdarah itu,” kata Louise, panitia baru yang duduk di sebelah Shally.
            “Apa? Kenapa sih kalian senang sekali membicarakan itu? Memangnya tidak ada topik pembicaraan yang lebih menarik?” gerutu Shally.
            “Mereka, para korban yang hilang, sebenarnya tidak hilang. Tetapi mereka telah dikuburkan oleh manusia serigala itu sendiri,” lanjut Louise dengan nada bicara yang misterius.
            “Masa sih?” tanya seorang peserta cowok yang ternyata ikut menguping pembicaraan itu.
            “Iya, aku tidak bohong. Aku melihat kuburan mereka sendiri di hutan.”
            Bergidik aku mendengarnya. Buat apa korban-korban itu dibunuh dan dikuburkan? Mengapa mereka tak memakannya saja? Bukankah para tubuh para koraban cukup mengganjal perut mereka bila mereka santap?
            “Di mana letak kuburan itu?” tanya Shally penasaran.
            “Di bawah pohon beringin tua, tempat Sonia ditemukan.”
            “Sssstt...jangan keras-keras, nanti Sonia dengar. Dia kan sedang duduk di dekat kita. Nanti kalau dia dengar, di pasti melaporkannya kepada Edwin. Dia kan anak tukang mengadu,” kata Shally menjelek-jelekkan aku.
            “Di situ ada beberapa kuburan yang sudah tua. Satu dari beberapa nisannya telah patah, tetapi ada pula yang masih jelas tulisannya.”
            “Siapa? Siapa yang dikubur di situ?” tanya Shally lagi.
            “Aku tidak tahu. Kemarin aku belum sempat membacanya karena Sonia dan Edwin telah meninggalkan aku sebelum aku sempat membaca nisan itu. Aku kan juga takut bila ditinggal di hutan itu sendirian. Hiiii....,” jelas Louise.
            Mereka bertiga kemudian bergegas pergi entah ke mana. Di deretan kami, hanya tinggal aku dan Edwin yang masih duduk-duduk di depan perapian itu. Sebagian peserta yang lain meninggalkan tempat itu. Beberapa ada yang kembali ke pondok, berkumpul di bawah pohon dan membuat api unggun sendiri.
            “Kau tidak kembali ke pondok?” tanya Aline tiba-tiba. Ia menghampiri aku dari arah belakang.
Aku sampat terkejut dengan pertanyaan Aline. Ku kira dia tidak akan pernah mau mengenaliku lagi. Walaupun nada bicaranya masih dingin, tetapi ini sudah lebih dari cukup bagiku karena berarti aku tidak kehilangan satu teman baikku.
“Memangnya sudah boleh?” tanyaku.
“Kau tidak mendengarkan apa disampaikan oleh ketua panitia tadi?” Aline bertanya kepadaku kesal. “Teman-temanmu sudah kembali semua. Apa kau tidak takut bila nanti kau kembali ke pondok sendirian ditemani manusia serigala?” lanjutnya.
            “Eh, iya. Aku akan kembali ke pondok sekarang juga,” kataku sambil bangkit. “Edwin, aku kembali ke pondok dulu, ya.”
            “Perlu aku temani?” Edwin menjawabku sambil melepas salah satu headsetnya.
            “Tidak. Terima kasih.”
            Kemudian aku berjalan menuju pondokku. Sesampainya aku di depan pintu, Aline memanggilku. Rupanya ia membuntutiku dari belakang.
            “Sonia, maafkan aku. Aku tak bermaksud memusuhimu. Aku tahu ini semua memang salahku. Kalau saja aku tidak bercerita tentang manusia serigala itu, kau pasti tidak akan lari ketakutan karena kami mengerjaimu, menakut-nakutimu. Kami cuma bercanda, kok,” kata Aline panjang lebar.
            “Tidak, Aline. Aku yang salah. Aku ini benar-benar penakut, ya. Hal seperti itu saja sudah membuatku lari terbirit-birit,” ucapku sambil tertawa kacil.
            Aku merasa sangat bersalah kepada mereka, terutama kepada Aline karena dia dahulu yang berani menegurku setelah kejadian itu.
            “Sonia, tetapi aku tetap berharap kau bisa menjaga dirimu baik-baik. Perkemahan ini bukan perkemahan yang seharusnya kau ikuti untuk mengisi hari liburmu di musim panas.”
            Aline menatapku serius. Belum pernah aku mendapati Aline yang seserius ini. Matanya menerawang menatapku tajam.
            “Tenang saja, jangan khawatir. Aku akan jaga diriku baik-baik. Kan ada Edwin yang senantiasa menjagaku.”
            “Tidak!!!” balas Aline cepat. “Kau tidak boleh mendekati Edwin! Jangan pernah berdekatan lagi dengannya!”
            “Kenapa?”
            “Pokoknya jangan! Atau aku tak sudi lagi melihatmu?”
            Aline cepat-cepat pergi meninggalkanku. Aku bingung dengan semua ini. Mengapa Aline tiba-tiba menjadi sangat baik dan berusaha untuk menegurku lebih dahulu padahal setahuku dia mempunyai gengsi yang besar, lalu memarahiku dan mengancamku untuk tidak dekat dengan Edwin lagi? Apakah ada yang salah dengan Ewdin? Atau dengan hubungan kami berdua?



 “Apa-apaan kau ini, Lindsay?!” bentakku.
“Apa, katamu? Kau jelas-jelas sudah mengkhianati aku! Kau masih juga bertanya apa maksudku?!” balas Lindsay.
Pagi itu emosiku meluap-luap. Bagaimana tidak, ia telah merebut gelang pemberian Edwin dan membanting ponselku agar aku tidak berhubungan dengan Edwin lagi.
“Mengkhianatimu? Mengkhianati apa?”
“Kau telah merebut Edwin dariku! Kau juga merebut Joe dari Alice! Dasar pengkhianat?”
“Kau tidak pernah berkata apa-apa padaku tentang perasaanmu terhadap Edwin. Dan aku tidak pernah merebut Joe dari siapa pun!”
“Baik, kalau begitu. Sekarang, semuanya dengarkan aku. Aku mencintai Edwin. Aku mencintai Edwin lebih dulu daripada dia! Dia, Sonia Johnson telah merebut Edwin dariku! Dia memang pengkhianat! Sonia pengkhianat!” teriak Lindsay dari atas ranjangnya sambil mengarahkan jari telunjuknya kepadaku.
Alice dan Christine hanya diam. Mereka menunduk dan terpaku diam di ranjangnya masing-masing. Mereka semua tidak ada yang membelaku maupun membela Lindsay. Mereka hanya diam seperti patung dan saling melirik..
Aku cepat-cepat pergi meninggalkan kamar, pergi keluar tanpa arah yang dituju. Air mataku berlinangan membasahi pipiku. Aku sudah menghapusnya berulang kali dengan punggung tanganku, namun mataku rasanya tak ingin berhenti mengalirkannya.
Kenapa mereka, terutama Lindsay jahat sekali padaku? Sebenarnya, apa sih maunya? Kenapa Alice dan Christine diam saja, tidak melerai kami berdua? Begitu pula Aline, dia sama saja menyebalkannya dengan Lindsay. Seribu perasaan kesal bercampur sedih berkecamuk di hatiku.
Tiba-tiba aku teringat dengan pembicaraan antara Shally dan Louise tadi malam. Mungkin ini saatnya aku memastikan bahwa mereka sebenarnya adalah orang baik-baik. Mereka bukan manusia serigala. Mereka hanya iri denganku karena kedekatanku dengan Edwin dan Joe.
Setapak demi setapak aku mencoba mulai memasuki hutan. Walaupun ada rasa takut yang menghinggapiku, namun aku berusaha mengerahkan seluruh keberanianku untuk dapat memasuki hutan itu tanpa seorang teman pun.
Aku berjalan melewati danau, menuju ke arah yang kiranya tempat pohon beringin tua itu tumbuh. Dari kejauhan aku melihat pohon tua itu berdiri kokoh. Akar napasnya yang menjuntai ke bawah, daun-daunnya yang sangat lebat dan batangnya yang besar, semakin menambah kesan angker pada pohon itu. Apalagi bila mengingat cerita Louise bahwa di bawah pohon itu ada kuburan tua.
Aku berjalan mengelilingi pohon itu. Betapa terkejutnya aku ketika melihat lima buah nisan di bawahnya. Luoise tidak bohong. Kuburan itu benar-benar ada.
Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Aku mengumpulkan segenap nyali dan kukerahkan seluruh tenagaku untuk mendekati nisan itu dan membacanya satu per satu. Louise benar, salah satu dari batu nisan itu memang ada yang telah patah dan tak terbaca tulisannya.
Oh, Tuhan! Tidak! Ini tidak mungkin!
Aku menampar pipiku berulang kali untuk memastikan bahwa yang terjadi saat ini hanya sebuah mimpi. Betapa terperanjatnya aku saat membaca keempat nisan lainnya. Bagaimana tidak, semua nama yang tertera di nisan itu adalah nama-nama yang sangat tidak asing bagiku.
Alice McBrown, Lindsay Hannah, Christine Hannah, dan Jonathan Marcus.
Napasku sempat terhenti. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, berharap ini adalah mimpi. Tetapi sayangnya, harapanku sia-sia. Ini adalah nyata.
Aku teringat kembali ketika Edwin menggendongku. Saat itu pandanganku masih ke arah pohon ini dan melihat sesosok laki-laki berdiri di sini. Ternyata perkiraanku benar, aku menngenali laki-laki itu. Dia adalah Joe, Jonathan Marcus. Ya, jaket merah yang dipakainya saat itu adalah jaket pemberianku sebagai kenang-kenangan dariku sebelum ia pindah.
Aku terdiam terpaku di tempat itu. Aku menangis. Tubuhku lunglai. Aku terduduk di depan keempat nisan itu. Aku menyesal atas Joe. Aku merasa sangat kehilangan dia. Aku baru menyadari kalau Joe masih memendam perasaan itu, bahkan saat ia harus kehilangan nyawanya, ia memakai jaket pemberianku.
Berulang kali aku mengucap maaf kepada Joe dan berdoa dalam hati agar arwahnya dapat tenang.
“Maafkan aku, Sonia,” sebuah suara mengucap namaku dari belakang.
Aku menoleh dan ternyata Joe, mungkin lebih tepatnya hantu Joe. Dia nampak pucat. Masih menangis, aku menyeret diriku mundur. Namun Joe terus maju selangkah demi selangkah.
 “Ya, dulu aku pernah sangat manyayangimu. Bahkan sampai aku mati pun aku masih menyayangimu. Namun, jika hari ini aku tak bisa menjagamu, bukan karena aku tak menyayangimu. Aku sengaja membiarkanmu datang ke sini karena kau adalah penyelamat, sekaligus korban berikutnya.”
Tubuhku yang semakin lunglai kupaksa untuk berdiri, berjalan mundur perlahan menjauhi Joe. Tetapi Joe terus mendekatiku berusaha memelukku.
“Tidak, Joe! Aku mohon, jangan,” kataku memohon.
“Tidak, Sonia. Tidak ada pilihan lain, aku harus melakukannya.”
“Maafkan aku, Joe. Aku tak bisa membalas perasaanmu itu. Aku mohon, lepaskanlah aku. Biarkan aku pergi,” aku berkata kepadanya sambil menangis.
“Tidak!”
“Jika kau menyayangiku, mengapa kau tidak melepaskan saja aku ini?” tanyaku mencari-cari alasan dan mengulur-ulur waktu untuk aku mengatur siasat mengambil langkah seribu.
“Karena aku menyayangimu, aku tak akan membiarkanmu pergi dariku. Percaya atau tidak, kaulah penyelamatku dan akulah penyelamatmu,” kata Joe menatapku tajam.
Ia terus mendekatiku. Aku pun terus mundur dan mundur. Aku hampir terjebak di antara lekukan batang pohon itu. Namun, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menarik lenganku dan menyeretku untuk berlari mengikutinya.
“Edwin? Terima kasih kau sudah menolongku lagi,” kataku tersengal-sengal.
“Ini bukan saatnya untuk berterima kasih. Ayo cepat pergi dari sini, kalau kau tidak ingin dicelakai olehnya!”
“Sonia, berhenti! Dialah manusia serigalanya. Aku, Aline, Alice, Lindsay, dan Christine hanyalah arwah-arwah malang yang bergentayangan yang ingin membalas dendam kepadanya. Kami semua tak akan membiarkanmu terperangkap olehnya!” teriak Joe.
“Sonia, jangan hiraukan kata-katanya! Dialah yang ingin mencelakaimu!” teriak Edwin.
Aku langsung menghentikan langkahku dan melepaskan tangan Edwin. Aku berharap akal sehatku dapat berpikir jernih dalam keadaan seperti ini. Aku berusaha berpikir mana perkataan yang harus aku percaya. Apakah Edwin atau hantu Joe.
Di satu sisi, Edwin telah selalu bersikap baik kepadaku. Tapi di sisi lain, Joe adalah teman kecilku. Di tak mungkin mencelakaiku. Begitu pula dengan Alice, Aline, Lindsay, dan Christine. Aku teringat mereka semua ingin aku menjauhi Edwin, mungkin karena mereka tahu Edwin adalah seorang manusia serigala. Tapi, mereka juga pernah berkata kepadaku agar aku menjauhi Joe.
Akal sehatku tak mampu berpikir jernih. Tiba-tiba aku merasa pening yang luar biasa di kepalaku. Sedangkan mereka terus dan terus mencoba membujukku supaya aku mengikuti mereka. Bahkan mereka saling bertengkar dan adu mulut. Lalu aku putuskan untuk berlari ke arah yang berbeda dengan arah yang mereka katakan. Aku akan mencari jalan pulang sendiri.
Aku berlari secepat mungkin ke arah yang entah menuju ke mana, aku pun tak tahu. Sementara itu, mereka masih mengikutiku dari belakang. Tiba-tiba...
Bruk! Sepertinya aku terjatuh.
Kepalaku pusing sekali. Sekelilingku kulihat gelap. Kakiku terasa sakit sekali. Setelah beberapa saat kemudian, aku mulai membuka mataku. Melihat sekelilingku yang gelap dengan hawa yang sangat lembap.
Aku menyeka cairan agak kental yang mengalir di dahi, melewati pelipis. Ternyata darah segar keluar dari luka di dahiku karena terbentur dinding batu saat aku terperosok tadi. Aku mencoba untuk segera berdiri, tetapi kaki kiriku hampir tak bisa aku gerakkan. Rasanya sakit sekali. Lalu aku mencoba berdiri lagi dengan bertumpu pada kaki kanan. Ini lebih baik, walaupun sikut tangan kiriku terasa nyeri sekali.
Aku perlahan berjalan menyusuri lorong yang gelap itu dengan tertatih-tertatih. Nafasku tersengal-sengal sesak karena kelembapan udara di sini yang cukup tinggi. Dinding-dinding lorong ini basah dan berlumut. Bau bangkai yang menyengat membuatku semakin sulit untuk bernapas.
“Tuk..tuk..,” terdengar suara langkah kaki dari arah depanku.
Jantungku berdegup kencang sekali. Keringat dingin langsung mengucur deras, membasahi seluruh tubuhku. Napasku pun semakin tersengal-sengal. Langkah itu semakin dekat dan semakin dekat.
“Edwin?”
Aku melongo melihat Edwin di hadapanku. Sesaat aku merasa agak lebih lega, namun wajahnya yang biasa tersenyum ramah kini berubah menjadi dingin. Sorot matanya yang tajam kini menjadi lebih tajam dan menakutkan membuat jantungku kambali berdegup kencang. Kemudian ia tersenyum padaku. Senyuman yang membuat aku gila dalam ketakutan yang teramat sangat. Ia mulai tertawa. Semakin lama, tawanya semakin keras dan melengking. Dan ia pun berubah menjadi manusia serigala.
Tubuhku gemetar melihatnya berubah menjadi makhluk paling mengerikan yang pernah kulihat. Matanya yang cokelat berubah menjadi merah menyala. Tubuhnya yang kurus berubah menjadi tubuh manusia setengah serigala yang dipenuhi oleh bulu-bulu berwarna perak. Cakar dan taringnya yang tajam membuat ia kelihatan sangat menakutkan. Suaranya yang merdu kini berubah menjadi lengkingan yang mengerikan.
Kali ini aku tak mungkin lolos darinya. Aku sudah tak punya sisa tenaga untuk berlari, apalagi dengan kondisi kakiku yang terkilir ini. Sudah tak mungkin lagi.
Tiba-tiba aku merasa seperti melayang-layang, terbang menjauhi manusia serigala itu. Aku terbang menjauh cepat sekali. Dan akhirnya aku tersadar bahwa hantu Joe menggendongku terbang menjauhinya, menuju sebuah tempat yang sebelumnya belum pernah aku kenali. Ia menggendongku menuju sebuah sungai. Manusia serigala itu masih mengikutiku. Lolongannya yang melengking memekakkan telinga membuat bulu kudukku berdiri. Aku bergidik mendengarnya.
Hantu Joe menurunkan aku di tepian sungai itu dan kemudia berkata, “Cepat kau seberangi sungai itu! Tidak ada waktu lagi! Dia juga akan membunuhmu jika kau tak bisa lolos darinya!”
“Bagaimana caranya? Sungai ini terlalu deras! Mengapa kau tak menggendongku lagi saja?” tanyaku sambil berteriak. Derasnya air sungai itu hampir membuat suaraku tak terdengar.
“Tidak bisa! Sungai ini telah dikutuk untuk para hantu. Kau dan aku tak akan bisa bersentuhan saat berada di atas sungai ini. Apa kau mau kau terjatuh di tengah-tengah sungai ini?” kata Joe kepadaku kesal.
Aku memandangi arus air sungai yang begitu deras. Kalau aku terjatuh ke sini, maka aku akan hilang dan tak akan pernah ditemukan. Lalu aku melihat manusia serigala yang meraung dan melolong marah itu sedang berlari dengan jarak sekitar sepuluh atau dua belas meter saja dariku.
Tanpa pikir panjang lagi, aku mencari-cari akal bagaimana supaya aku bisa sampai di ujung sana tanpa dibantu oleh hantu Joe. Untungnya di atas sungai itu ada dua batang pohon yang tumbuhnya berseberangan saling berdekatan. Aku langsung memanjat salah satu dari pohon itu yang letaknya dekat denganku dan mulai merambat melewati sungi itu. Air sungai itu tiba-tiba berubah menjadi bergelembung, berwarna merah seperti darah. Terdengar pula jeritan-jeritan dan tangisan dari sungai di bawahku.
Manusia serigala itu pun masih terus mengikutiku dari belakang. Ia merambati batang pohon yang ku rambati juga. Saat berada tepat di tengah sungai aku tergelincir dan hampir jatuh. Untungnya tanganku masih tergelantung di batang pohon itu. Aku bergelantungan perlahan mendekati pangkal pohon di seberangku. Manusia serigala di balakangku pun ikut tergelincir tetapi ia masih berhasil menggantungkan tangannya seperti aku.
Sesampainya di pinggir sungai itu, aku merasakan kesakitan yang luar biasa di lengan kiriku. Dan aku pun berhenti menggelantung.
“Joe, aku tak sanggup lagi. Tanganku sakit sekali,” aku merintih.
“Ayo, Sonia! Kau pasti bisa! Maju dua langkah lagi, baru aku bisa menggendongmu!”
Dengan hati yang amat pasrah, aku mengikuti kata-kata Joe. Meskipun tanganku sakit sekali, aku berusaha sekuat tenagaku untuk melakukannya. Namun baru saja aku maju selangkah, batang pohon yang tepat di tengah-tengah sungai itu patah. Secepat mungkin aku meneruskan maju hingga selangkah lagi dan menjatuhkan badanku dekat pohon di tepian sungai. Manusia serigala itu pun terjatuh ke sungai sambil melolong panjang. Hantu Joe menggendongku dan merebahkan tubuhku di tepian sungai. Air sungai itu pun kembali berubah menjadi air sungai biasa. Tetapi arusnya sedikit lebih deras.
Aku lega, akhirnya aku berhasil lolos juga dari manusia serigala itu. Aku melihat Joe yang tersenyum kepadaku. Aku membalas senyuman itu dengan napas yang masih tersengal-sengal.
“Terima kasih, Sonia. Akhirnya kami, para arwah korban manusia serigala itu, bisa beristirahat dengan tenang. Kami tak akan melupakan jasamu ini,” kata Joe kepadaku.
“Ya, sama-sama, Joe. Terima kasih atas bantuanmu. Kalau tidak ada kau, aku pasti sudah mati di tangannya.”
Kemudian Joe mengucapkan selamat tinggal dan terbang ke atas menuju langit sambil melambaikan tangannya kepadaku. Dia juga berkata bahwa cepat atau lambat, kita pasti akan bertemu lagi.
Beberapa saat kemudian sebuah pertanyaan muncul di benakku. Bagaimana aku bisa kembali ke perkemahan?
Oh, Tuhan! Apa yang aku lakukan?
Aku bergegas bangkit dan memperhatikan sekelilingku. Ada sebuah papan kayu kecil yang terpaku di sebatang pohon besar yang letaknya agak dekat dengan tepian sungai itu. Aku berharap itu adalah tulisan penunjuk jalan atau perkemahan di seberang sungai ini.
Dalam keremangan malam dan hanya bercahayakan bulan, aku berusaha keras untuk dapat membaca tulisan itu. Bentuk tulisan itu seperti bentuk tulisan yang tertera di bus Greenmount Camping. 
Aku perhatikan dengan seksama dan mulai membacanya pelan-pelan, “Selamat, Anda telah bergabung dengan kami....” Lalu aku membaca tulisan yang ukurannya lebih kecil di bawahnya, “Aline Rosemarie, Alice McBrown, Lindsay  Hannah, Christine Hannah, Jonathan Marcus.”

TAMAT

Perkemahan Greenmount (bagian 1)

Musim panas kali ini terasa sangat membosankan. Aku hanya bisa berdiam diri di rumah. Ayah menghukumku karena aku memecahkan guci kesayangannya ketika aku tersandung kaki Jack. Sebenarnya aku tidak bersalah, sama sekali tidak. Jack yang sengaja menyandung kakiku. Padahal aku sudah meminta maaf kepada ayah dan menjelaskan bahwa itu adalah kesalahan Jack, bukan kesalahanku. Tetapi, tetap saja, ayah menghukumku dan menyalahkan aku karena ayah pikir kalau Jack masih terlalu kecil untuk dihukum dan disalahkan.
            Ini sungguh tidak adil, gerutuku dalam hati.
            Aku melihat Jack bermain di luar, di sebuah lapangan kecil yang gersang di samping rumah kami. Ia bermain bola bersama Edwin, tetangga kami. Edwin adalah seorang laki-laki yang tampan dan sangat menarik. Tingkah lakunya sangat santun dan ia juga ramah. Walaupun terkadang, entah mengapa, aku merasa ada keanehan dalam diri Edwin yang aku pun tak tahu apa itu. Tetapi, aku tetap menyukainya.
            Sesekali Jack menoleh ke arahku. Matanya menatapku menerobos jendela kamar yang sengaja ku buka lebar-lebar untuk menarik perhatian Edwin, meskipun usahaku ini tidak berhasil. Jack melirik ke arahku dengan tatapan mengejek. Aku jengkel melihat tingkahnya. Ini semua kan gara-gara dia. Kalau saja waktu itu dia tidak menjahiliku dengan sengaja menyandungkan kakinya ke kakiku hingga aku terjatuh menabrak guci kesayangan ayah hingga jatuh dan pecah, pasti aku yang berada di sana bersama Edwin.
            “Hhh...,” aku menghela napas dan merebahkan separuh badanku di atas ranjang dengan kedua kakiku masih menggantung di pinggirannya.
            Aku menatap ke langit-langit membayangkan Edwin, sosok cowok termanis yang pernah aku temui. Aku membayangkan jika saja dia datang ke rumah untuk mengunjungiku.
            “Ah, senangnya...,” kataku lirih sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Maaf, apa aku mengganggumu?” tanya seseorang dari jendela kamarku.
Suaranya bagus, aku memuji dalam hati.
Aku langsung bangun dari tempat tidurku yang mengahdap ke jendela, dan...
“E...Edwin? Kau bertanya padaku?” tanyaku sedikit tergagap dan malu. Jantungku langsung berdebar-debar keras sekali.
“Ya, tentu. Bukankah di kamar ini hanya ada kau?”
Ia tersenyum. Senyumannya manis sekali. Bahkan jauh lebih manis dari madu, gula, atau pemanis apa pun.
“Aku mengganggumu, ya?” ia mengulang pertanyaannya.
“Uh, eh, oh, tidak. Tidak sama sekali,” jawabku gugup. Aku berjalan menuju jendela mendekatinya. Ini pertama kalinya aku salah tingkah di hadapan cowok yang aku sukai.
“Kenapa kau tidak bermain-main di luar? Ini kan liburan musim panas. Atau kau memang lebih senang menghabiskan waktu liburan di dalam rumah?”tanya Edwin ramah.
“Aku...aku...”
Tiba-tiba Jack datang dari belakang Edwin dan menyela perkataanku, “Dia kan sedang mendapat hukuman dari ayah! Hahaha.......”
Jack tertawa terbahak-bahak. Dia terlihat sangat puas dengan hukuman yang ayah berikan kepadaku.
“Diam, bodoh! Ini semua gara-gara kau! Kau yang sengaja menyandung kakiku. Kau kira aku tidak tahu, hah?”
Jack cepat-cepat berbalik dan memukul-mukul pantatnya yang ia hadapkan ke arahku. Kemudian ia berlari, pergi entah ke mana.
Brengsek, kurangajar, aku mengumpat dalam hati.
Edwin tergeleng-geleng melihat ulah Jack yang konyol dan yang membuatku kesal, ia tertawa kecil melihat pertengkaranku dengan Jack. Sebenarnya memang tak pantas gadis berumur tujuh belas tahun sepertiku bertengkar dengan anak lak-laki berumur delapan tahun seperti Jack. Tetapi, ini semua tidak akan terjadi kalu dia tidak menjahiliku lebih dulu.
Aku yang malu setengah mati jadi serba salah tingkah. wajahku pun memerah. Edwin menghadapku lagi dan aku hanya bisa meringis malu.
“Benarkah yang dikatakan Jack? Kalau begitu, bagaimana jika aku meminta izin kepada orang tuamu agar kau menemaniku pada acara perkemahan musim panas di Greenmount? Kau mau kan pergi denganku?”
Apa? Edwin mengajakku pergi berkemah? Mimpi apa aku semalam. Ini bagaikan tertimpa rembulan jatuh. Benar-benar tak dapat dipercaya.
“Su..sungguh?” tanyaku terbata-bata.
“Tapi kalau kau tidak keberatan,” jawabnya sambil tersenyum.
“Oke. Tapi kau saja ya, yang bicara pada orang tuaku,” ujarku menyetujuinya.
Dia hanya mengangguk pasti. Masih sambil tersenyum dia meminta izin memohon diri. Katanya, sebentar lagi ia ada kepentingan. Kemudian ia berjalan menjauh menuju ke rumahnya sambil melambaikan tangan kanannya kepadaku.
Aku masih di depan jendela mengamati rumah Edwin yang lebih besar dan tentunya lebih megah dari rumah kami. Rumah Edwin yang bercat merah itu mengingatkanku pada seseorang, yaitu Joe, teman kecilku sekaligus teman terbaikku. Tapi, aku tak tahu di mana ia sekarang.
Beberapa saat kemudian  seperti biasanya, Edwin dan keluarganya pergi menuju ke arah barat. Dan ini sudah ke beberapa kalinya aku menyaksikannya. Jadi sudah tidak heran dengan kebiasaan keluarganya. Mereka bilang, mereka itu hanya sekedar hobi mereka berjalan-jalan di petang hari.


Siang ini sangat panas, gerutuku dalam hati.
Aku baru saja membeli buah-buahan dan sayuran di supermarket. Hari ini ibu tidak bisa berbelanja karena sakit, jadi aku yang menggantikannya berbelanja. Meskipun harus berpanas-panas dengan terik matahari yang menyengat, tetapi aku senang karena akhirnya aku bisa keluar dari rumah walau hanya untuk sekedar berbelanja.
Aku berbelok ke arah kiri dari supermarket tempat ibu biasa berbelanja menuju halte bus. Aku berharap aku tidak ketinggalan bus sehingga aku harus menunggu lebih lama di halte.
“Hai Sonia, apa kabar?” seseorang menyapaku dari arah belakang.
Aku menoleh ke belakang dan tersenyum padanya. Rupanya Edwin yang menyapaku.
“Hai Edwin! Kabarku baik. Kau sendiri bagaimana?”
“Yeah...lumayan baik. Aku hanya merasa kesepian harus ditinggal orang tuaku untuk sementara waktu. Mereka harus ke Alpenwilly karena tuntutan pekerjaan.”
“Ooo... ,” balasku singkat.
            “Oya, bagaimana dengan tawaranku yang waktu itu? Kau mau?” Edwin bertanya padaku sambil sedikit mendekatkan wajahnya ke arahku.
            “Tawaran yang mana?” tanyaku sedikit bingung.
            “Katanya kau ingin pergi berlibur di musim panas ini, tapi karena....”
            “Oh...iya,” aku langsung memotong kata-katanya. Aku tahu dia akan meneruskan perkataannya bahwa aku tidak bisa pergi berlibur di liburan musim panas ini karena mendapat hukuman dari Ayah dan aku benci bila harus mendengarnya.
            “Lalu?”
            “Ya. Aku mau. Tapi kau kan yang berjanji akan memintakan izin kepada orang tuaku.”
            Bus yang kami nanti akhirnya tiba juga. Pintu bus yang tepat sekali di hadapan kami berdua terbuka dan kami segera masuk kemudian mencari bangku yang kosong. Kebetulan ada dua bangku kosong yang sejajar, sehingga kami bisa melanjutkan pembicaraan kami di bus.
            “Aku sudah bilang,” lanjut Edwin.
            “Lalu?”
            “Mereka mengizinkan,” jawab Edwin sambil tersenyum dan aku pun membalas senyuman itu.
            Oh, Tuhan, terima kasih! Ucapku bersyukur dalam hati. Akhirnya, sisa liburan musim panas ini akan ku lalui tidak dengan kebosanan lagi. Tapi...
            “Apa Jack boleh ikut?” tanyaku penasaran.
            Aku bertanya kepada Edwin dan mengharapkan dia akan mengatakan tidak. Jika ia mengatakan ya, maka lebih baik aku tidak pergi berlibur bersamanya daripada aku harus melihat ulah-ulah konyolnya. Belum lagi sudah pasti aku harus menanggung malu karenanya.
            “Aku tidak tahu.”
            Edwin kemudian mengeluarkan dua buah kartu tanda peserta perkemahan itu dari tasnya kemudian memberikannya kepadaku satu buah. 
“Terima kasih,” ucapku.
Di kartu itu tertera beberapa persyaratan menjadi peserta perkemahan. Ternyata cukup banyak juga syarat-syarat yang harus aku jalani selama menjadi peserta perkemahan itu. Yah, salah satunya adalah para peserta dilarang hanya pergi berdua dengan lawan jenis.
Ah, kita lihat saja siapa yang akan lebih cerdik dalam hal ini. Peserta atau panitia, pikirku konyol.
            “Ah, ini. Sepertinya tidak,” kata Edwin sambil menunjuk satu dari sekian poin persyaratan itu. “Jack baru berusia tujuh tahun kan?”
            “Delapan tahun,” jawabku.
            Aku membaca poin persyaratan yang ditunjuknya. Aku merasa lega karena batas minimum usia peserta perkemahan itu adalah dua belas tahun.
            “Hei, bukankah ini kesempatan yang bagus?” bisik Edwin sembari sedikit menyeringai ke arahku. Ia memberikan sebuah senyuman dengan sebuah ekspresi senang namun sedikit licik.
            “Apa?” aku membalas dengan tanya dan sedikit heran. Aku tak mengerti apa maksud perkataan dan senyuman itu.
            “Tidak,” jawab Edwin singkat. Senyuman di bibirnya langsung menghilang.
            Dia kemudian bersender di kursinya dan langsung diam tak bersuara. Selama sisa perjalanan itu ia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Beberapa kali aku mencoba memulai pembicaraan lagi, namun ia hanya membalasnya dengan senyuman dan sesekali hanya menjawab ya dan tidak. Aku bingung menghadapi sikap Edwin yang seperti ini. Mungkinkah ada yang salah denganku?
            Oh, Edwin, kumohon kau jangan bersikap cuek kepadaku seperti ini.


            “Sonia, ku harap kau dapat menjaga dirimu baik-baik. Jangan sampai kau merepotkan Edwin. Kau ini sudah besar, bukan anak kecil lagi,” ibu berpesan kepadaku sebelum aku pergi.
            “Oke. Tenang saja, Bu. Aku akan baik-baik saja.”
            Ibu mendekapku erat sekali. Baru kali ini rasanya aku merasakan kehangatan pelukan seorang ibu. Seingatku, belum pernah ibu memelukku seperti ini.
            Sambil menghapus air matanya, ibu memberiku sebuah kalung berbandul hati kecil yang di dalamnya terdapat fotoku dan juga foto ibu.
            “Ini, simpan baik-baik. Aku tahu kau akan selalu merindukan rumah karena kau tidak pernah pergi jauh dari rumah dalam waktu lebih dari satu minggu tanpa ada keluarga yang menemanimu. Jadi, aku memberimu kalung kesayanganku.”
            Aneh. Bukankah dulu aku sering kabur dari rumah selama berhari-hari karena Ayah sering sekali memarahiku? Atau Ibu sudah lupa?
            Tiba-tiba Ayah memelukku dari belakang.
            “Aku yakin Tuhan akan melindungimu,” kata Ayah lirih.
            “Iya, Sonia. Walaupun kau sering menyebalkan, jarang mandi, galak, dan cengeng, tetapi aku pun turut bersedih dengan kepergianmu,” Jack berkata kepadaku dengan raut wajah yang sedih.
            Oh, Tuhan. Sebenarnya apa yang telah dan akan terjadi? Mengapa mereka semua begitu sedih melihat kepergianku dari rumah ini. Aku kan hanya akan pergi selama dua minggu, itu pun untuk bersenang-senang berkemah bersama Edwin dan teman-teman baru yang akan kutemui nanti.
            Tiba-tiba sebuah pikiran konyol muncul di benakku. Mungkin mereka semua sebenarnya tak bisa tanpa aku. Walaupun mereka sering memarahiku dan pilih kasih, mereka tetap saja akan merasa kehilangan aku jika aku tak berada di dekat mereka. Meski hanya dalam waktu dua minggu saja.
            “Hai Sonia! Kau sudah siap?” tanya Edwin berlari-lari ke arah kami sambil membawa-bawa sebuah tas jinjing. Rupanya dia membawa dua tas, sama sepertiku. Tas ransel yang digendongnya lebih besar daripada tas ransel yang kubawa. Edwin memakai kemeja hitam putih kotak-kotak dengan kaos putih di dalamnya, celana jeans biru bermodel pipa dan sepatu putih bertali. Rambutnya yang cokelat, sama seperti matanya,  tergerai lembut  tertiup angin ketika ia berlari, membuatnya semakin terlihat tampan dan keren.
            “Hai! Oh, tentu. Aku sudah siap,” jawabku.
            “Sebentar lagi busnya datang menjemput kita. Pastikan tidak ada satu pun barang penting yang tertinggal,” katanya sambil menatapku dalam-dalam.
            Spontan aku langsung gugup dan salah tingkah. Jantungku berdebar-debar keras sekali. Aku kemudian sesegera mungkin membuang pandanganku dari matanya yang tajam.
            “Paman, Bibi, Jack, kami berangkat dulu,” pamit Edwin kepada Ayah, Ibu, dan Jack ketika sebuah bus mini berwarna kuning berhenti di depan rumah.
            Bus itu bertuliskan Greenmount Camping. Tulisannya dibentuk seperti darah yang menetes dari sebuah luka yang parah, namun justru itu yang membuat keren dari bus ini. Dalam dan luarnya pun terlihat bersih.
Sepertinya ini bus baru, pikirku.
            Sekali lagi, ayah dan ibu memelukku. Begitu pula Jack. Aku merasa hal seperti ini sangat janggal. Namun aku senang, akhirnya mereka merasa sedih juga dengan kepergianku.
            Aku dan Edwin pun berangkat ke Perkemahan Greenmount dengan bus itu.


            Kira-kira satu jam kemudian bus berhenti di bawah sebuah pohon besar. Akhirnya, tiba juga kami di Greenmount. Aku melihat beberapa peserta perkemahan yang umurnya sebaya denganku sudah tiba lebih awal di tempat itu. Ternyata ada peserta lain juga selain peserta dari bus ini.
            Edwin menggandeng tanganku keluar dari bus. Terlihat beberapa peserta lain melakukan hal yang sama. Sepertinya banyak di antara sesama peserta perkemahan ini mempunyai hubungan pribadi dengan lawan jenisnya. Aku bersyukur karena aku yakin poin peraturan yang mengatakan bahwa para peserta tidak diizinkan pergi hanya berdua dengan lawan jenis akan gugur. Karena sudah pasti peserta perkemahan ini akan banyak yang melanggarnya.
            “Hai! Kau ikut perkemahan ini juga?” tanya seorang gadis yang usianya sebaya dengan Edwin kepadaku. Rambutnya pirang dan ikal, mata birunya besar seperti melotot kepadaku.
            “Ya,” jawabku singkat karena masih terpesona melihat mata biru jernihnya itu.
            Kemudian ia menyibakkan rambutnya yang sebahu lalu mendekatkan mulutnya ke kupingku dan berbisik, “Hei, apa kau sudah tahu bahwa pada perkemahan musim ini akan ada yang mati?”
            Aku terkejut. Apa maksudnya?
            Aku menoleh kanan dan kiri dan berbisik padanya, “Maksudmu?”
            Gadis itu memegang dahinya dan menghela napas kemudian berkata dengan suara yang agak keras, “Huuh.., kau ini kuper sekali sih? Masa kau tidak tahu bahwa hampir setiap tahunnya perkemahan Greenmount ini akan memakan...”
            “Sonia! Apa kabarmu? Lama kita tidak bertemu,” tanya seseorang yang menepuk pundak dari belakangku.
            Aku membalikkan badan dan langsung memeluknya.
            “Oh, Joe! Senang sekali bertemu denganmu di sini. Sudah berapa tahun ya, kita tidak pernah bertemu?” kataku senang.
            Edwin yang mulanya asik mendengarkan musik lewat mp4-nya, kini sedikit menghindar dariku. Aku melihat ketidaksukaannya dengan Joe. Apalagi ketika aku memeluk Joe di hadapannya.
            Mungkinkah Edwin cemburu?
            “Hei! Kau tidak tahu sopan santun ya? Aku kan sedang berbicara dengannya, kenapa kau memotong pembicaraanku?” gerutu gadis berambut pirang itu kesal.
            “Maaf, aku tidak tahu. Tapi, bolehkah aku berkenalan denganmu, nona manis?” kata Joe kepadanya.
            Dasar playboy. Ternyata dia masih sama seperti dulu. Masih saja hobi berkenalan dengan gadis-gadis berambut pirang.
            “Alice.”
            Oh, rupanya nama gadis itu adalah Alice.
            “Joe! Cepat ke sini! Kami butuh bantuanmu!” teriak seorang panitia yang kira-kira usianya hampir sama dengan ayahku.
            Joe berjalan setengah berlari mundur ke arah kumpulan panitia sambil berkata sedikit berteriak kepada gadis itu, “Aku Joe. Jonathan Marcus.”
            “Para peserta diharap segera berkumpul di sini. Ayo, cepat! Cepat! “ teriak seorang panitia kepada para peserta.
            Aku, Edwin, dan Alice segera menuju ke tempat yang ditunjuk oleh panitia itu. Edwin membawakan tas jinjingku, sementara Alice sibuk merapikan rambutnya.
            Semua peserta berkumpul di tempat itu tetapi ternyata tak sebanyak yang ku kira sebelumnya. Padahal ada dua bus yang menjemput peserta, tetapi kenapa pesertanya hanya sebanyak ini?
            Kemudian aku mencoba menghitung jumlahnya. Hanya ada dua puluh, kurang lebih. Perasaan tak enak mengganjal di hatiku. Ini sungguh aneh, kalau dipikir-pikir. Tadi bus yang aku tumpangi jumlah pesertanya sembilan belas padahal bus itu maksimal mengangkut tiga puluh penumpang. Lalu, jika pihak panitia perkemahan tidak mau rugi, seharusnya hanya satu ada satu bus saja yang menjemput peserta.
            “...kemudian pembagian pondok, Aline Rosemarie, Hanna...”
            Rupanya pembagian pondok sudah dimulai. Aku tidak memperhatikan panitia berbicara tadi. Aku sibuk menghitung dan memperhatikan satu per satu hampir dari seluruh peserta perkemahan ini. Kemudian aku mencoba mendengarkan lagi panitia yang di depan itu.
            “...di pondok B. Sedangkan Alice McBrown, Lindsay  dan Christine Hannah, serta Sonia Johnson di pondok C. Paul Mc Carter,  Jonathan Marcus,  Geovannie Gevina, dan Edwin Hubbert di pondok D. Kemudian di pondok E.....”
            Edwin sempat menoleh kepadaku dan tersenyum, aku pun membalasnya. Lalu dia menghadap ke depan lagi untuk mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh panitia sebelum acara perkemahan resmi dimulai. Sementara itu, aku memperhatikan beberapa peserta yang dandanannya menurutku aneh dan norak sambil sesekali aku memandang Joe yang berdiri di samping Pak Caldwell.


            Malam hari, setelah acara perkenalan dan makan malam selesai, para peserta dipersilahkan untuk jalan-jalan di sekitar pondok sambil saling bersenda gurau untuk lebih mengakrabkan antara peserta satu dengan peserta lainnya.
            Aku, Alice, Lindsay dan Aline duduk-duduk di dekat api unggun yang kami buat sendiri. Api unggun itu menyala redup, menambah suasana semakin mengasyikkan. Belum pernah aku merasakan suasana seasyik ini, yah, karena aku memang baru kali ini mengikuti acara perkemahan musim panas tahunan.
            “Sonia, siapa sih, cowok yang kau peluk tadi itu? Pacarmu?” tanya Alice tiba-tiba. Ia bertanya kepadaku tanpa melihat ke arahku karena ia sedang sibuk memperhatikan sejimpit ujung-ujung rambutnya yang tergerai itu.
            “Maksudmu Joe? Bukan, dia hanya teman kecilku. Sekitar lima atau enam tahun yang lalu ia pindah ke California. Tapi aku masih hafal benar wajahnya karena lesung di pipi kirinya dan aku juga sangat mengenali suaranya.”
            “Oooh..,” balas Alice singkat.
            “Hei Alice, Sonia, Lindsay, kalian tahu tentang cerita yang mengatakan bahwa ini perkemahan berhantu?” tanya Aline tiba-tiba.
            “Semua sudah tahu. Kecuali...,” Alice menjawab pertanyaan Lindsay dengan nada yang setengah mengejek. Kemudian ia melirik ke arahku, memperhatikan aku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku tahu, dia memang sedang mengejekku karena aku kuper. Tapi ini sama sekali tak jadi masalah, karena aku memang merasa kuper dan aku memang ingin mengetahui lebih banyak lagi berita, atau hanya sekedar gosip miring, tentang perkemahan ini.
            “Ya, setiap tahun, hampir setiap tahun, ada korban jiwa dalam acara perkemahan ini. Mereka yang jadi korban menghilang secara tiba-tiba atau mati secara misterius dengan kondisi yang sangat mengenaskan,” Aline menjelaskan. Matanya yang hitam menatapku dalam-dalam.
            Aku sedikit bergidik. Percaya atau tidak aku bukan anak yang penakut. Tapi entah mengapa cerita hantu kali ini benar-benar membuatku berulang kali mengingat Tuhan dan berdoa kepada-Nya.
            Aline melanjutkan ceritanya,” Mereka yang hilang tak pernah ditemukan hingga detik ini. Sedangkan mereka yang mati..”
            Aline menatap mata kami semua dalam-dalam dan berlagak seperti menakut-nakuti kami. Lindsay nampak ketakutan, Alice kelihatan cuek saja tanpa ekspresi, dan aku sepertinya terlihat penasaran sekali akan kelanjutan cerita Aline.
            “...mereka mati dalam kondisi tak wajar. Misterius. Mengerikan. Tubuh mereka seperti dikoyak-koyak oleh binatang buas, seluruh tubunhya berlumur darah, matanya melotot seperti orang yang mati karena gantung diri, wajah mereka sudah hampir tak berwujud seperti manusia lagi, tetapi seperti hantu muka rusak.”
            Bulu kudukku mulai berdiri, begitu pun Lindsay.
            “Dan kau tahu siapa pembunuhnya?” tanya Aline kepadaku dan kepada Lindsay.
            Aku saling bertatapan dengan Lindsay. Terlihat jelas dari air mukanya bahwa ketakutan besar sedang menghinggapinya. Bahkan ia hampir saja menangis, matanya sudah berkaca-kaca.
            “Pembunuhnya adalah manusia serigala,” jawab Alice datar.
            “Ya, manusia serigala...,” jawab Aline.
            “....berbulu domba,” Alice menambahkan.
            Aline dan Alice tertawa kecil. Sementara aku dan Lindsay masih dalam ketakutan dan rasa ingin tahu kami semakin besar.
            Aku melihat Joe dari kejauhan yang sepertinya sedang mencari-cari aku. Ia mendekati setiap kerumunan peserta yang sedang asyik bercengkerama. Sampai akhirnya ia melihat aku dan tersenyum lega.
            Ia mendekat ke arah kerumunan kami dan berkata kepadaku, “Sonia, maukah kau berjalan-jalan denganku? Sebentar saja.”
            “Joe, kau benar-benar tidak punya sopan santun ya? Kau tidak melihat kami ada di sini? Seharusnya kau meminta izin, yah..., paling tidak kau basa-basi dulu kepada kami atau...,” kata Alice sambil memainkan rambutnya. “...juga mengajak kami pergi bersama kalian.”
            “Oh, maaf. Maafkan aku. Sonia, bagaimana?”
            Aku memandang teman-teman baru di sekelilingku. Lindsay dan Aline mengisyaratkan kalau mereka tak keberatan aku pergi jalan-jalan dengan Joe.
            “Oke. Maaf, ya, teman-teman. Aku akan pergi berjalan-jalan dengan Joe. Semoga obrolan kalian semakin bertambah asyik,” kataku kepada mereka.
            Aku berdiri dan mulai meninggalkan mereka. Namun tiba-tiba Aline mengejarku dan menyeretku sedikit menjauh dari Joe.
            “Hati-hati terhadap semua orang di perkemahan ini. Tak terkecuali orang yang sudah kau kenal dekat,” bisiknya dengan nada mengancam. “Kau tentu paham dengan istilah serigala berbulu domba kan?”
            Aku kebingungan. Bingung dengan kata-kata Aline yang baru saja ia ucapkan. Apa maksudnya? Tetapi aku berusaha untuk tetap bersikap biasa-biasa saja dan melanjutkan berjalan-jalan dengan Joe.
            Aku dan Joe berjalan-jalan melewati tepian hutan. Hutan itu tampak angker dan menakutkan. Dan seperti biasa, setiap kali aku menemui hal-hal yang baru pernah aku temui, imajinasiku langsung membumbung ke dunia khayalan.
            Ini seperti hutan terlarang yang ada di kisah Harry Potter. Aku jadi membayangkan seandainya aku bertemu dengan labah-labah raksasa dan aku mempunyai tongkat sihir, akan aku sihir labah-labah itu menjadi seekor katak. Kemudian katak itu akan kutaruh di tempat makan Jack agar ia menjerit dan menangis ketakutan.
            “Sonia? Sonia?” suara Joe membuyarkan pikiranku. “Apa yang sedang kau pikirkan? Pasti Edwin si Pencari Muka itu ya?”
            “Joe? Kamu ngomong apa sih? Edwin tidak seperti itu. Di memang baik, kok”
            Joe menghentikan langkahnya dan menghadapkan badannya ke arahku. Ia menatapku dengan tatapan yang sangat dalam. Beberapa saat kemudian dia berkata, “Sonia, jangan pernah kau katakan kau mencintainya dan akan melakukan apa pun demi dia. Aku mohon.”
             “Eh..uh..oh.., aku..aku...kau bilang apa barusan?” tanyaku tergagap.
            “Aku mencintaimu jauh lebih dulu darinya. Apa kau akan sampai hati melakukan semua ini?” kata Joe. Ia berbicara dengan suara yang agak serak dan lirih. Ia membelai rambutku dan merapikan poniku.
            Aku hanya menunduk terdiam. Aku tak sanggup berkata apa-apa.
            “Aku tak peduli kau berpacaran dengan siapa pun, asalkan bukan dengannya. Sumpah mati aku tak akan sampai hati merelakanmu dengannya.”
            “Jadi, kau mengancamku?” tanyaku. Aku mulai terbawa emosi. Entah mengapa ada perasaan tak terima karena Joe telah menjelek-jelekkan  Edwin di depanku.
            “Jika aku tak mengancammu, maka kau akan celaka!”
            Plak! Aku menampar pipi Joe.
            “Apa maksud kata-katamu? Apa kau sudah gila? Edwin tak mungkin mencelakaiku! Kau yang berusaha mencelakaiku!” aku membentak Joe dan berlari pulang ke arah pondok sambil menangis.
            Rupa-rupanya Edwin telah menungguku di depan pondokku. Aku sempat berhenti menghadapnya namun akhirnya aku tetap masuk ke pondok. Aku tak kuasa menahan air mataku membasahi pipiku. Aku langsung masuk ke kamarku dan naik ke tempat tidur dengan posisi telungkup.
            Alice dan Lindsay saling bertatap mata keheranan. Kemudian mereka pun ikut tidur setelah lampu kamar kami dimatikan.


            Udara pagi ini sangat sejuk. Matahari yang bersinar terasa hangat namun tidak terik seperti di siang hari nanti. Burung-burung berkicauan, mereka saling bersahutan, menambah keindahan di pagi hari ini.
            Aku, Alice, Lindsay, dan si Kembar Hannah pergi ke danau mencari air dan memancing. Kami berlima pergi secara sembunyi-sembunyi dari panitia perkemahan. Kami merasa bosan setelah harus tinggal di pondok selama beberapa hari tanpa ada satu acara pun yang menantang kami. Oleh karena itu, kami pergi ke danau di pinggiran hutan yang letaknya cukup jauh dari perkemahan kami.
            “Wow..! Air danau ini kelihatannya jernih sekali. Aku jadi ingin mandi dan berenang di sini,” ujar Alice.
            “Iya, kami juga sudah lama tidak berenang di danau,” tambah si Kembar Hannah.
            “Apa kalian sudah gila? Kalau ada apa-apa bagaimana? Siapa yang akan bertanggung jawab? Kita kan sedang berada di luar pengawasan panitia?” kataku ragu.
            “Ah.., sudahlah. Ini kan cuma sekali saja. Hanya sekali....saja,” balas Lindsay.
            Kemudian mereka bertiga mulai melepas sepatu dan pakaian mereka lalu berenang di danau itu.
            “Hei anak kuper dan penakut, kau tidak bisa berenang ya? Ayo, berenanglah bersama kami!” teriak Alice dari danau. Aku menjawabnya hanya dengan menggelengkan kepala.
            Sebenarnya bukan karena aku tidak bisa berenang ataupun aku takut dihukum oleh panitia, namun aku lebih tertarik untuk menikmati keindahan danau itu sambil melihat mereka berenang.
            Setengah jam kemudian, aku mengusulkan kepada mereka untuk segera kembali ke pondok, tetapi mereka menolak dan menghalangi jalanku ke pondok. Bahkan mereka sempat mengeroyok aku dan berusaha menceburkan aku ke danau.
            “Aku tidak akan membiarkanmu kembali ke pondok sekarang!” kata Alice.
            “Kenapa? Kenapa aku tak boleh kembali? Memangnya apa hak kalian untuk melarangku kembali ke sana?” gerutu kesal.
            “Edwin. Edwin pasti sedang mencarimu dan aku tidak suka dengan hal ini,” kata Lindsay. Ia memelototiku, begitu pula yang lainnya. Mereka semua berjalan ke arahku dengan sorot mata tajam dan dingin, sedingin es di kutub selatan.
            Aku jadi serba salah. Tiba-tiba aku bergidik, bulu kudukku berdiri. Aku berpikir bahwa jangan-jangan mereka adalah sekawanan manusia serigala yang mereka ceritakan sendiri pada malam-malam sebelumnya.
            Aku teringat pesan Aline, “Hati-hati terhadap semua orang di perkemahan ini. Tak terkecuali orang yang sudah kau kenal dekat.”
            Ya, merekalah manusia serigala itu!
            Aku langsung membalikkan badanku dan berlari secepat dan selincah mungkin. Aku baru berhenti ketika napasku tersengal-sengal dan kakiku mulai lemas. Akhirnya, aku berhasil lolos dari manusia-manusia serigala itu juga.
            Namun, beberapa saat kemudian langkahku yang semakin melambat pun berhenti. Aku melihat sekelilingku. Pohon-pohon besar berdaun rindang dengan batang-batang besar yang menjulang tinggi menutupi matahari siang itu. Bayangannya membuat dalam hutan ini lebih gelap dari pinggiran danau tadi. Tiba-tiba aku merasa ketakutan menyelubungi diriku ketika aku tersadar bahwa aku telah memasuki hutan dan tersesat di dalamnya.
            Hari semakin sore, tak satu orang pun yang mencariku. Aku yang sendirian di hutan ini, hanya bisa menangis, dan menangis. Sudah ku coba berjalan berbalik arah dari jalan aku masuk ke hutan ini. Tetapi semuanya sia-sia. Bahkan danau yang tadi aku lewati pun tak kunjung kutemukan.
            Semakin lama, tubuhku semakin lemas. Pantas saja karena dari semalam aku memang belum mengisi perutku sama sekali. Aku juga tidak sempat menikmati sarapan tadi pagi karena Alice, Lindsay, dan si kembar Hannah membujukku untuk pergi meninggalkan perkemahan secara diam-diam. Aku menyesalinya karena ternyata merekalah manusia serigala itu.
            Dari kejauhan aku melihat seperti ada seseorang di balik pohon beringin yang besar. Dia sedang mengamatiku. Kemudian aku mencoba berlari mengejarnya. Tetapi, sesampainya aku di pohon itu, aku tak menemukannya.
            Kemana dia? Siapa orang itu? Apa dia juga tersesat di hutan ini seperti aku? Kenapa dia tak mau menemui aku?
            Aku terduduk di bawah pohon itu. Saat ini aku hanya bisa berdoa dan berdoa saja. Berharap nanti ada orang yang mencariku dan berhasil menemukanku sehingga aku cepat kembali ke perkemahan.
            Srek.
            Aku menoleh ke belakang. Berdiri kemudian mencari-cari suara yang mencurigakan itu. Sedari tadi aku memang merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikan aku.
            Ya! Aku melihatnya sekilas. Ia memakai jaket berwarna merah. Tapi, bukankah warna merah adalah warna kesukaan manusia serigala?
            Aku langsung teringat cerita Aline dan Alice tentang manusia serigala. Kata-kata Aline tentang korban mereka pun terngiang-ngiang di telingaku. Aku semakin cemas dan ketakutan. Lalu aku jongkok di bawah pohon itu dan menangis. Wajahku kubenamkan di atas lututku dengan kedua tangan menutupi kedua telingaku.
            Tidak!!! Dia berada di hadapanku. Ya, di berhenti di hadapanku. Oh, Tuhan, selamatkanlah aku.
            Cengkeraman kuat di bahuku membuatku semakin ketakutan. Sebentar lagi aku akan dilahap habis olehnya. Atau akan dijadikan tumbal untuk musim panas tahun ini. Aku akan mati dengan keadaan yang mengenaskan. Atau aku tidak akan kembali ke sini lagi. Aku akan diambil olehnya, dijadikan manusia serigala yang berikutnya.
            Cengkeraman itu semakin kuat dan mengoncang-goncangkan tubuhku.
            “Sonia! Sadar, Sonia! Ini aku, Edwin! Kami telah mencarimu ke mana-mana, ternyata kau...,” kata Edwin sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.
            Aku langsung menatap wajahnya dan memeluknya. Aku menangis di pelukkannya. Aku bersyukur, akhirnya ada juga yang menemukan aku di sini. Saat itu, aku benar-benar sangat ketakutan. Pikiranku kacau.

            Lalu aku digendong oleh Edwin. Aku melihat ke arah belakang Edwin. Setengah sadar, aku melihat samar-samar hutan itu. Di bawah pohon beringin itu, aku melihat sosok seseorang berjaket merah memperhatikanku dan Edwin. Sepertinya orang itu tidak asing bagiku. Namun karena tubuhku lemas tak berdaya, aku memejamkan mataku mencoba untuk tidur di pelukan Edwin. (bersambung...)