Jumat, 07 Juni 2013

Analisis Morfologi pada Konfiks dan Infiks dalam Bahasa Jawa

Analisis Morfologi pada Konfiks
Kata
Proses
Arti
Kelas Kata
Kalimat
takgawanane
tak- + gawa + -ane
diberi bawaan (oleh aku)
Verba
Ari takgawanane lenga seprapat liter.
takgawani
tak- + gawa + -i
aku beri bawaan
Verba
Adikku takgawani duit sewu kanggo sangu sekolahe.
takgawanana
tak- + gawa + -ana
jika kuberi bawaan
Verba
Takgawanana jajanan kanggo awake ora tau dipangan.
takparanana
tak- + mara + -ana
jika aku datangi
Verba
Takparanana maring umahe ora tau ana.
takparakna
tak- + mara + -ana
jika kuantarkan
Verba
Takparakna awake mesti gelem.
kokgawani
kok- + gawa + -i
kamu beri bawaan
Verba
Aku seneng banget kokgawani es duren montong papat bungkus.
kokgawakake
kok- + gawa + -ake
kamu bawakan
Verba
Kogawakake tasku dhisik, mengko aku nyusul.
kokparani
kok- + mara + -i
kamu datangi
Verba
Uwis suwe tempat kuwe ora kokparani.
           
Dari kata-kata di atas, dapat dilihat bahwa ada pemunculan dan pengekalan fonem /n/ ketika kata dasar ‘gawa’ yang berakhiran fonem vokal bertemu dengan sufiks berawalan fonem vokal, seolah kata-kata tersebut berasal dari kata dasar ‘gawan’. Selain itu, pada kata takparanana, takparakna, dan kokparani bentuknya tidak menjadi takmaranana, takmarakna, dan kokmarakna. Bentuknya berubah menyesuaikan kata dasarnya, yaitu ‘para’. Sedangkan kata ‘mara’ sendiri sebenarnya bentukan dari m- + para.
            Satu konfiks dalam bahasa Jawa dapat mewakili dua sampai tiga kata dalam bahasa Indonesia. Terutama pada konfiks tak-/-ana yang membentuk satu kata, ada makna persyaratan yang di dalam bahasa Indonesia konjungsi persyaratan tersebut tidak dapat tersirat hanya melalui satu kata saja. Konfiks tak- dan kok- juga merupakan perwakilan dari kata ‘aku’ dan ‘kamu’ yang di dalam bahasa Indonesia umumnya ditulis sebagai kata yang berfungsi subjek atau berperan pelaku dan bukan sebagai imbuhan.

Analisis Morfologi pada Infiks
Kata
Proses
Arti
Kelas Kata
Kalimat
tinulis
tulis + -in-
ditulis
Verba
Serat kuwi tinulis kanggo aksara palawa.
sumunar
sunar + -um-
bersinar
Verba
Wulane sumunar padang pisan.
kumendel
kendel + -um-
berlagak berani
Verba
Aja kumendel yen koe wedi.
gumagus
bagus + -um-
berlagak ganteng
Verba
Bocah sing gumagus pasti diadohi kancane.
kemayu
ayu + -um-
berlagak cantik
Verba
Aja kemayu yen ora gelem gawe kancane pada geting.

            Dari tabel di atas maka dapat dikatakan bahwa infiks –in- akan menghasilkan kata berkategori verba pasif, sedangkan infiks –um- akan menghasilkan kata berkategori verba aktif.
            Pada kata kemayu sebenarnya infiks yang terdapat di dalamnya bukanlah –em- melainkan –um-. Namun dalam tuturan lisan infiks –um- sering diucapkan menjadi –em-. Sehingga sering pula dipakai kata semunar, gemagus, dan kemendel di samping kata sumunar, gumagus, dan kumendel.
            Kata ‘bagus’ bertemu dengan infiks –um- tidak menghasilkan kata gumbagus melainkan gumagus. Dalam pelekatan infiks –um- kata yang diawali dengan fonem /b/ akan berubah menjadi fonem /g/ dan kata yang diawali dengan fonem /p/ akan berubah menjadi fonem /k/. Untuk membandingkannya, lihat contoh di bawah ini.
becik + -um-        ---->                           gumecik
bledheg + -um-      ---->                          gumledheg
panggang + -um-        ---->                      kumanggang
pinter + -um-               ---->                     kuminter

Malam Sahaja

(suatu catatan di tengah keramaian)

malam terhimpit angin menyesakkan yang tak pernah usai
pada bias bayang-bayang kaca di setiap sudut kota
mati
menusuk udara busuk peluh manusia buruk
tapi malam hanya mengangguk pelan pada setiap insan
hanya Tuhan yang tahu mengapa ia selamanya menjadi kelam

ciprat air karena gelora membumbung
pada malam yang terlalu baik dan selalu diam dalam sahaja
burung malam pun menangis karenanya
seandainya manusia itu seperti mereka, Tuhan tak kan murka

sahaja malam yang mengangguk pelan pada setiap insan
dan hanya Tuhan yang tahu mengapa ia selamanya menjadi kelam



Analisis Puisi “Di Tepi Laut” Karya Alex R. Nainggolan

Alex R. Nainggolan
Di Tepi Laut

remah ombak makin tampak
dan laut cuma siluet
biru yang asin
biru yang asing             
hanya tandas karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin

hanya aku sendiri
di lengang pantai
mungkin
masih ada yang bisa kuingat
tentang kapal sandar
atau kisah kita

mestinya aku meneleponmu
dan berkisah tentangnya
tapi sepi ini memang terasa asyik
untuk direngkuh sendiri


*) diambil dari majalah Horison edisi April 2011


Parafrase
            Si penyair berada di tepi laut/pantai merenungi cintanya yang kandas. Di sana ia mengenang kenangan yang pernah dilaluinya bersama kekasihnya yang dulu di pantai itu. Ia membayangkan mantan kekasihnya sedang bersamanya saat itu. Namun, kenyataannya ia hanyalah sendirian.
            Kemudian di hati si penyair timbul keinginan untuk menelepon mantan kekasihnya itu untuk sekadar bercerita, bernostalgia akan kenangan yang pernah mereka lalui di pantai itu. Tetapi keinginannya itu diredamnya sendiri. Hal itu dilakukan bukan karena si penyair sudah tidak lagi mencintai mantan kekasihnya, tetapi karena ia memang lebih memilih untuk sendiri. Menurutnya saat ini kesendirian adalah yang terbaik bagi dirinya.

Denotasi dan Konotasi
            Sebuah kata mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi artinya menunjuk, sedangkan konotasi ialah arti tambahannya. Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan, atau diceritakan. Dalam puisi ada pula yang disebut bahasa konotatif, yaitu arti tambahan yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya.
Biru yang asin; asin merupakan sebuah rasa yang dirasakan oleh indera pengecap, seperti rasa garam dan air laut. Maka yang dimaksud biru yang asin itu adalah air laut.
Biru yang asing; biru dalam ilmu estetika merupakan perlambang kesenduan. Biru yang asing berarti kesenduan, kegalauan, yang menghadirkan suasana kesepian.
Dan sedikit kata cinta yang berkecipak di gaung angin; kata cinta berarti kata-kata tentang cinta, sementara berkecipak di gaung angin berarti sesuatu yang tak nyata atau semu. Jadi, sedikit kata cinta yang berkecipak di gaung angin dapat diartikan sebagai kenangan penyair bersama mantan kekasihnya yang kini hanya terngiang dan terbesit dalam ingatannya.
            Hanya aku sendiri; sendiri memiliki makna denotasi seorang diri, tidak bersama siapa-siapa. Namun, dapat pula memiliki makna konotasi tidak memiliki hubungan cinta dengan siapa-siapa. Penyair menggambarkan bahwa pada saat itu ia sedang sendiri tidak bersama siapa-siapa dan juga sedang tidak mempunyai kekasih.
Di lengang pantai; secara denotasi kata lengang berarti sepi. Namun, di sini penyair mencoba untuk menggambarkan bahwa suasana di pantai itu benar-benar sepi, seolah tidak ada orang lain atau pengunjung lain di pantai itu. Meskipun pada kenyataannya belum tentu demikian, bisa saja di pantai itu ada beberapa pengunjung lain tetapi penyair merasa seolah di pantai itu benar-benar hanya ada ia seorang diri.
Tentang kapal sandar; kapal sandar dapat bermakna kapal yang sedang tidak berlabuh, kapal yang sedang terparkir di dermaga.  Namun, yang dimaksud dengan kapal sandar menurut penyair adalah kapal sandar dalam makna konotatifnya, yaitu hubungan yang kandas, cinta yang pupus, hubungan cinta yang terputus di tengah jalan. Hal ini memiliki asosiasi dengan baris berikutnya: atau kisah kita. Kisah kita dimaknai sebagai kisah yang pernah terjadi di antara penyair dan mantan kekasihnya.
Tapi sepi ini memang terasa asyik; asyik denotatifnya adalah perasaan yang dirasakan lebih baik, lebih memberikan kenyamanan.
Untuk direngkuh sendiri; direngkuh sendiri berarti diam, menyimpannya di dalam hati saja tanpa mencurahkan atau membagi perasaan kepada orang lain termasuk mantan kekasihnya sendiri yang masih ia cintai itu.

Bahasa Kiasan
            Adanya bahasa kiasan menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan.
            Beberapa bahasa kias yang terkandung di dalam puisi “Di Tepi Laut” karya Alex R. Nainggolan antara lain sinekdoke pars pro toto, metafora, allegori, dan metonimia.
1.      Sinekdoke pars pro toto
Remah ombak makin tampak; yang dimaksud dengan remah ombak di sini bukanlah remahan atau cipratan-cipratan ombaknya saja, tetapi juga ombaknya khususnya ombak-ombak kecil yang beriak.
2.      Metafora
Laut cuma siluet; laut dipersamakan dengan siluet yang tak jelas, hanya bayangan yang tidak menampakkan wujud aslinya secara jelas.
3.      Allegori
Biru yang asing; mengiaskan suasana sendu yang menghadirkan suasana kesepian.
4.      Metonimia
Kapal sandar; mengiaskan hubungan yang telah pupus, cinta yang kandas, hubungan cinta yang harus berakhir di tengah jalan.

Citraan
            Citraan adalah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya, sedang setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji. Adanya pencitraan dimaksudkan untuk memberikan perasaan pengalaman penulis terhadap objek dan situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis, dan segera dapat kita rasakan dan dekat dengan kehidupan kita sendiri.
Gambaran-gambaran angan ada bermacam-macam, dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan.
Berikut beberapa citraan yag terdapat di dalam puisi “Di Tepi Laut” karya Alex R. Nainggolan:
a.       Citra penglihatan
Citraan yang paling sering dipergunakan oleh penyair ini memberikan rangsangan kepada inderaan penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat seolah-olah terlihat.

remah ombak makin tampak
dan laut cuma siluet
biru yang asin
biru yang asing      
hanya tandas karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin

hanya aku sendiri
di lengang pantai
.....

b.      Citra pendengaran
Citra ini juga sangat sering digunakan oleh penyair untuk menghasilkan efek menyebutkan atau menguraikan bunyi suara.

....
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin

hanya aku sendiri
di lengang pantai
....

c.       Citra pencecapan
Citra pencecapan merupakan citraan yang tidak begitu sering digunakan oleh penyair dalam puisinya. Begitu pula dalam puisi “Di Tepi Laut” karya Alex R. Nainggolan hanya ada satu citra pencecapan, yaitu pada baris ketiga bait pertama.

remah ombak makin tampak
dan laut cuma siluet
biru yang asin
biru yang asing      
hanya tandas karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin
....

d.      Citraan gerak
Citraan ini menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak ini membuat hidup gambaran jadi dinamis.

....
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin

....

mestinya aku meneleponmu
dan berkisah tentangnya
tapi sepi ini memang terasa asyik
untuk direngkuh sendiri


e.       Citraan pemikiran
Citraan pemikiran ialah citraan yang berupa penggambaran pikiran penyair dalam puisinya. Citraan inijuga sering digunakan oleh para penyair untuk mengungkapkan perasaan, harapan, gagasan atau pemikirannya.

remah ombak makin tampak
dan laut cuma siluet
biru yang asin
biru yang asing     
hanya tandas karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin

hanya aku sendiri
di lengang pantai
mungkin
masih ada yang bisa kuingat
tentang kapal sandar
atau kisah kita

mestinya aku meneleponmu
dan berkisah tentangnya
tapi sepi ini memang terasa asyik
untuk direngkuh sendiri

            Sementara itu, citra perabaan dan citra penciuman sama sekali tidak terdapat dalam puisi ini.


Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
            Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup di hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Tiap pengarang itu mempunyai gaya bahasa sendiri sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-masing pengarang. Gaya (termasuk gaya bahasa) merupakan cap seorang pengarang. Gaya itu merupakan idiosyncracy (keistimewaan, kekhususan) seorang penulis dan gaya itu adalah orangnya sendiri. Meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam melahirkan pikiranm namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang dipergunakan. Jenis-jenis bentuk ini disebut sarana retorika (rethorical devices).
            Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenberg, 1970 : 22). Dengan muslihat itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Pada umumnya sarana retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan oleh penyairnya.
            Sarana retorika yang terdapat dalam puisi “Di Tepi Laut” ini antara lain enumerasi dan paralelisme.
a.       Enumerasi
Enumerasi adalah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (Slametmuljana, Tt: 25). Dengan demikian juga menguatkan suatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas.



remah ombak makin tampak
dan laut cuma siluet
biru yang asin
biru yang asing      
hanya tandas karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin

....

Bait di atas menerangkan keadaan sepi yang dirasakan oleh penyair di tepi pantai. Kesepian karena status kesendiriannya juga karena kenangan yang pernah dilaluinya.
b.      Paralelisme
Paralelisme (persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata yang berlainan dari kalimat yang mendahuluinya (Slametmuljana, Tt: 29).
remah ombak makin tampak
dan laut cuma siluet
biru yang asin
biru yang asing     
hanya tandas karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin

....

Analisis Isi
a.       Analisis perbait
Analisis pada bait pertama diawali dengan keadaan di tepi laut yang digambarkan melalui pencitraan penglihatan.

remah ombak makin tampak
dan laut cuma siluet
biru yang asin
biru yang asing     
hanya tandas karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin

....

Penyair seolah sedang memperhatikan deburan ombak di tepi pantai sambil menerawang dalam pikirannya tentang “biru yang asin” (air laut) dan suasana yang terasa asing pula. Dalam perpesktif estetika biru tau warna biru memiliki makna kesenduan, kegundahan, dan sebagainya. Karang yang diterpa ombak menghasilkan buih-buih putih air laut semakin menggambarkan keadaannya saat itu. Dirinya dapat diumpamakan seperti “tandas karang” yang berarti ketegaran atau tetap tegar meski ditempa cobaan atau ujian dan menghasilkan “buih putih”, yaitu harapan-harapan yang semu dan sementara.
Bait kedua dapat dianalisis sebagai suatu hasil pemikiran pengarang mengenai keadaan dirinya saat itu. Hal ini terlihat dari banyaknya citra pemikiran yang digunakan pada bait kedua.

....

hanya aku sendiri
di lengang pantai
mungkin
masih ada yang bisa kuingat
tentang kapal sandar
atau kisah kita

....

Penyair digambarkan sedang sendirian di pantai yang sepi. Penyair berpikir untuk mengingat-ingat kembali kenangan hubungan asmaranya dengan mantan kekasihnya. Istilah “kapal sandar” yang terdapat pada bait ini memiliki makna suatu hubungan cinta yang kandas, yang harus putus di tengah jalan.
Pada bait ketiga penyair sempat berpikir seharusnya ia menelepon mantan kekasihnya untuk sekadar bercerita kembali tentang kenangan-kenangan yang pernah mereka lalui di pantai itu. Namun, akhirnya penyair mengurungkan niatnya itu karena ia merasa nyaman dengan keadaanya yang sekarang, yaitu keadaan kesendiriannya.
....

mestinya aku meneleponmu
dan berkisah tentangnya
tapi sepi ini memang terasa asyik
untuk direngkuh sendiri


b.      Analisis keseluruhan
Si penyair berada di tepi laut/pantai merenungi cintanya yang kandas. Di sana ia mengenang kenangan yang pernah dilaluinya bersama kekasihnya yang dulu di pantai itu. Ia seperti karang yang tegar menghadapi cobaan atau ujian dan harpan-harapannya yang tak terwujud dapat diibaratkan seperti buih-buih putih di lautan. Kapal sandar sebagai perumpamaan hubungannya yang putus di tengah jalan dengan mantan kekasihnya masih ia kenang di dalam kesendiriannya. Meski timbul keinginan untuk menelepon mantan kekasihnya itu untuk sekadar bercerita, bernostalgia akan kenangan yang pernah mereka lalui di pantai itu, tetapi keinginannya itu diredamnya sendiri. Hal itu dilakukan bukan karena si penyair sudah tidak lagi mencintai mantan kekasihnya, tetapi karena ia memang lebih memilih untuk sendiri. Menurutnya saat ini kesendirian adalah yang terbaik bagi dirinya.

Amanat

Amanat yang ingin disampaikan oleh penyair dalam puisi ini adalah bahwa terkadang kesendirian lebih baik. Kesendirian terkadang merupakan jalan yang terbaik untuk dua insan yang mengalami hubungan asmara yang kandas meskipun mereka masih saling mencintai. Perasaan nyaman akan kesendirian itu akan muncul ketika benar-benar direnungkan apa yang membuat hubungan. Kesendirian akan dirasa jauh lebih baik daripada harus mempertahankan hubungan yang mulai tidak sehat karena dapat lebih saling menyakiti satu sama lain.