Alex
R. Nainggolan
Di Tepi Laut
remah
ombak makin tampak
dan
laut cuma siluet
biru
yang asin
biru yang asing
hanya
tandas karang
buih
putih
dan
sedikit kata cinta
yang
berkecipak di gaung angin
hanya
aku sendiri
di
lengang pantai
mungkin
masih
ada yang bisa kuingat
tentang
kapal sandar
atau
kisah kita
mestinya
aku meneleponmu
dan
berkisah tentangnya
tapi
sepi ini memang terasa asyik
untuk
direngkuh sendiri
*) diambil dari majalah Horison edisi
April 2011
Parafrase
Si
penyair berada di tepi laut/pantai merenungi cintanya yang kandas. Di sana ia
mengenang kenangan yang pernah dilaluinya bersama kekasihnya yang dulu di pantai
itu. Ia membayangkan mantan kekasihnya sedang bersamanya saat itu. Namun, kenyataannya
ia hanyalah sendirian.
Kemudian
di hati si penyair timbul keinginan untuk menelepon mantan kekasihnya itu untuk
sekadar bercerita, bernostalgia akan kenangan yang pernah mereka lalui di
pantai itu. Tetapi keinginannya itu diredamnya sendiri. Hal itu dilakukan bukan
karena si penyair sudah tidak lagi mencintai mantan kekasihnya, tetapi karena
ia memang lebih memilih untuk sendiri. Menurutnya saat ini kesendirian adalah
yang terbaik bagi dirinya.
Denotasi
dan Konotasi
Sebuah
kata mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi artinya
menunjuk, sedangkan konotasi ialah arti tambahannya. Denotasi sebuah kata
adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang
diberi nama dengan kata itu, disebutkan, atau diceritakan. Dalam puisi ada pula
yang disebut bahasa konotatif, yaitu arti tambahan yang ditimbulkan oleh
asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya.
Biru
yang asin; asin merupakan sebuah rasa yang dirasakan oleh
indera pengecap, seperti rasa garam dan air laut. Maka yang dimaksud biru yang asin
itu adalah air laut.
Biru
yang asing; biru dalam ilmu estetika merupakan perlambang
kesenduan. Biru yang asing berarti kesenduan, kegalauan, yang menghadirkan
suasana kesepian.
Dan
sedikit kata cinta yang berkecipak di gaung angin;
kata cinta berarti kata-kata tentang cinta, sementara berkecipak di gaung angin
berarti sesuatu yang tak nyata atau semu. Jadi, sedikit kata cinta yang
berkecipak di gaung angin dapat diartikan sebagai kenangan penyair bersama
mantan kekasihnya yang kini hanya terngiang dan terbesit dalam ingatannya.
Hanya aku sendiri; sendiri memiliki
makna denotasi seorang diri, tidak bersama siapa-siapa. Namun, dapat pula
memiliki makna konotasi tidak memiliki hubungan cinta dengan siapa-siapa. Penyair
menggambarkan bahwa pada saat itu ia sedang sendiri tidak bersama siapa-siapa
dan juga sedang tidak mempunyai kekasih.
Di
lengang pantai; secara denotasi kata lengang berarti
sepi. Namun, di sini penyair mencoba untuk menggambarkan bahwa suasana di
pantai itu benar-benar sepi, seolah tidak ada orang lain atau pengunjung lain
di pantai itu. Meskipun pada kenyataannya belum tentu demikian, bisa saja di
pantai itu ada beberapa pengunjung lain tetapi penyair merasa seolah di pantai
itu benar-benar hanya ada ia seorang diri.
Tentang
kapal sandar; kapal sandar dapat bermakna kapal yang
sedang tidak berlabuh, kapal yang sedang terparkir di dermaga. Namun, yang dimaksud dengan kapal sandar menurut
penyair adalah kapal sandar dalam makna konotatifnya, yaitu hubungan yang
kandas, cinta yang pupus, hubungan cinta yang terputus di tengah jalan. Hal ini
memiliki asosiasi dengan baris berikutnya: atau
kisah kita. Kisah kita dimaknai sebagai kisah yang pernah terjadi di antara
penyair dan mantan kekasihnya.
Tapi
sepi ini memang terasa asyik; asyik denotatifnya
adalah perasaan yang dirasakan lebih baik, lebih memberikan kenyamanan.
Untuk
direngkuh sendiri; direngkuh sendiri berarti diam,
menyimpannya di dalam hati saja tanpa mencurahkan atau membagi perasaan kepada
orang lain termasuk mantan kekasihnya sendiri yang masih ia cintai itu.
Bahasa
Kiasan
Adanya
bahasa kiasan menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan
kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan.
Beberapa
bahasa kias yang terkandung di dalam puisi “Di Tepi Laut” karya Alex R.
Nainggolan antara lain sinekdoke pars pro toto, metafora, allegori, dan
metonimia.
1.
Sinekdoke pars pro toto
Remah ombak makin
tampak; yang dimaksud dengan remah ombak di sini bukanlah
remahan atau cipratan-cipratan ombaknya saja, tetapi juga ombaknya khususnya
ombak-ombak kecil yang beriak.
2.
Metafora
Laut cuma siluet;
laut dipersamakan dengan siluet yang tak jelas, hanya bayangan yang tidak
menampakkan wujud aslinya secara jelas.
3.
Allegori
Biru
yang asing; mengiaskan suasana sendu yang menghadirkan suasana
kesepian.
4.
Metonimia
Kapal sandar;
mengiaskan hubungan yang telah pupus, cinta yang kandas, hubungan cinta yang
harus berakhir di tengah jalan.
Citraan
Citraan adalah
gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya, sedang setiap
gambar pikiran disebut citra atau imaji. Adanya pencitraan dimaksudkan untuk
memberikan perasaan pengalaman penulis terhadap objek dan situasi yang
dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis, dan segera
dapat kita rasakan dan dekat dengan kehidupan kita sendiri.
Gambaran-gambaran angan
ada bermacam-macam, dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan,
pencecapan, dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan.
Berikut beberapa
citraan yag terdapat di dalam puisi “Di Tepi Laut” karya Alex R. Nainggolan:
a.
Citra penglihatan
Citraan
yang paling sering dipergunakan oleh penyair ini memberikan rangsangan kepada
inderaan penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat seolah-olah
terlihat.
remah ombak
makin tampak
dan laut cuma
siluet
biru yang asin
biru yang asing
hanya tandas
karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin
hanya aku
sendiri
di lengang pantai
.....
b.
Citra pendengaran
Citra
ini juga sangat sering digunakan oleh penyair untuk menghasilkan efek menyebutkan
atau menguraikan bunyi suara.
....
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak
di gaung angin
hanya aku sendiri
di lengang
pantai
....
c.
Citra pencecapan
Citra
pencecapan merupakan citraan yang tidak begitu sering digunakan oleh penyair
dalam puisinya. Begitu pula dalam puisi “Di Tepi Laut” karya Alex R. Nainggolan
hanya ada satu citra pencecapan, yaitu pada baris ketiga bait pertama.
remah ombak makin tampak
dan laut cuma siluet
biru yang asin
biru yang asing
hanya tandas karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin
....
d.
Citraan gerak
Citraan
ini menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan
sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak ini
membuat hidup gambaran jadi dinamis.
....
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak
di gaung angin
....
mestinya aku meneleponmu
dan berkisah
tentangnya
tapi sepi ini memang terasa asyik
untuk direngkuh
sendiri
e.
Citraan pemikiran
Citraan
pemikiran ialah citraan yang berupa penggambaran pikiran penyair dalam
puisinya. Citraan inijuga sering digunakan oleh para penyair untuk
mengungkapkan perasaan, harapan, gagasan atau pemikirannya.
remah ombak makin tampak
dan laut cuma siluet
biru yang asin
biru
yang asing
hanya tandas karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin
hanya aku sendiri
di lengang pantai
mungkin
masih ada yang
bisa kuingat
tentang kapal
sandar
atau kisah kita
mestinya aku
meneleponmu
dan berkisah
tentangnya
tapi sepi ini
memang terasa asyik
untuk direngkuh sendiri
Sementara
itu, citra perabaan dan citra penciuman sama sekali tidak terdapat dalam puisi
ini.
Gaya
Bahasa dan Sarana Retorika
Gaya bahasa
ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup di
hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Tiap
pengarang itu mempunyai gaya bahasa sendiri sesuai dengan sifat dan kegemaran
masing-masing pengarang. Gaya (termasuk gaya bahasa) merupakan cap seorang
pengarang. Gaya itu merupakan idiosyncracy
(keistimewaan, kekhususan) seorang penulis dan gaya itu adalah orangnya
sendiri. Meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam
melahirkan pikiranm namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang
dipergunakan. Jenis-jenis bentuk ini disebut sarana retorika (rethorical devices).
Sarana
retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenberg,
1970 : 22). Dengan muslihat itu para penyair berusaha menarik perhatian,
pikiran, hingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Pada
umumnya sarana retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus
memikirkan efek apa yang ditimbulkan oleh penyairnya.
Sarana
retorika yang terdapat dalam puisi “Di Tepi Laut” ini antara lain enumerasi dan
paralelisme.
a.
Enumerasi
Enumerasi
adalah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi
beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata
bagi pembaca atau pendengar (Slametmuljana, Tt: 25). Dengan demikian juga
menguatkan suatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas.
remah ombak makin tampak
dan laut cuma siluet
biru yang asin
biru yang asing
hanya tandas karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin
....
Bait
di atas menerangkan keadaan sepi yang dirasakan oleh penyair di tepi pantai.
Kesepian karena status kesendiriannya juga karena kenangan yang pernah
dilaluinya.
b.
Paralelisme
Paralelisme
(persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa.
Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata yang berlainan dari kalimat
yang mendahuluinya (Slametmuljana, Tt: 29).
remah ombak makin tampak
dan laut cuma siluet
biru yang asin
biru
yang asing
hanya tandas karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin
....
Analisis
Isi
a.
Analisis perbait
Analisis
pada bait pertama diawali dengan keadaan di tepi laut yang digambarkan melalui
pencitraan penglihatan.
remah ombak makin tampak
dan laut cuma siluet
biru yang asin
biru
yang asing
hanya tandas karang
buih putih
dan sedikit kata cinta
yang berkecipak di gaung angin
....
Penyair seolah sedang memperhatikan deburan ombak di
tepi pantai sambil menerawang dalam pikirannya tentang “biru yang asin” (air
laut) dan suasana yang terasa asing pula. Dalam perpesktif estetika biru tau
warna biru memiliki makna kesenduan, kegundahan, dan sebagainya. Karang yang
diterpa ombak menghasilkan buih-buih putih air laut semakin menggambarkan
keadaannya saat itu. Dirinya dapat diumpamakan seperti “tandas karang” yang
berarti ketegaran atau tetap tegar meski ditempa cobaan atau ujian dan
menghasilkan “buih putih”, yaitu harapan-harapan yang semu dan sementara.
Bait kedua dapat dianalisis sebagai suatu hasil pemikiran
pengarang mengenai keadaan dirinya saat itu. Hal ini terlihat dari banyaknya
citra pemikiran yang digunakan pada bait kedua.
....
hanya aku sendiri
di lengang pantai
mungkin
masih ada yang bisa kuingat
tentang kapal sandar
atau kisah kita
....
Penyair digambarkan sedang sendirian di pantai yang
sepi. Penyair berpikir untuk mengingat-ingat kembali kenangan hubungan
asmaranya dengan mantan kekasihnya. Istilah “kapal sandar” yang terdapat pada
bait ini memiliki makna suatu hubungan cinta yang kandas, yang harus putus di
tengah jalan.
Pada bait ketiga penyair sempat berpikir seharusnya
ia menelepon mantan kekasihnya untuk sekadar bercerita kembali tentang
kenangan-kenangan yang pernah mereka lalui di pantai itu. Namun, akhirnya
penyair mengurungkan niatnya itu karena ia merasa nyaman dengan keadaanya yang
sekarang, yaitu keadaan kesendiriannya.
....
mestinya aku meneleponmu
dan berkisah tentangnya
tapi sepi ini memang terasa asyik
untuk direngkuh sendiri
b.
Analisis
keseluruhan
Si
penyair berada di tepi laut/pantai merenungi cintanya yang kandas. Di sana ia
mengenang kenangan yang pernah dilaluinya bersama kekasihnya yang dulu di
pantai itu. Ia seperti
karang yang tegar menghadapi cobaan atau ujian dan harpan-harapannya yang tak terwujud
dapat diibaratkan seperti buih-buih putih di lautan. Kapal sandar sebagai
perumpamaan hubungannya yang putus di tengah jalan dengan mantan kekasihnya
masih ia kenang di dalam kesendiriannya. Meski timbul keinginan
untuk menelepon mantan kekasihnya itu untuk sekadar bercerita, bernostalgia
akan kenangan yang pernah mereka lalui di pantai itu, tetapi keinginannya itu diredamnya
sendiri. Hal itu dilakukan bukan karena si penyair sudah tidak lagi mencintai
mantan kekasihnya, tetapi karena ia memang lebih memilih untuk sendiri.
Menurutnya saat ini kesendirian adalah yang terbaik bagi dirinya.
Amanat
Amanat yang ingin
disampaikan oleh penyair dalam puisi ini adalah bahwa terkadang kesendirian
lebih baik. Kesendirian terkadang merupakan jalan yang terbaik untuk dua insan
yang mengalami hubungan asmara yang kandas meskipun mereka masih saling
mencintai. Perasaan nyaman akan kesendirian itu akan muncul ketika benar-benar
direnungkan apa yang membuat hubungan. Kesendirian akan dirasa jauh lebih baik
daripada harus mempertahankan hubungan yang mulai tidak sehat karena dapat
lebih saling menyakiti satu sama lain.